Minggu, 24 Februari 2013

EEG


Ditulis: Ambaryani
Ini bukan pertama kalinya saya mengantarkan kerabat saya cek up ke dokter. Tepatnya kerabat jauh ibu saya. Anaknya Ismawati menderita hedrosepalus sejak lahir. Saat usianya 11 bulan, sudah dilkukan oprasi pemasangan selang dari kepala yang dihubungkan langsung kesaluran air seni.
Sejak lahir, Isma sudah bersahabat dengan rumah sakit. Setelah oprasi, Isma harus kontrol rutin setiap bulan di RSUD Sudarso. Bolak-balik Sebedang-Pontianak. Setiap hari harus mengkonsumsi obat. 2 kali sehari.
Orang tua Isma, bukan tergolong berlebihan finansial. Mungkin lebih tepatnya, pas-pasan. Tapi, demi anak bungsunya, kedua orang tua Isma bertekad, apapun akan dilakukan demi kelangsungan hidup Isma.
Saat oprasi pemasangan selang, rumah yang ditempati Isma sekeluarga harus dijual. Uang hasil penjualan rumah itu, digunakan untuk biaya oprasi. Masih ada sisa sedikit uang digunakan untuk mendirikan pondok kecil untuk ditinggali. Dulunya tanah itu, dipinjami oleh teman Ayah Isma. Tapi, kini tanah itu harus dicicil tiap bulan. 
Kata dokter yang menangani Isma, saat Isma berusia 10 tahun, selang itu harus diganti. Jatuh temponya, sudah sejak Oktober 2012 lalu. Tapi, setelah melakukan cek terakhir, selang itu masih baik-baik saja dan belum harus diganti. Tentu hal ini membuat orang tua Isma lega.
Tapi, setelah Oktober berlalu, Isma sering kejang-kejang setelah meminum obat. Dia juga sering demam, sehingga timbangan badannya terus menurun. Mau tidak mau, sebenarnya belum jadwal Isma kontrol. Tapi, Isma harus dibawa ke Pontianak lagi.
Setelah menjalani pemeriksaan dokter, Isma harus menjalani EEG. EEG dilakukan untuk merekam otak Isma. Khawatir ada sesuatu yang terjadi di syaraf otaknya, yang menyebabkan Isma kejang-kejang. Dokter memberikan rujukan untuk EEG di RS Antonius.
Tapi ternyata pemeriksaan EEG tidak bisa dilakukan saat itu juga. Dalam sehari, hanya 5 pasien yang bisa menjalani pemeriksaan. Alasannya, 1 pasien bisa memakan waktu 1,5 hingga 2 jam. Akhirnya, Isma dibawa pulang lagi ke Sebedang.
Hingga akhirnya 2 bulan kemudian, barulah Ibu dan anak ini ke Pontianak lagi. Katanya, bulan lalu uangnya terpakai karena kakak Isma juga harus menjalani perawatan di RSUD Sambas akibat DBD dan usus buntu.
Hari pemeriksaan tiba. Saat itu, kami ke RS pagi-pagi sekali. Berharap mendapat antrian pertama, supaya tidak lama mengantri. Jam 8 kami sudah sampai di RS Antonius. Dokter belum datang, hanya ada sistennya di ruang.
1 jam kemudian, dokternya datang. Isma dan Ibunya dipersilahkan masuk. Saya ikut serta ke dalam ruangan. Isma diberikan obat tidur, karena selama proses perekaman, pasien harus dalam kondisi tenang.
Lebih 30 menit menunggu reaksi obat tidur. Setelah mata Isma terluhat kuyu dan beberapa kali menguap, Isma dibaringkan diatas kasur pasien. Tepat diatas posisi kepalanya, terdapat alat-alat dengan lebih 30 kabel yang terhubung dengan komputer.
Satu persatu, kabel-kabel itu dipasang di kepala Isma. Hampir 1 jam, pemasangan baru selesai. Setelah terpasang semua, mulailah perekaman otak. Tidak lama. 30 menit saja perekamannya, dan hasilnya sudah didapat.
Hasil print out komputer itu, harus dibawa lagi ke dokter yang menangani Isma di RSUD Sudarso untuk dibaca. Hasilnya, tidak ada yang serius terjadi di syaraf otak Isma. Kejang yang terjadi pada Isma, lantaran daya tahan tubuh Isma menurun. Sehingga saat mengkonsumsi obat, Isma kemudian malah demam plus kejang-kejang.    

Kini usianya sudah 9 tahun. Menurut dokter yang menanganinya selama ini, usia 10 tahun selang itu harus diganti.  

Rabu, 09 Januari 2013

‘Kompor’ Semangat



Ditulis: Ambaryani
Pagi itu, sebelum persentasi hasil penelitian Pengetahuan Tradisional Masyarakat Dayak Benuaq Kalimantan Timur, Pak Yusriadi sebagai koordinator penelitian ini menyerahkan 2 buku kepada Farninda Aditia (Ninda). Kedua buku itu, adalah hasil lain dari penelitian ini, selain makalah yang kami bentangkan hari itu.
“Nanti, kasi buku ini pada orang yang pertanyaanya ok!” kata Pak Yus pada Ninda.
Ninda mengangguk paham dengan perintah itu. Diatas meja ada 4 buku dengan judul Orang Benuaq di Tanjung Isuy Pedalaman Mahakam dan bersampul merah itu. Buku saya dan Ninda 2, dan buku untuk penanya 2. Kami tentu bangga menenteng hasil lain dari penelitian itu. Buku yang berisi data harian yang kami ceritakan dalam bentuk kisah perjalanan.  
Buku itu dibuat atas inisiatif tim kami sendiri. Tidak ada anggaran khusus untuk penerbitan buku. Tapi, tekad tim bulat. Biarlah memotong jatah harian kami untuk penerbitan buku ini. Yang terpenting, momen dilapangan bisa kami abadikan dalam bentuk buku.
Pagi sampai siang, bahkan sore dan malam kami mencari data. Disela waktu istirahat shalat dan makan, kami gunakan untuk menulis. Titik pentingnya, apa yang kami dapatkan hari itu, harus tuntas hari itu juga. Menjadi sebuah tulisan. Agar tidak menjadi beban hari esok. Karena hari berikutnya, akan mendapat data baru lagi. Kalau tidak kami tulis langsung, pekerjaan kami akan menumpuk. Begitu peraturan yang diterapkan dalam tim kami.
Seakan menjadi kompor semangat, setiap hari Pak Yus selalu menanyakan berapa tulisan yang dihasilkan hari ini? Ada yang 1, 2 bahkan 3 tulisan dalam sehari. Dengan begitu, satu tim berpacu dalam menghasilkan karya. Tidak mau ketinggalan.
Dan pagi itu, kompor semangat itu menyala lagi dilantai 2 Orchadz. Diakhir sesi pembentangan makalah, Pak Yus yang mulai menyalakan kompor itu. Ditampilkan cover buku di slide terakhir. Terpampang selama sesi tanya jawab. Karena memang, tim kami mendapat giliran kedua pada sesi itu.
Saat melihat cover buku yang terpampang itu, beberapa peserta bisik-bisik dengan teman yang duduk disampinya. Sambil sesekali menunjuk ke arah slide.
Ada juga yang mengatakan, ‘Mereka buat buku’.
Setelah selesai sesi tanya jawab, Ninda melaksanakan tugasnya. Buku pertama, jatuh pada Pak Sudarto. Buku kedua, kami putuskan untuk diserahkan pada pembading dalam sesi pembentangan makalah kami, yang juga dari Kalimantan Timur. Dr. Gaudentius Simon Devung. Saat sesi itulah, kemudian peserta agak riuh. Ada seloroh dari salah satu peserta yang memancing keriuhan.
“Wah...ini sponsor Kick Andy”
Andy F. Noya sebagai presenter dalam acara itu, sering membagikan buku hasil tulisannya pada yang hadir di studio diujung acara. Setelah peserta bubar istirahat makan siang, ada yang mendatangi Pak Yus.  
“Saya tanya sekarang, bisa dapat buku lagi?”
Peserta itu nampak menyesal tidak bertanya. Kehilangan kesempatan mendapat buku. Ada juga anggota tim lain yang menghampiri Pak Yus.
“Wah, nampaknya saya salah tim Pak Yus.”
Pak Yus tertawa mendengarnya. Memang, buku itu jauh dari kata sempurna. Banyak kurang disana-sini. Tapi, paling tidak terbitnya buku itu bisa menjadi kompor semangat bagi orang lain. Semoga semakin banyak yang tersulut semangatnya untuk terus menghasilkan karya.  
  

Kamis, 15 November 2012

Memilih Pendidikan Pesantren

Ditulis: Ambaryani
Berawal dari sebuah pertanyaan teman, mengapa penting memilih pendidikan pesantren dibanding pendidikan umum?
Berdasarkan pengalaman dan cerita teman, pendidikan pesantren memberikan banyak dampak positif pada dirinya selama 6 tahun menjalani pendidikan di pondok pesantren. Sama tingkatannya dengan SMP dan SMA, jika di pesantren MTS dan Aliyah.
Pertama, sisi positif tersebut adalah, pesantren menerapkan disiplin tidak hanya pada jam belajar mengajar. Akan tetapi pada seluruh aktifitas di dalam asrama. Dari bangun tidur sampai tidur lagi sudah ada tata aturanya. Yang coba membandel atau tidak ikut aturan, harus siap mendapat hukuman.
Bagun tidur misalnya. Harus sudah ready beraktifitas sejak pukul 3.30. yang terlambat bangun, otomatis tidak tahajud dan shalat subuh berjama’ah. Jangankan tidak shalat wajib berjama’ah, tidak melaksanakan shalat sunah saja mendapatkan hukuman tersendiri. Sanksi-sanksi ini harus tetap ditegakkan, agar anak tidak mengangap, aturan hanyalah aturan. Tanpa penerapan. Selain itu, efek lain agar anak jera dan bisa berlatih disiplin pada dirinya sendiri. Karena dampak dari disiplin tidak dirasakan oleh orang lain, kecuali dirinya sendiri. Malam hari, mengulang pelajaran tidak boleh di dalam asrama. Harus diruangan kelas, dan diawasi wali kelas masing-masing ataupun guru yang ditugaskan.  
Akan ada senior juga guru yang mengawasi tindak-tanduk mereka, yang siap mencatat sekecil apapun kesalahan yang mereka lakukan. Tentunya kesalahan itu dicatat untuk mengingatkan mereka agar itu tak boleh terjadi lagi. Ada jasus (mata-mata) bahasa.
Dilingkup pesantren, santri diharuskan menggunakan 2 bahasa. Arab dan Inggris. Ada yang berbicara menggunakan bahasa selain Arab dan Inggris, padahal kosa-katanya sudah diberikan, akan mendapat ganjaran. Ini juga yang menjadi lulusan pesantren memiliki nilai tawar tinggi. Selain ilmu agama dan umum dapat, alumni bisa cas-cus dengan bahasa Arab dan Inggris.  
Tentunya pola pendidikan yang diterapkan pesantren sangat membantu orang tua dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Tak hanya sekali saya mendengar keluhan orang tua yang kesulitan menghadapi anak yang kecanduan ngenet, susah belajar karena smsan, juga televisi. Belum lagi, kekhawatiran orang tua terhadap pergaluan anak.
Semua kemungkinan penyimangan itu akan terpangkas dengan sendirinya ketika anak masuk pesantren. Di pesantren tak boleh membawa alat komunikasi, tak ada televisi, juga warnet. Pergaulan tentunya hanya sesama mereka santri yang ada dalam pesantren.
Memang pada awalnya hidup dipesantren, akan ada rasa frustasi dengan segala aturan yang ada. Akibatnya anak tidak betah dan merengek pada orang tua. Jika orang tua lemah dan berdalih kasihan pada anak, tentu akan menyerah dan membawa pulang kembali anak ke rumah. Tapi, jika orang tua memiliki pemikiran demi kebaikan dan masa depan anak, pendidikan pesantren akan memberikan jaminan ganda pada anaknya. Jika tak bisa 6 tahun, 3 tahun sudah cukup membentuk karakter anak. Tentunya jika bisa lebih lama, hasilnya akan lebih maksimal.

“Benuak”


Ditulis: Ambaryani
Tulisan ini dibuat untuk pemanasan, sebelum keberangkatan ke lapangan. Kalimantan Timur.
Menurut cerita lisan, suku ini berasal dari perbatasan Sarawak (Malaysia). Mereka keluar dari wilayah tersebut karena terjadinya peperangan dan tekanan dari Dayak Iban, dan sampailah mereka di Kalimantan Timur. Wilayah yang mereka tempati bernama Benuaqkn, dan maka dari itu mereka menamai diri dengan Benuak atau sering dituliskan dengan Benuaq.
Suku ini mengantungkan kehidupan mereka dengan bertanam padi di ladang dengan sistem ladang berpindah. Sumber tambahan lain dengan meramu hasil hutan. Damar, rotan, menangkap ikan, berburu, membuat anyaman dan bertenun. Hasil tenunan suku Benuak dinamai Ulap Doyo, yang merupakan kain panjang yang bahan dasarnya adalah daun doyo. Kemudian dinamakanlah hasil tenunan itu dengan Ulap Doyo.
Kebiasaan suku ini masih alami. Mereka memanfaatkan hasil alam, bahan-bahan alami untuk kebutuhan hari-hari. Dalam hal kecantikan, kaum wanita juga memanfaatkan dedaunan, akar-akaran, kulit kayu sebagai bahan kosmetik tradisional.
Dalam hal riligius, suku Benuak begitu percaya campur tangan roh dalam kelangsungan hidup atau aktifitas mereka. Upacara yang mereka anggap penting adalah upacara kawangkai. Mereka meyakini, sanak saudara yang telah meninggal dan sudah dilakukan upacara kawangkai akan tenang berada di gunung Lumut. Gunung ini terletak diperbatasan antara Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Dalam pelaksanaan upacara ini, hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah pemotongan binatang kurban. Upacara dengan adanya binatang kurban, mereka kenal dengan sebutan tiwah. Dan biasanya binatang yang digunakan adalah kerbau.
Yang tidak kalah pentingnya dari diselenggarakannya upacara kematian+binatang kurbannya adalah, siapapun yang mampu melaksanakan atau membiayayi terselenggaranya upacara ini, akan meningkat status sosialnya. Dan itu menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat setempat. Upacara ini berlangsung lama. Lebih sebulan. Memberi makan orang sekampung dan binatang kurban kerbau. Tentunya yang tidak memiliki uang yang banyak tidak mampu menyelenggarakan upacara sedemikian rupa. Harga kerbaunya saja sudah menguras dompet.  

Senin, 12 November 2012

Menjaga Konsistensi

Ditulis: Ambaryani
Sudah lama kau membiarkan otakku tumpul. Hampir setahun aku tidak produktif ‘menulis’. Walaupun, sebelumnya juga tidak produktif benar. Tapi, paling tidak masih terhitung sering aku menulis.
Tulisan yang kuhasilkan memang tidaklah berbobot seperti yang banyak orang harapkan. Tulisan yang bermutu. Kata salah satu teman, saking mau bermutunya, sampai tak ada tulisannya satupun. Tulisanku sebelumnya, banyak tenang hal-hal yang kualami dalam hari-hari.
Mengalir begitu saja. Kutulis apa adanya. Ini kulakukan untuk menjaga konsistensi, dulu. Harus nulis apa saja. Yang dulunya aku agak risih dengan kata-kata romantis dalam puisi. Tapi, karena ingin menjaga untuk tetap menulis apapun, puisipun juga kutulis.
Kalau hati sedang melangkolis, merasa paling berat beban dipundak, merasa paling teraniaya, jadilah beberapa pusi. Paling tidak 1 puisi. Tulisan panjang, agak kurang. Biasalah pemula. Selalu begitu. Menulis tergantung mood.
Rutinitasku, dan sekelilingku yang jauh dari iklim menulis membuat semangat menulisku terombang-ambing. Dulu, sebelum menyelesaikan setudi di kampus, aku nyemplung di komunitas menulis. Dan itu pilihanku. Kurasa pilihan paling tepat. Karena kalau akau tidak nulis, aku akan malu dengan teman-teman yang sama-sama sedang belajar menulis. Belajar menumbuhkan semangat menulis dan menjaga semangat itu.
Dulu semangat itu sangat terasa. Tapi, setelah tak lepas dari kampus, banyak godaan. Terlebih jika sudah berada di dunia kerja, dan tak pandai menyisihkan waktu untuk terus menjaga semangat. Akulah contohnya. Akan tumpul.
Sebenarnya, banyak ide yang muncul. Hanya karena alasan ‘tak punya waktu’, ide itu hilang. Alasan itu sebenarnya hanya untuk pembenaran rasa malas yang merayu agar pikiran dan keterampilan semakin tumpul tak terasah. Dan berhasillah ‘setan-setan’ mengajakku menjadi golongan pemalas nulis.
Setahun, orang lain bisa lebih 2 buku yang dihasilkan. Aku? Jangankan buku, tulisanpun bisa dihitung dengan 5 jari. Malu. Malu dengan apa yang pernah kusampaikan pada adik-adik bimbinganku di MAN 1 Pontianak dulu. Malu dengan adik-adik yang masih sekolah dasar di Teluk Bakung yang pernah kuberi motivasi dulu. Aku harus kejam pada diriku sendiri.
Bisa tidak bisa, suka tidak suka, buntu atau tidak, harus menulis. Ini harus kupaksakan pada diriku. Kalu tidak, aku akan terus mengalami penurunan. Memang benar, memulai lebih mudah dari pada menjaga.
Tentu saja aku tak mau sedikit kemampuanku menulis hilang. Aku ingin terus melatihnya. Yang sedikit itu kemudian bisa menjadi bertambah sedikit, dan jadi bukit. Itu harapanku.
Aturan atau keharusan, memang mutlak bagi yang ingin terus terjaga semangatnya. Rasanya memang kejam. Tapi, kalau kenikmatan melakukan sesuatu belum dicapai, sedikit kemungkinan bisa konsisten jika tidak dipaksa. Kalau ada yang meragukan pendapatku, monggo! Ini hipotesa yang kudapat dari pengalamanku sendiri.