Kamis, 24 November 2011

In Memoriam 97


Masih lekat dalam ingatanku, betapa mencekamnya suasana kampungku tahun 97 dulu. Padahal tragedi itu, tak benar-benar terjadi di kampungku. Tapi terjadi di kampung sebelah yang jaraknya kurang lebih 3 km. Di kampung Sidorejo namanya. Saat itu aku duduk di bangku kelas 4 SD, dan usiaku baru 10 tahun. Tapi, suasana mencekam itu masih tergambar jelas dalam benakku.
Tragedi 97, siapa yang tak mendengarnya. Orang di kampung pelosokpun, tahu akan tragedi itu. Walaupun mungkin mereka tak menyebutnya dengan sebutan tragedi 97. Perang antar suku itu memang benar-benar dahsyat. Banyak memakan korban. Bahkan dampaknya masih terasa hingga kini. Dan hingga detik ini, orang-orang Madura belum berani menginjakkan kaki kembali ke kampung halamannya, awal merintis kehidupan di Sambas. Mereka was-was.
Dikampungku, memang bukan pemukiman orang-orang Madura. Hanya ada 1 keluarga saja. Suaminya Madura, istrinya Jawa dan dari pernikahan mereka, dikaruniai 1 anak. 1 keluarga yang memiliki darah Madura di kampungku, kebingungan mau ke mana. Dia memilih melarikan diri ke dalam hutan belantara dengan membawa serta anaknya. Istrinya tidak ikut dalam pelarian itu.
Di dalam hutan ayah dan anaknya itu bertahan hidup dengan bekal seadanya. Hampir seminggu mereka bersembunyi di hutan. Hampir sepekan, suasana yang benar-benar mencekam itu merundung kampungku. Aku dengarkan cerita dan kabar dari orang-orang akan tragedi itu dengan perasaan khawatir dan kasihan.
Aku khawatir jika sampai orang-orang ‘mangkok merah’ membabi buta dan menyerang tanpa pandang suku, dan kami juga terkena imbasnya. Padahal sasaran mereka datang ke kampung kami adalah, hendak menyeterilkan kampung kami dari orang-orang bersenjata celurit. Walau sebenarnya mereka tidak terlibat dalam kemelut itu. Hanya saja, mereka satu suku. Satu yang makan nangka, semua terkena getahnya.
“Waspada..! Mangkok merah sudah di kirim ke perkampungan Madura,” kata orang-orang kampungku menyebarkan kabar itu, agar kami waspada. Pejabat-pejabat kampungku, kepala dusun, RT dan dan jajarannya berkeliling kampung memberikan peringatan agar kami terus waspada. Sembari memngabarkan hal itu, mereka membagikan kain merah yang lebarnya hanya 3 jari dan panjangnya 30 cm. Kain itu harus kami pasang diatas pintu bagian luar. Konon katanya, kain itu sebagai identitas bahwa kami bukan sasaran mereka. Makanya kain itu harus dipasang di atas pintu. Tak ada yang boleh berkeliaran di luar rumah. Bapak-bapak tak boleh meninggalkan anak istrinya di rumah. Karena katanya orang-orang mangkok merah bisa datang kapan saja.
Aktifitas di kampungku lumpuh. Kami hanya melakukan rutinitas luar rumah yang benar-benar tak bisa ditinggalkan saja. Mencari rumput untuk ternak misalnya. Selebihnya, kami lebih banyak berada di rumah. Sekolah diliburkan 1 minggu. Baru ada SD di kampungku.
Kami tak bisa berbuat apa-apa melihat orang-orang Madura kalut mencari perlindungan. Kami tak bisa berbuat apa-apa, karena kalau kami memberikan tumpangan kepada mereka untuk bersembunyi, nyawa taruhannya. Kami tak berani bermain-main dengan nyawa.
Ada 1 keluarga Madura yang benar-benar akrab dengan kami. Keluarga Pak Mudi namanya. Dia teman baik ayah dan ibuku. Banyak aktifitas yang sudah mereka lakukan bersama-sama. Saat kondisi sedang kalut, tiba-tiba Pak Mudi datang ke rumah. Berniat meminjam sepeda motor King ayahku. Dia tak punya kendaraan untuk membawa istri, anak dan mertuanya mengungsi. Sedangkan istrinya sedang hamil tua dan tinggal menunggu hari kelahiran anak pertamanya.
Ayahku tak tega melihat temannya kalut. Dipinjamkannya kendaraan satu-satunya milik kami itu. walaupun sebenarnya ayah sangat sadar, kemungkinan besar, motor pertama yang dimilikinya tidak akan kembali lagi dengan kondisi yang sudah kacau begitu. Kata ayah, kalau memang kendaraan roda 2 itu tak kembali, artinya itu bukan rezekinya lagi. Hampir 3 hari, tak ada kabar berita dari teman ayah yang meminjam motor itu. Tapi menjelang hari keempat, setelah urusan Pak Mudi selesai, dia mengembalikan motor itu. Saat itu juga dia berpamitan kepada kami untuk mengungsi.
Ke mana tujuan rombongan pengungsi itu. Aku juga tak tahu. Entah jalur mana yang mereka lalui. Darat ataupun sungai. Memilih jalur darat, trak yang mengangkut mereka akan melewati perkampungan Dayak. Dengan motor airpun sama. Sepanjang pesisir sungai, dihuni orang Melayu yang sudah bekerja sama dengan orang-orang Dayak. Walaupun tak semua orang Melayu ikut-ikutan.
Aku paham mengapa mereka bekerja sama. Karena kalau mereka menolak ajakan kerja sama, maka mereka harus mempertaruhkan nyawa. Sedangkan yang mengetahui seluk beluk kampung kami adalah penduduk Melayu Sambas sebagai penduduk pribumi (asli), yang kehidupannya hingga kini jauh tertinggal dibanding kami yang tinggal di kawasan transmigrasi.
Hingga malam harinya, orang-orang mangkok merah belum sampai ke kampung kami maupun kampung sebelah. Katanya mereka sedang ‘membereskan’ orang Madura di blok C, sedangkan kami di blok A. Tapi jarak antara 1 blok dan blok lainnya sekitar 1, 2 hingga 3 km. Saat itulah dimanfaatkan orang Madura kampung sebelah untuk mengamankan barang-barang berharga miliknya, sebelum mereka tinggal untuk mengungsi bersama rombongan lainnya.
Menjelang subuh, mereka menemukan pemukiman orang Madura. Rumah-rumah yang sudah tak berpenghuni itu diobrak-abrik tanpa ampun. Mereka dobrak pintu yang terkunci untuk mencari penghuni rumah. Tak menemukan penghuni rumah, mereka lantas membakar rumah-rumah yang terletak di 1 RT itu satu persatu. melihat rumah sudah kosong tak berpenhuni dan barang-barang juga kosong, mereka mencari-cari hingga ke kebun orang-orang Madura. Katanya, barang-barang yang sudah disembunyikan di perkarangan belakang rumah (kebun belakang rumahpun), dapat ditemukan dan kemudian dimusnahkan.
Tak hanya itu, barang yang dititipkan ke tetangga suku Jawapun bisa terdeteksi dan kemudian ikut dimusnahkan juga. Katanya mereka bisa mendeteksinya karena ada aroma khas orang-orang Madura. Begitu juga barang-barangnya, aroma sapi katanya. Mungkin karena orang-orang Madura menyukai binatang itu, banyak memelihara. Tapi sebenarnya jika itu alasannya, kami orang-orang Jawa juga memelihara sapi. Rasanya tak ada aroma itu tercium, atau butuh ilmu khusus untuk mengendusnya. Entahlah aku sendiri tak tahu, benar atau tidak akan hal itu.
Ada 1 rumah yang baru selesai dibangun. Belum genap 3 bulan saat tragedi itu terjadi. Penghuni rumah sudah mengungsi, barang-barang berharga juga sudah di amankan. Tapi tidak dengan kitab suci Al-Qur’an dan peralatan shalatnya. Kata orang-orang yang menyaksikannya, berkali-kali rumah itu hendak di bakar, tapi tak berhasil. Kemudian orang-orang Dayak memeriksa isi rumah. Kosong, tak ada penghuni dan barang-barang seadanya serta Al-Qur’an dan peralatan shalat yang sengaja tak dikeluarkan. Entah apa tujuannya. Tapi setelah Al-Qur’an dan peralatan shalat dikeluarkan, barulah rumah itu bisa dibakar. Mungkin siempunya rumah dulunya taat beragama.
Pagi harinya, asap tebal mengepul dari kampung sebelah. Rumah-rumah yang ditinggal lari itu musnah dibakar tanpa ada yang bisa dan berani mencegahnya. Seingatku, saat itu terjadi tak ada aparat yang sampai ke kampung kami. Memang kampung kmi jauh dari jangkauan aparat. Dari pusat kota Sambas, untuk sampai ke kampung kami, butuh waktu 4 hingga 5 jam jalur air dengan motor klotok. Sedangkan dengan jalur darat, butuh 3 jam, dan paling lama 4,5 jam. Tapi jalur darat, jalannya hancur. Diperbaikipun akan hancur lagi. Karena jalan itu dilewati buldoser, truk-truk perusahaan sawit yang sudah menjamur sejak dulu.
Saat kampung sebelah membara, 1 keluarga Madura di kampungku tak ikut dalam rombongan pengungsi. Dia memilih melarikan diri ke hutan dengan membawa anaknya. Hanya tinggal istrinya di rumah.  
Pagi harinya suasana kampung menjadi hening, seiring dengan padamnya api yang masih menyisakan kepulan asap hitam yang nampak hingga kampung kami. Rumah saudara-saudara kami yang sebenarnya tak tahu menahu akan permasalahan yang memicu pertikaian antara suku itu ludes tak bersisa. Pagi harinya, aku dan teman-temanku mulai ke sekolah. Ada 1 orang tua yang mengantarkan kami. Kami tak jalan sendiri-sendiri seperti hari-hari sebelum kejadian itu. Pagi itu, hampir seluruh orang tua menyarankan agar kami berjalan bersama dan bergandengan.
Saat tiba di kampung sebelah, kami ketakutan, ingin berlari sekencang-kencangnya agar cepat sampai ke sekolah saat kami berpapasan dengan rombongan orang Dayak Melayu yang mukanya coreng moreng tak jelas. Entah mukanya diolesi dengan apa, yang pasti muka mereka tak karuan semua bentuknya. Tapi, kami tak bisa lari karena pesan orang tua kami, tak boleh lari atau teriak ketika berpapasan dengan orang-orang itu. Terus berjalan bergandengan tanpa menghiraukan mereka.
Sampai di sekolah, kami bukannya belajar. Karena sekolah sepi. Tak banyak siswa yang masuk, begitu juga dengan gurunya. Bahkan kepala sekolah dan istrinya yang juga guru absen hari itu. Kepala sekolah dan istrinya absen, karena di rumahnyalah rombongan ‘mangkok merah’ berhenti, istirahat setelah beraksi.
Mereka menjarah (mengambil dan memakan tanpa membayar) makanan di warung milik warga yang berada di seberang rumah kepala sekolah. Pemilik warung hanya bisa melihat aksi itu. Tak bisa berbuat apa-apa, isi warung mereka diambil tanpa ada rupiah yang diterimanya.
Kami yang sekolah hanya datang dan duduk di kelas. Tak ada kegiatan belajar mengajar. Kami menceritakan pengalaman kami masing-masing saat melihat tragedi mengerikan itu. tak lama kami di sekolah, lalu pulang. Ketika pulang, kami tak berombongan lagi. Walaupun tak pulang sendiri. Masih bersama 2 hingga 3 orang teman. Saat aku baru keluar area sekolah dan menuruni tanjakan berbatu, aku melihat laki-laki berambut panjang, telinganya lebar dengan mandau yang diikatkan di pinggul sebelah kirinya. Tak ada senyum di mukanya. Itu yang membuat kami takut. Dalam benakku dulu, ini pasti orang Dayak.
Yang kudengar, yang kulihat dari televisi, orang-orang Dayak memiliki ciri telinga panjang. Senjata yang dibawanya, membuatku ingat dengan pelajaran sejarah jika mandau adalah senjata orang Dayak. Tapi mungkin dia orang Dayak moderen. Karena bajunya lengkap, tak telanjang dada dan dia juga memakai sepatu. Dari beberapa tayangan televisi yang menampilkan orang Dayak yang berada di pedalaman, mereka tidak mengenakan baju lengkap. Jikapun menggenakan baju, bahan dasar bajunya itu terbuat dari hasil alam langsung. Ada baju yang terbuat dari kulit kayu, dedaunan dan lain sebagainya. Ada juga yang hanya memakai koteka saja. Setelah orang itu lewat, kami langsung berlari sekencang-kencangnya hingga tiba di rumah.
Hingga beberapa minggu setelah hebohnya penyerangan Dayak ke kampung sebelah, kejadian itu menjadi topik hangat di kampungku. Banyak yang mengenang kampung Sidorejo saat masih ada mereka saudara-saudara kami suku Madura. Kini satu blok (RT) mereka sunyi hanya menyisakan puing-puing dengan abu yang beterbangan tertiup angin. Seakan abu rumah yang ludes itu terbang mencari pemiliknya. Entah ke mana mereka mengungsi. Kudengar-dengar dulu mereka dibawa ke Tebang Kacang. Tapi pastinya aku tak tahu.
Setelah kejadian itu, tak ada satupun dari mereka yang muncul ke kampung halaman tempat mereka merintis kehidupan dulu. Tempat yang menjadi saksi keuletan mereka, yang membuat kehidupan mereka sedikit demi sedikit membaik. Mereka mengolah tanah, mereka memelihara sapi, dan kotoran sapi mereka gunakan sebagai pupuk tanaman mereka. Jika pertanian sedang tak bisa diandalkan, mereka akan kerja serabutan.
Mereka menanam sayur, ubi, jagung, padi, lada juga. Ada juga yang menanam karet, untuk disadap getahnya. Mereka juga sempat menikmati hasil jerih payah mereka saat harga lada melambung hingga Rp. 100.000 per kilo gramnya. Selain itu, hasil ternak sapi yang selain berfungsi sebagai sumber pupuk kadang, juga mereka jual. Tak hanya 1 sapi yang mereka ternakkan. Dari situ pulalah mereka bisa membangung rumah, memiliki kendaraan dan perabotan. Keuletan mereka juga nampak dari rumah-rumah mereka, yang mentereng. Rata-rata rumah mereka sudah direnovasi atau dibangun.
Seingatku, mereka tak pernah terlibat cek-cok dengan sesama atau suku lain di kampung kami. Ada yang dari Banjar, Jawa Tengah, Kebumen, Jawa Barat juga. Jikapun pernah, mereka mampu mengatasinya secara kekeluargaan dan tak sampai meluas. Tak ada catatan hitam tentang mereka selama tinggal berdampingan bersama kami. Tapi, nasib berkata lain. Walaupun mereka pada dasarnya baik.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar