Tangannya bergetar saat menekan
tombol-tombol alat hitung itu. Bahkan angka yang ditekannya juga beberapa kali
salah. Dikembalikannya lagi ke posisi nol. Tapi, saat kesekian kalinya dia
mencoba menekannya, salah lagi. Dia nampak semakin grogi saat mengetahui aku
sedang memperhatikannya. Kemudian aku membantunya menghitung total belanjaanku.
Gula ½ kg 5.500, tambah wortel 1.500, 7.000.
Dia mendengarku, tapi dia terus
mencoba menekan kalkulator yang nampak masih baru. Nampak baru, karena kantong pembungkusnya
masih utuh dan masih nampak bersih. Mungkin alasan dia terus mencoba
menggunakan kalkulator itu karena dia takut aku akan membohonginya. Tak ada
sedikitpun niat untuk begitu.
Dengan apa yang kulihat hari itu,
menjadi jawaban dari keherananku pada gadis belia yang bekerja di warung
sembako itu. Gadis itu memang masih nampak belia. Jika sekolah, mungkin masih
duduk dibangku sekolah menengah pertama.
Selama ini aku sering belanja di
warung itu. Dia tak pernah menghitung total harga barang belanjaan pelangan. Termasuk
juga aku. Dia bisa melayani pembayaran jika pelangan hanya membeli satu macam
barang saja. Selalu bosnya yang menjadi kasir.
“A..., cobalah kau tekan tu
tombolnya! Aku mau liat,” tak lama kemudian si bos muncul menghampirinya. Bosnya
adalah pasangan suami istri Cina yang membuka warung sembako di Jalan
Kesehhatan.
Dia tambah grogi saat si bos datang.
Walaupun dia menyambut tantangan bosnya disertai dengan senyum. Tapi nampak
jelas, senyum itu senyum ketidak yakinan.
“Hm...salah tu. Ulang lagi!”.
Kata-kata itu diulang beberapa kali
oleh bosnya. Kemudian setelah kesekian kalinya salah, si bos mengambil alih
proses penghitungan.
“Kalau lagi’ tak ada buat, kau
tekan-tekan jak kalkulator ni! Belajar, biar kau bise!,” kata si bos lagi. Gadis
itu kembali tersenyum tak nyaman. Menyeringai, tapi dengan raut kegrogian.
Kemudian bos sekaligus pemilik
warung itu berbicara sedikit padaku. Dia bilang karyawannya itu pernah sekolah
tapi tak pandai berhitung.
“Leteh dah kakak ngajarkannya, tak
bise-bise. Dulu si Sanah tu, tak pandai gak. Tak sekolah malahan die. Kakak
ajarkan, lamak-lamak, bise die.”
Dia menceritakan karyawan lamanya
yang ternyata juga tak pandai berhitung dan menggunakan kalkulator. Tapi, kini
tak pernah lagi kulihat karyawan yang dimaksud sipemilik toko.
Penjelasan itu membuatku menemukan
jawaban pasti dari pertanyaan yang ada dibenakku. Karena agak sedikit aneh
penjaga toko tak bisa berhitung, bahan tak pandai menggunakan kalkulator. Dan
pertanyaan yang kembali muncul, mengapa si bos mau memperkerjakan karyawan yang
sepert itu? Apa motivasinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar