Rabu, 23 November 2011

Tak Sekolah


Tangannya bergetar saat menekan tombol-tombol alat hitung itu. Bahkan angka yang ditekannya juga beberapa kali salah. Dikembalikannya lagi ke posisi nol. Tapi, saat kesekian kalinya dia mencoba menekannya, salah lagi. Dia nampak semakin grogi saat mengetahui aku sedang memperhatikannya. Kemudian aku membantunya menghitung total belanjaanku. Gula ½ kg 5.500, tambah wortel 1.500, 7.000.
Dia mendengarku, tapi dia terus mencoba menekan kalkulator yang nampak masih baru. Nampak baru, karena kantong pembungkusnya masih utuh dan masih nampak bersih. Mungkin alasan dia terus mencoba menggunakan kalkulator itu karena dia takut aku akan membohonginya. Tak ada sedikitpun niat untuk begitu.  
Dengan apa yang kulihat hari itu, menjadi jawaban dari keherananku pada gadis belia yang bekerja di warung sembako itu. Gadis itu memang masih nampak belia. Jika sekolah, mungkin masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.
Selama ini aku sering belanja di warung itu. Dia tak pernah menghitung total harga barang belanjaan pelangan. Termasuk juga aku. Dia bisa melayani pembayaran jika pelangan hanya membeli satu macam barang saja. Selalu bosnya yang menjadi kasir.
“A..., cobalah kau tekan tu tombolnya! Aku mau liat,” tak lama kemudian si bos muncul menghampirinya. Bosnya adalah pasangan suami istri Cina yang membuka warung sembako di Jalan Kesehhatan.  
Dia tambah grogi saat si bos datang. Walaupun dia menyambut tantangan bosnya disertai dengan senyum. Tapi nampak jelas, senyum itu senyum ketidak yakinan.
“Hm...salah tu. Ulang lagi!”.
Kata-kata itu diulang beberapa kali oleh bosnya. Kemudian setelah kesekian kalinya salah, si bos mengambil alih proses penghitungan.
“Kalau lagi’ tak ada buat, kau tekan-tekan jak kalkulator ni! Belajar, biar kau bise!,” kata si bos lagi. Gadis itu kembali tersenyum tak nyaman. Menyeringai, tapi dengan raut kegrogian.
Kemudian bos sekaligus pemilik warung itu berbicara sedikit padaku. Dia bilang karyawannya itu pernah sekolah tapi tak pandai berhitung.
“Leteh dah kakak ngajarkannya, tak bise-bise. Dulu si Sanah tu, tak pandai gak. Tak sekolah malahan die. Kakak ajarkan, lamak-lamak, bise die.”
Dia menceritakan karyawan lamanya yang ternyata juga tak pandai berhitung dan menggunakan kalkulator. Tapi, kini tak pernah lagi kulihat karyawan yang dimaksud sipemilik toko.
Penjelasan itu membuatku menemukan jawaban pasti dari pertanyaan yang ada dibenakku. Karena agak sedikit aneh penjaga toko tak bisa berhitung, bahan tak pandai menggunakan kalkulator. Dan pertanyaan yang kembali muncul, mengapa si bos mau memperkerjakan karyawan yang sepert itu? Apa motivasinya?







Tidak ada komentar:

Posting Komentar