Desa
Teluk Bakung namanya. Dari Kota Pontianak ke Teluk Bakung butuh waktu 60 menit
perjalanan jika memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Bahkan bisa lebih
singkat dari itu, jika hobi balap. Tapi, jika santai bisa hingga 90 menit. Terdapat
7 dusun dibawah naungan desa itu. Cukup banyak memang. Dengan jumlah penduduk
mencapai 4012 jiwa dan 884 KK, 90% penduduk setempat adalah Dayak. Selebihnya
Melayu dan Cina. Melayu dan Cina memang minoritas. Begitu juga dengan agama
yang mereka anut. Melayu identik dengan Islam, atau boleh dikatakan
Melayu=Islam.
Sama
dengan populasi etnis Melayu yang sedikit, agama Islam di desa itu juga sangat
sedikit. Hanya 36 orang yang beragama Islam. Bisa ada orang Islam di Teluk
Bakung, salah satunya karena terjadinya pernikahan silang (kawin campur) yang
kemudian menetap di sana dan memluk agama Islam. Selain itu, ada juga karena faktor
teman. Dan yang ini terjadi pada anak-anak. Anak-anak yang memluk Islam
lantaran teman bermainnya Islam, dan orang tuanya masih, Memang sanggat jauh bandingannya
dengan Katolik yang mencapai angka 3126. Protestan 180 jiwa. Ada 8 gereja
Katolik, 5 gereja Protestan dan hanya 1 Masjid. 1 masjid itupun tak berfungsi
dengan maksimal. Karena memang, 36 pemeluk agama Islam tersebar diseluruh dusun
di desa Teluk Bakung. Sedangkan masjidnya hanya 1 di Lintang Batang. Menurut
informasi yang Fajri alias Pak Ridho berikan, awalnya komunitas muslim di Teluk
Bakung hanya mencapai 7 KK. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, jumlah itu
bertambah hingga mencapai angka 36.
Jangankan
pemeluk Islam dari dusun lain. Yang berada di dusun Lintang Batangpun jarang
sekali meramaikan masjid yang diberinama seperti nama kaum yang ikut serta saat
Rasulullah hijrah ke Mekah. Hanya saja didepannya ditambah alif lam. Kemudian
menjadi Al-Muhajirin. Masjid sepi jama’ah, mungkin karena posisi masjid yang
jauh dari pemukiman penduduk. Memang masjid itu berada diujung jalan aspal,
ujung perkampungan Lintang Batang.
Masjid
itu berdiri bersamaan dengan sebuah lembaga yang dirintis, dipersiapkan untuk
menjadi sebuah pesantren nantinya. Nantinya, bangunan yang baru dirintis itu
juga akan menjadi lembaga sosial. Disitu akan berlangsung berbagai aktifitas
yang berhubungan langsung dengan masyarakat, Islam tentunya. Lemabaga itu
diberi nama, Lembaga Pendidikan dan Sosial The Zal Hejro. Nama itu adalah
bahasa Arab yang di Indonesiakan. Dan orang-orang yang berada di pesantren
itulah yang meramikan masjid itu sendiri. Walaupun lagi-lagi jumlah mereka tak
seberapa.
Kata
Pak Fajri, salah satu penggagas dan yang memperjuangkan berdirinya masjid itu,
masjid akan ramai kalau hari Jum’at. Karena tak ada masjid lain, maka shalat
Jum’at terpusat di masjid itu. Setelah shalat Jum’at, kata Fajri ada kegiatan
yang diikuti oleh orang-orang mualaf. Kegiatan itu semacam kajian mengenai
agama Islam. Tapi, saat aku dan rombongan PSW yang sedang menyelenggarakan
kegiatan Koran Ibu riset wisata Club Menulis dan Malay Corner STAIN Pontianak
ada disana, kami tak menjumpai perkumpulan itu. Padahal sebenarnya, menurut
informasi dari Pak Fajri hari itu salah satu agenda kami di masjid dan
pesantren itu adalah bertemu dan diskusi dengan mualaf desa Teluk Bakung. Apa
penyebab batalnya pertemuan itu, tak kami ketahui dengan pasti.
Salah
satu sebab pendirian masjid itu adalah karena ‘kengeyelan’ dan keresahan Pak
Fajri karena umat Islam yang hanya sedikit itu tak memiliki sarana ibadah. Yang
lebih krusial adalah, orang-orang Islam harus mengikuti tata aturan penduduk
setempat dalam hal-hal yang berkaitan dengan fardhu kifayah.
Kejadian
yang benar-benar membuat dirinya (Fajri) resah adalah saat tahun 2005, ketika
ada orang Islam meninggal dunia jenazhahnya harus diurus dan dimakamkan dengan
tata cara non Isalm. Jika mau menggunakan tata cara Islampun tak boleh
dikebumikan di Lintang Batang maupun diwilayah Teluk Bakung. Alasan penolakan
itu, jika si mayit diurus dengan tata cara Islam, penduduk khawatir akan adanya
pocong. Mungkin pemahaman ini muncul ada kaitannya dengan menjamurnya film-film
horor produksi negeri ini, yang selalu mengambarkan hantu itu dengan sosok
pocong. Akhirnya mayat itu dikebumikan dengan tata cara Islam, tapi tak
diwilayah Teluk Bakung melainkan di Siantan.
Setelah
kejadian itulah, Fajri ngotot untuk mendirikan masjid di Teluk Bakung dengan
dukungan beberapa rekan yang seiman dengannya. Dengan didirikannya masjid itu,
diharapkan komunitas muslim akan semakin banyak karena memliki sarana untuk
ibadah yang juga dijadikan sarana musyawarah. Setelah berdirinya masjid 9
September 2010 diatas tanah wakaf BKMT Provinsi tahun 2004 beserta 1 bangunan
sederhana cikal bakal pesantren. Selain itu, tanah wakaf bagian belakang masjid
juga akan dijadikan lokasi pemakaman muslim. Hingga nantinya orang-orang muslim
yang sudah mangkat, memiliki pemakaman khusus di desa tersebut. Dan tak perlu
jauh-jauh jika ingin memakamkan.
Berdiri
masjid ditengah kampung yang hampir semua memeluk agama Katolik dan Protestan
membuat resah penduduk Teluk Bakung. Ketegangan terjadi dan tak bisa dielakkan.
Penolakan terjadi. Banyak alasan yang mereka kemukakan demi tidak berdrinya
rumah ibadah orang muslim itu. Saat itu hampir terjadi pengusiran pada
orang-orang muslim, ancaman juga. Dikhawatirkan pula perbedaan prinsip, cara
pandang antara Islam dan Kristen akan menimbulkan gesekan. Surat penolakan juga
dibuat oleh penduduk dan dilayangkan hingga tingkat Gubernur.
Alasan
penolakan itu adalah dengan adanya masjid, komunitas muslim akan berkembang di
wilayah itu. Dan itu tidak diinginkan penduduk setempat, karena dikhawatirkan
akan adanya persaingan agama. Pemeluk Katolik dan Protestan khawatir akan
banyak pemeluk mereka berpindah agama. Selain itu pandangan-pandangan negatif
akan agama Islam juga membuat suasana yang keruh itu semakin menjadi. Terlebih,
pemberitaan mengenai teroris sering menghiasi media masa. Kontra dengan
pendirian masjid, sejauh ini tak terjadi saat rencana pendirian pesantren
didengungkan.
Dampak
dari penolakan itu adalah, rencana pembangunan yang ditandai dengan penancapan
tiang pertama ditunda dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Ini dilakukan
untuk mendinginkan suasana yang panas mendingin kembali. Ketika tiang pertama
berhasil ditancapkan, berdirilah masjid tersebut. Karena berdiri ditengah
komunitas non Islam, dilihat dari dalam, masjid itu menyerupai bangunan dalam
gereja.
Masjid
itu masih nampak sangat anyar saat kami kesana. Disudut kanan kiri depan
masjid, terdapat 2 penampungan air hujan yang berfungsi sebagai air wudhu. Tapi
sejauh yang kuamati selama ada disana, air tong itu tak digunakan untuk wudhu.
Karena ketika wudhu, anak-anak pesantren, Pak Ridho serta Ustad Syamsul sendiri
menggunakan air kolam yang warnan airnya menyerupai teh. Air gambut. Kolam itu
hanya berukuran 1,5x2 meter, dengan diberi tangga seadanya yang terbuat dari
kayu bulat sebesar lengan orang dewasa. Dari tangga itulah, kemudian sebagain
kaki tercelup air kolam dan disitulah mengambil air wudhu.
Air
kolam itu tak hanya untuk air wudhu saja, tapi juga digunakan untuk keperluan
mandi dan mencuci warga pesantren. Walaupun memang letaknya agak jauh dari
asrama dan wc yang wc yang sudah ada. Mememang ada 1 sumur kecil tak jauh dari
asrama dan wc. Tapi kata Ustadz syamsul, airnya tidak bagus dan tidak digunakan
untuk mandi.
Air
dalam Bak tampungan air hujan dimanfaatkan untuk memasak anak-anak pesantren. Malah,
untuk kebutuhan air minum juga. Hanya menadahkan teko dikran bak, lalau meminum
air tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu. Disamping kiri kanan dalam pintu
masjid, terdapat material yang rencananya akan dibuat 2 wc. Ada semen, prselen,
seng, kloset, serta paku.
Pesantren
yang baru didirikan itu, dan seusia dengan usia masjid yang berdiri samping
depan bangunan cikal bakal pesantren itu hanya memiliki 1 lokal dengan 3 kamar
ala kadarnya. 1 kamar untuk santri putri dan santri putra 1 kamar, dan 1 kamar
lagi untuk kamar pembina (ustadz). Tepat dibelakang kamar ustadz, ada bangunan
tambahan yang hanya berukuran 1x2 meter untuk dapur.
Kondisi
asrama serta dapurnyanya benar-benar masih apa adanya. Papan yang digunakan
sebagai dinding dan lantai masih kasar, tidak tersentuh alat pengetam
(penghalus) papan. Jika berbaring tanpa alas diatasnya kulit akan terasa. Tak
ada lemari dalam asrama itu. Yang ada beberapa rak-rak terbuka terbuat dari
papan yang menempel di dinding, serta kardus untuk tempat pakaian dan buku-buku
mereka. Ada beberapa bantal, dan tak ada kasur. Yang ada, tikar pandan yang tak
seberapa besarnya. Bahkan tikar itu tak menutupi semua lantai asrama yang hanya
berukuran 2x2 meter itu. Kondisi dapur yang sempit itu tak jauh beda dengan
kamar asramanya. Sebagian dindingnya dari papan, tapi setengahnya ditutup
dengan atap daun rumbia 2 keping. Hingga sepotong diding terbuka. Pintunya
hanya menggunakan seng 1 keping, yang hanya ditutup jika malam hari.
Karena
diujung Lintang Batang belum mendapat bagian aliran listrik, walaupun sebagian
wilayah Lintang Batang sudah terang jika malam hari maka mereka harus
menggunakan disel. Karena memang letak pesantren jauh dari rumah-rumah penduduk
Lintang Batang, dan berada pas diujung jalan aspal desa tersebut. Jika sudah
jam 9 malam, diesel akan dimatikan dan mereka melanjutkan malam bersama lampu
tempel yang terbuat dari botol atau kaleng minuman bekas. Jika malam hari, yang
tidak terbiasa dengan petualangan pasti tidak akan bisa tidur dilokasi itu. Nyamuk
seperti suara pesawat tempur, mendengung ditelinga dan siaga untuk berburu
darah.
Sepulang
sekolah 8 orang santri tersebut, langsung menuju pesantren. Mereka masak
sendiri, walaupun usia mereka masih 8 hingga 13 tahun. Mereka masak dan mencuci
sendiri. Paginya jarang sekali mereka sarapan. Kalau sedang ada uang (diberi
pengasuh pesantren ustadz Syamsul) mereka membeli jajanan di sekolah. Uang yang
ustadz samsul gunakan untuk kelangsungan hidup anak-anak dan dia di pesantren
adalah hasil bantuan masyarakat maupun donatur-donatur. Kadang anak-anak
mencari sayuran, dikebun orang tua mereka masing-masing. Yang kemudian mereka
masak bersama-sama di pesantren.
Jam
2.30 mereka belajar membaca dan menulis Arab, setelah Magrib belajar ngaji,
setelah shalat Isya hingga jam 9 mereka belajar untuk mempersiapkan pelajaran
di sekolah formal esok hari. Anak-anak yang menginap di asrama tersebut, ada
yang memang berasal dari keluarga muslim. Tapi ada juga anak-anak mualaf, yang
orang tuanya berbeda agama dari mereka.
Pada
dasarnya, hubungan antar agama di Teluk Bakung berlangsung baik, walaupun
memang sejak Islam mulai mencari tempat, dan muali berani sedikit demi sedikit
menunjukkan aktifitasnya, ketegangan mulai muncul. Menurut pengakuan Fajri,
komunitas pemeluk Islam sebagai agama minoritas disana memilih untuk diam dan
tidak terpancing dengan ketegangan itu. Bahkan orang-orang Islam lebih menjaga
sikap dengan hati-hati dalam bertindak dan berucap, agar hubungan antar Islam
dan agama lain di Teluk Bakung berlangsung rukun. Karena setelah terjadinya
ketegangan lantaran berdirinya masjid Al-Muhajirin, situasi menjadi rentan dan
begitu sensitif.
Walaupun
sudah diadakan forum kajian bagi umat Islam dan mualaf di sana, tapi tetap saja
hal itu tidaklah cukup. Karena ada beberapa orang yang menjadikan Islam hanya
sebatas agama saja, tanpa praktek. Mungkin hal ini terkait dengan ketidak
tahuan terhadap Islam itu sendiri. Dan pembinan umat Islam disana belum
maksimal.
Mualaf
dengan jalur pernikahanpun, terkadang hanya formalitas saat akad nikah saja,
dan perayaan hari besarnya. Karena sehari-hari amalan-amalan (ibadah) serta
aturan dalam agama Islam seperti tidak diindahkan. Si mualaf, tidak bisa
melaksanakan perintah dalam agama Islam terkadang juga karena pasangan yang
menjadi perantaranya memeluk Islam juga tidak paham dengan Islam itu sendiri.
Tidak bisa shalat, bacaan-bacaan shalat, wundu dan membaca Al-Qur’an juga tidak
bisa. Hal inilah yang kemudian membuat sebagain umat Islam di Teluk Bakung
menjadikan agamanya sebatas identitas saja.
Faktor
ketidak tahuan tadi kemudian membawa mereka (orang Islam), terus menggunakan
ritual-ritual adatnya yang sebenarnya prosesi ritual adat tersebut terdapat
hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Herlina seorang ibu yang
mualaf yang juga kader posyandu, ketika ia melahirkan anaknya, ia melakukan
prosesi (upacara) dengan menggukana adat Dayak. Menurut Herlina ini terjadi karena
tidak ada yang tahu bagaimana cara melaksanakan prosesi (biasa disebut
selamatan) sebagai wujud syukur orang tua kepada Allah SWT, karena telah dikaruniai
anak.
Hal
ini terjadi, lantaran umat Islam, mualaf khususnya belum mengetahui banyak hal
dengan agama yang dianutnya. Terlebih jika kondisinya, kuantitas mereka masih
dalam jumlah yang sedikit. Selain itu, mualaf yang pada berasal dari keluarga
Dayak tidak bisa otomatis lepas dari adat. Pak Fajri sendiri saat menikah masih
menggunakan prosesi adat Dayak. Dan ini tidak bisa dielakkan. Karena memang
hanya dia yang beragama Islam di keluarganya. Terlebih ayahnya menjadi Nyirum
Oreng sebagai ketua adat Dayak, yang berpegang teguh pada ritual-ritual adat.
Tak hanya menjadi ketua adat Dayak, Pak Oreng juga menjadi ketua sanggar seni
tari dan musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar