Kamis, 24 November 2011

Islam Minoritas di Teluk Bakung

Baru kali ini aku benar-benar berada di tengah pemukiman orang Dayak. Walaupun sebenarnya sudah sering melihat situasi seperti yang kulihat saat itu. Tapi, yang sudah-sudah hanya melintas saja. Belum pernah benar-benar berada ditengah-tengah kehidupan masyarakatnya.
Desa Teluk Bakung namanya. Dari Kota Pontianak ke Teluk Bakung butuh waktu 60 menit perjalanan jika memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Bahkan bisa lebih singkat dari itu, jika hobi balap. Tapi, jika santai bisa hingga 90 menit. Terdapat 7 dusun dibawah naungan desa itu. Cukup banyak memang. Dengan jumlah penduduk mencapai 4012 jiwa dan 884 KK, 90% penduduk setempat adalah Dayak. Selebihnya Melayu dan Cina. Melayu dan Cina memang minoritas. Begitu juga dengan agama yang mereka anut. Melayu identik dengan Islam, atau boleh dikatakan Melayu=Islam.
Sama dengan populasi etnis Melayu yang sedikit, agama Islam di desa itu juga sangat sedikit. Hanya 36 orang yang beragama Islam. Bisa ada orang Islam di Teluk Bakung, salah satunya karena terjadinya pernikahan silang (kawin campur) yang kemudian menetap di sana dan memluk agama Islam. Selain itu, ada juga karena faktor teman. Dan yang ini terjadi pada anak-anak. Anak-anak yang memluk Islam lantaran teman bermainnya Islam, dan orang tuanya masih, Memang sanggat jauh bandingannya dengan Katolik yang mencapai angka 3126. Protestan 180 jiwa. Ada 8 gereja Katolik, 5 gereja Protestan dan hanya 1 Masjid. 1 masjid itupun tak berfungsi dengan maksimal. Karena memang, 36 pemeluk agama Islam tersebar diseluruh dusun di desa Teluk Bakung. Sedangkan masjidnya hanya 1 di Lintang Batang. Menurut informasi yang Fajri alias Pak Ridho berikan, awalnya komunitas muslim di Teluk Bakung hanya mencapai 7 KK. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, jumlah itu bertambah hingga mencapai angka 36.
Jangankan pemeluk Islam dari dusun lain. Yang berada di dusun Lintang Batangpun jarang sekali meramaikan masjid yang diberinama seperti nama kaum yang ikut serta saat Rasulullah hijrah ke Mekah. Hanya saja didepannya ditambah alif lam. Kemudian menjadi Al-Muhajirin. Masjid sepi jama’ah, mungkin karena posisi masjid yang jauh dari pemukiman penduduk. Memang masjid itu berada diujung jalan aspal, ujung perkampungan Lintang Batang.
Masjid itu berdiri bersamaan dengan sebuah lembaga yang dirintis, dipersiapkan untuk menjadi sebuah pesantren nantinya. Nantinya, bangunan yang baru dirintis itu juga akan menjadi lembaga sosial. Disitu akan berlangsung berbagai aktifitas yang berhubungan langsung dengan masyarakat, Islam tentunya. Lemabaga itu diberi nama, Lembaga Pendidikan dan Sosial The Zal Hejro. Nama itu adalah bahasa Arab yang di Indonesiakan. Dan orang-orang yang berada di pesantren itulah yang meramikan masjid itu sendiri. Walaupun lagi-lagi jumlah mereka tak seberapa.
Kata Pak Fajri, salah satu penggagas dan yang memperjuangkan berdirinya masjid itu, masjid akan ramai kalau hari Jum’at. Karena tak ada masjid lain, maka shalat Jum’at terpusat di masjid itu. Setelah shalat Jum’at, kata Fajri ada kegiatan yang diikuti oleh orang-orang mualaf. Kegiatan itu semacam kajian mengenai agama Islam. Tapi, saat aku dan rombongan PSW yang sedang menyelenggarakan kegiatan Koran Ibu riset wisata Club Menulis dan Malay Corner STAIN Pontianak ada disana, kami tak menjumpai perkumpulan itu. Padahal sebenarnya, menurut informasi dari Pak Fajri hari itu salah satu agenda kami di masjid dan pesantren itu adalah bertemu dan diskusi dengan mualaf desa Teluk Bakung. Apa penyebab batalnya pertemuan itu, tak kami ketahui dengan pasti.
Salah satu sebab pendirian masjid itu adalah karena ‘kengeyelan’ dan keresahan Pak Fajri karena umat Islam yang hanya sedikit itu tak memiliki sarana ibadah. Yang lebih krusial adalah, orang-orang Islam harus mengikuti tata aturan penduduk setempat dalam hal-hal yang berkaitan dengan fardhu kifayah.
Kejadian yang benar-benar membuat dirinya (Fajri) resah adalah saat tahun 2005, ketika ada orang Islam meninggal dunia jenazhahnya harus diurus dan dimakamkan dengan tata cara non Isalm. Jika mau menggunakan tata cara Islampun tak boleh dikebumikan di Lintang Batang maupun diwilayah Teluk Bakung. Alasan penolakan itu, jika si mayit diurus dengan tata cara Islam, penduduk khawatir akan adanya pocong. Mungkin pemahaman ini muncul ada kaitannya dengan menjamurnya film-film horor produksi negeri ini, yang selalu mengambarkan hantu itu dengan sosok pocong. Akhirnya mayat itu dikebumikan dengan tata cara Islam, tapi tak diwilayah Teluk Bakung melainkan di Siantan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Setelah kejadian itulah, Fajri ngotot untuk mendirikan masjid di Teluk Bakung dengan dukungan beberapa rekan yang seiman dengannya. Dengan didirikannya masjid itu, diharapkan komunitas muslim akan semakin banyak karena memliki sarana untuk ibadah yang juga dijadikan sarana musyawarah. Setelah berdirinya masjid 9 September 2010 diatas tanah wakaf BKMT Provinsi tahun 2004 beserta 1 bangunan sederhana cikal bakal pesantren. Selain itu, tanah wakaf bagian belakang masjid juga akan dijadikan lokasi pemakaman muslim. Hingga nantinya orang-orang muslim yang sudah mangkat, memiliki pemakaman khusus di desa tersebut. Dan tak perlu jauh-jauh jika ingin memakamkan.
Berdiri masjid ditengah kampung yang hampir semua memeluk agama Katolik dan Protestan membuat resah penduduk Teluk Bakung. Ketegangan terjadi dan tak bisa dielakkan. Penolakan terjadi. Banyak alasan yang mereka kemukakan demi tidak berdrinya rumah ibadah orang muslim itu. Saat itu hampir terjadi pengusiran pada orang-orang muslim, ancaman juga. Dikhawatirkan pula perbedaan prinsip, cara pandang antara Islam dan Kristen akan menimbulkan gesekan. Surat penolakan juga dibuat oleh penduduk dan dilayangkan hingga tingkat Gubernur.  
Alasan penolakan itu adalah dengan adanya masjid, komunitas muslim akan berkembang di wilayah itu. Dan itu tidak diinginkan penduduk setempat, karena dikhawatirkan akan adanya persaingan agama. Pemeluk Katolik dan Protestan khawatir akan banyak pemeluk mereka berpindah agama. Selain itu pandangan-pandangan negatif akan agama Islam juga membuat suasana yang keruh itu semakin menjadi. Terlebih, pemberitaan mengenai teroris sering menghiasi media masa. Kontra dengan pendirian masjid, sejauh ini tak terjadi saat rencana pendirian pesantren didengungkan.
Dampak dari penolakan itu adalah, rencana pembangunan yang ditandai dengan penancapan tiang pertama ditunda dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Ini dilakukan untuk mendinginkan suasana yang panas mendingin kembali. Ketika tiang pertama berhasil ditancapkan, berdirilah masjid tersebut. Karena berdiri ditengah komunitas non Islam, dilihat dari dalam, masjid itu menyerupai bangunan dalam gereja.
Masjid itu masih nampak sangat anyar saat kami kesana. Disudut kanan kiri depan masjid, terdapat 2 penampungan air hujan yang berfungsi sebagai air wudhu. Tapi sejauh yang kuamati selama ada disana, air tong itu tak digunakan untuk wudhu. Karena ketika wudhu, anak-anak pesantren, Pak Ridho serta Ustad Syamsul sendiri menggunakan air kolam yang warnan airnya menyerupai teh. Air gambut. Kolam itu hanya berukuran 1,5x2 meter, dengan diberi tangga seadanya yang terbuat dari kayu bulat sebesar lengan orang dewasa. Dari tangga itulah, kemudian sebagain kaki tercelup air kolam dan disitulah mengambil air wudhu.
Air kolam itu tak hanya untuk air wudhu saja, tapi juga digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci warga pesantren. Walaupun memang letaknya agak jauh dari asrama dan wc yang wc yang sudah ada. Mememang ada 1 sumur kecil tak jauh dari asrama dan wc. Tapi kata Ustadz syamsul, airnya tidak bagus dan tidak digunakan untuk mandi.
Air dalam Bak tampungan air hujan dimanfaatkan untuk memasak anak-anak pesantren. Malah, untuk kebutuhan air minum juga. Hanya menadahkan teko dikran bak, lalau meminum air tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu. Disamping kiri kanan dalam pintu masjid, terdapat material yang rencananya akan dibuat 2 wc. Ada semen, prselen, seng, kloset, serta paku.
Pesantren yang baru didirikan itu, dan seusia dengan usia masjid yang berdiri samping depan bangunan cikal bakal pesantren itu hanya memiliki 1 lokal dengan 3 kamar ala kadarnya. 1 kamar untuk santri putri dan santri putra 1 kamar, dan 1 kamar lagi untuk kamar pembina (ustadz). Tepat dibelakang kamar ustadz, ada bangunan tambahan yang hanya berukuran 1x2 meter untuk dapur.
Kondisi asrama serta dapurnyanya benar-benar masih apa adanya. Papan yang digunakan sebagai dinding dan lantai masih kasar, tidak tersentuh alat pengetam (penghalus) papan. Jika berbaring tanpa alas diatasnya kulit akan terasa. Tak ada lemari dalam asrama itu. Yang ada beberapa rak-rak terbuka terbuat dari papan yang menempel di dinding, serta kardus untuk tempat pakaian dan buku-buku mereka. Ada beberapa bantal, dan tak ada kasur. Yang ada, tikar pandan yang tak seberapa besarnya. Bahkan tikar itu tak menutupi semua lantai asrama yang hanya berukuran 2x2 meter itu. Kondisi dapur yang sempit itu tak jauh beda dengan kamar asramanya. Sebagian dindingnya dari papan, tapi setengahnya ditutup dengan atap daun rumbia 2 keping. Hingga sepotong diding terbuka. Pintunya hanya menggunakan seng 1 keping, yang hanya ditutup jika malam hari.
Karena diujung Lintang Batang belum mendapat bagian aliran listrik, walaupun sebagian wilayah Lintang Batang sudah terang jika malam hari maka mereka harus menggunakan disel. Karena memang letak pesantren jauh dari rumah-rumah penduduk Lintang Batang, dan berada pas diujung jalan aspal desa tersebut. Jika sudah jam 9 malam, diesel akan dimatikan dan mereka melanjutkan malam bersama lampu tempel yang terbuat dari botol atau kaleng minuman bekas. Jika malam hari, yang tidak terbiasa dengan petualangan pasti tidak akan bisa tidur dilokasi itu. Nyamuk seperti suara pesawat tempur, mendengung ditelinga dan siaga untuk berburu darah.
Sepulang sekolah 8 orang santri tersebut, langsung menuju pesantren. Mereka masak sendiri, walaupun usia mereka masih 8 hingga 13 tahun. Mereka masak dan mencuci sendiri. Paginya jarang sekali mereka sarapan. Kalau sedang ada uang (diberi pengasuh pesantren ustadz Syamsul) mereka membeli jajanan di sekolah. Uang yang ustadz samsul gunakan untuk kelangsungan hidup anak-anak dan dia di pesantren adalah hasil bantuan masyarakat maupun donatur-donatur. Kadang anak-anak mencari sayuran, dikebun orang tua mereka masing-masing. Yang kemudian mereka masak bersama-sama di pesantren.
Jam 2.30 mereka belajar membaca dan menulis Arab, setelah Magrib belajar ngaji, setelah shalat Isya hingga jam 9 mereka belajar untuk mempersiapkan pelajaran di sekolah formal esok hari. Anak-anak yang menginap di asrama tersebut, ada yang memang berasal dari keluarga muslim. Tapi ada juga anak-anak mualaf, yang orang tuanya berbeda agama dari mereka.
Pada dasarnya, hubungan antar agama di Teluk Bakung berlangsung baik, walaupun memang sejak Islam mulai mencari tempat, dan muali berani sedikit demi sedikit menunjukkan aktifitasnya, ketegangan mulai muncul. Menurut pengakuan Fajri, komunitas pemeluk Islam sebagai agama minoritas disana memilih untuk diam dan tidak terpancing dengan ketegangan itu. Bahkan orang-orang Islam lebih menjaga sikap dengan hati-hati dalam bertindak dan berucap, agar hubungan antar Islam dan agama lain di Teluk Bakung berlangsung rukun. Karena setelah terjadinya ketegangan lantaran berdirinya masjid Al-Muhajirin, situasi menjadi rentan dan begitu sensitif.
Walaupun sudah diadakan forum kajian bagi umat Islam dan mualaf di sana, tapi tetap saja hal itu tidaklah cukup. Karena ada beberapa orang yang menjadikan Islam hanya sebatas agama saja, tanpa praktek. Mungkin hal ini terkait dengan ketidak tahuan terhadap Islam itu sendiri. Dan pembinan umat Islam disana belum maksimal.
Mualaf dengan jalur pernikahanpun, terkadang hanya formalitas saat akad nikah saja, dan perayaan hari besarnya. Karena sehari-hari amalan-amalan (ibadah) serta aturan dalam agama Islam seperti tidak diindahkan. Si mualaf, tidak bisa melaksanakan perintah dalam agama Islam terkadang juga karena pasangan yang menjadi perantaranya memeluk Islam juga tidak paham dengan Islam itu sendiri. Tidak bisa shalat, bacaan-bacaan shalat, wundu dan membaca Al-Qur’an juga tidak bisa. Hal inilah yang kemudian membuat sebagain umat Islam di Teluk Bakung menjadikan agamanya sebatas identitas saja.
Faktor ketidak tahuan tadi kemudian membawa mereka (orang Islam), terus menggunakan ritual-ritual adatnya yang sebenarnya prosesi ritual adat tersebut terdapat hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Herlina seorang ibu yang mualaf yang juga kader posyandu, ketika ia melahirkan anaknya, ia melakukan prosesi (upacara) dengan menggukana adat Dayak. Menurut Herlina ini terjadi karena tidak ada yang tahu bagaimana cara melaksanakan prosesi (biasa disebut selamatan) sebagai wujud syukur orang tua kepada Allah SWT, karena telah dikaruniai anak.
Hal ini terjadi, lantaran umat Islam, mualaf khususnya belum mengetahui banyak hal dengan agama yang dianutnya. Terlebih jika kondisinya, kuantitas mereka masih dalam jumlah yang sedikit. Selain itu, mualaf yang pada berasal dari keluarga Dayak tidak bisa otomatis lepas dari adat. Pak Fajri sendiri saat menikah masih menggunakan prosesi adat Dayak. Dan ini tidak bisa dielakkan. Karena memang hanya dia yang beragama Islam di keluarganya. Terlebih ayahnya menjadi Nyirum Oreng sebagai ketua adat Dayak, yang berpegang teguh pada ritual-ritual adat. Tak hanya menjadi ketua adat Dayak, Pak Oreng juga menjadi ketua sanggar seni tari dan musik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar