Masih
lekat dalam ingatanku, betapa mencekamnya suasana kampungku tahun 97 dulu.
Padahal tragedi itu, tak benar-benar terjadi di kampungku. Tapi terjadi di
kampung sebelah yang jaraknya kurang lebih 3 km. Di kampung Sidorejo namanya.
Saat itu aku duduk di bangku kelas 4 SD, dan usiaku baru 10 tahun. Tapi,
suasana mencekam itu masih tergambar jelas dalam benakku.
Tragedi
97, siapa yang tak mendengarnya. Orang di kampung pelosokpun, tahu akan tragedi
itu. Walaupun mungkin mereka tak menyebutnya dengan sebutan tragedi 97. Perang
antar suku itu memang benar-benar dahsyat. Banyak memakan korban. Bahkan
dampaknya masih terasa hingga kini. Dan hingga detik ini, orang-orang Madura
belum berani menginjakkan kaki kembali ke kampung halamannya, awal merintis
kehidupan di Sambas. Mereka was-was.
Dikampungku,
memang bukan pemukiman orang-orang Madura. Hanya ada 1 keluarga saja. Suaminya
Madura, istrinya Jawa dan dari pernikahan mereka, dikaruniai 1 anak. 1 keluarga
yang memiliki darah Madura di kampungku, kebingungan mau ke mana. Dia memilih
melarikan diri ke dalam hutan belantara dengan membawa serta anaknya. Istrinya
tidak ikut dalam pelarian itu.
Di
dalam hutan ayah dan anaknya itu bertahan hidup dengan bekal seadanya. Hampir
seminggu mereka bersembunyi di hutan. Hampir sepekan, suasana yang benar-benar
mencekam itu merundung kampungku. Aku dengarkan cerita dan kabar dari
orang-orang akan tragedi itu dengan perasaan khawatir dan kasihan.
Aku
khawatir jika sampai orang-orang ‘mangkok merah’ membabi buta dan menyerang
tanpa pandang suku, dan kami juga terkena imbasnya. Padahal sasaran mereka
datang ke kampung kami adalah, hendak menyeterilkan kampung kami dari
orang-orang bersenjata celurit. Walau sebenarnya mereka tidak terlibat dalam
kemelut itu. Hanya saja, mereka satu suku. Satu yang makan nangka, semua
terkena getahnya.
“Waspada..!
Mangkok merah sudah di kirim ke perkampungan Madura,” kata orang-orang
kampungku menyebarkan kabar itu, agar kami waspada. Pejabat-pejabat kampungku,
kepala dusun, RT dan dan jajarannya berkeliling kampung memberikan peringatan
agar kami terus waspada. Sembari memngabarkan hal itu, mereka membagikan kain
merah yang lebarnya hanya 3 jari dan panjangnya 30 cm. Kain itu harus kami
pasang diatas pintu bagian luar. Konon katanya, kain itu sebagai identitas
bahwa kami bukan sasaran mereka. Makanya kain itu harus dipasang di atas pintu.
Tak ada yang boleh berkeliaran di luar rumah. Bapak-bapak tak boleh
meninggalkan anak istrinya di rumah. Karena katanya orang-orang mangkok merah
bisa datang kapan saja.
Aktifitas
di kampungku lumpuh. Kami hanya melakukan rutinitas luar rumah yang benar-benar
tak bisa ditinggalkan saja. Mencari rumput untuk ternak misalnya. Selebihnya,
kami lebih banyak berada di rumah. Sekolah diliburkan 1 minggu. Baru ada SD di
kampungku.
Kami
tak bisa berbuat apa-apa melihat orang-orang Madura kalut mencari perlindungan.
Kami tak bisa berbuat apa-apa, karena kalau kami memberikan tumpangan kepada
mereka untuk bersembunyi, nyawa taruhannya. Kami tak berani bermain-main dengan
nyawa.
Ada
1 keluarga Madura yang benar-benar akrab dengan kami. Keluarga Pak Mudi
namanya. Dia teman baik ayah dan ibuku. Banyak aktifitas yang sudah mereka
lakukan bersama-sama. Saat kondisi sedang kalut, tiba-tiba Pak Mudi datang ke
rumah. Berniat meminjam sepeda motor King ayahku. Dia tak punya kendaraan untuk
membawa istri, anak dan mertuanya mengungsi. Sedangkan istrinya sedang hamil
tua dan tinggal menunggu hari kelahiran anak pertamanya.
Ayahku
tak tega melihat temannya kalut. Dipinjamkannya kendaraan satu-satunya milik
kami itu. walaupun sebenarnya ayah sangat sadar, kemungkinan besar, motor
pertama yang dimilikinya tidak akan kembali lagi dengan kondisi yang sudah
kacau begitu. Kata ayah, kalau memang kendaraan roda 2 itu tak kembali, artinya
itu bukan rezekinya lagi. Hampir 3 hari, tak ada kabar berita dari teman ayah
yang meminjam motor itu. Tapi menjelang hari keempat, setelah urusan Pak Mudi
selesai, dia mengembalikan motor itu. Saat itu juga dia berpamitan kepada kami
untuk mengungsi.
Ke
mana tujuan rombongan pengungsi itu. Aku juga tak tahu. Entah jalur mana yang
mereka lalui. Darat ataupun sungai. Memilih jalur darat, trak yang mengangkut
mereka akan melewati perkampungan Dayak. Dengan motor airpun sama. Sepanjang
pesisir sungai, dihuni orang Melayu yang sudah bekerja sama dengan orang-orang
Dayak. Walaupun tak semua orang Melayu ikut-ikutan.
Aku
paham mengapa mereka bekerja sama. Karena kalau mereka menolak ajakan kerja
sama, maka mereka harus mempertaruhkan nyawa. Sedangkan yang mengetahui seluk
beluk kampung kami adalah penduduk Melayu Sambas sebagai penduduk pribumi
(asli), yang kehidupannya hingga kini jauh tertinggal dibanding kami yang
tinggal di kawasan transmigrasi.
Hingga
malam harinya, orang-orang mangkok merah belum sampai ke kampung kami maupun
kampung sebelah. Katanya mereka sedang ‘membereskan’ orang Madura di blok C,
sedangkan kami di blok A. Tapi jarak antara 1 blok dan blok lainnya sekitar 1,
2 hingga 3 km. Saat itulah dimanfaatkan orang Madura kampung sebelah untuk
mengamankan barang-barang berharga miliknya, sebelum mereka tinggal untuk mengungsi
bersama rombongan lainnya.
Menjelang
subuh, mereka menemukan pemukiman orang Madura. Rumah-rumah yang sudah tak
berpenghuni itu diobrak-abrik tanpa ampun. Mereka dobrak pintu yang terkunci
untuk mencari penghuni rumah. Tak menemukan penghuni rumah, mereka lantas
membakar rumah-rumah yang terletak di 1 RT itu satu persatu. melihat rumah
sudah kosong tak berpenhuni dan barang-barang juga kosong, mereka mencari-cari
hingga ke kebun orang-orang Madura. Katanya, barang-barang yang sudah
disembunyikan di perkarangan belakang rumah (kebun belakang rumahpun), dapat
ditemukan dan kemudian dimusnahkan.
Tak
hanya itu, barang yang dititipkan ke tetangga suku Jawapun bisa terdeteksi dan
kemudian ikut dimusnahkan juga. Katanya mereka bisa mendeteksinya karena ada
aroma khas orang-orang Madura. Begitu juga barang-barangnya, aroma sapi katanya.
Mungkin karena orang-orang Madura menyukai binatang itu, banyak memelihara.
Tapi sebenarnya jika itu alasannya, kami orang-orang Jawa juga memelihara sapi.
Rasanya tak ada aroma itu tercium, atau butuh ilmu khusus untuk mengendusnya. Entahlah
aku sendiri tak tahu, benar atau tidak akan hal itu.
Ada
1 rumah yang baru selesai dibangun. Belum genap 3 bulan saat tragedi itu
terjadi. Penghuni rumah sudah mengungsi, barang-barang berharga juga sudah di
amankan. Tapi tidak dengan kitab suci Al-Qur’an dan peralatan shalatnya. Kata
orang-orang yang menyaksikannya, berkali-kali rumah itu hendak di bakar, tapi
tak berhasil. Kemudian orang-orang Dayak memeriksa isi rumah. Kosong, tak ada
penghuni dan barang-barang seadanya serta Al-Qur’an dan peralatan shalat yang
sengaja tak dikeluarkan. Entah apa tujuannya. Tapi setelah Al-Qur’an dan
peralatan shalat dikeluarkan, barulah rumah itu bisa dibakar. Mungkin siempunya
rumah dulunya taat beragama.
Pagi
harinya, asap tebal mengepul dari kampung sebelah. Rumah-rumah yang ditinggal
lari itu musnah dibakar tanpa ada yang bisa dan berani mencegahnya. Seingatku,
saat itu terjadi tak ada aparat yang sampai ke kampung kami. Memang kampung kmi
jauh dari jangkauan aparat. Dari pusat kota Sambas, untuk sampai ke kampung
kami, butuh waktu 4 hingga 5 jam jalur air dengan motor klotok. Sedangkan
dengan jalur darat, butuh 3 jam, dan paling lama 4,5 jam. Tapi jalur darat,
jalannya hancur. Diperbaikipun akan hancur lagi. Karena jalan itu dilewati
buldoser, truk-truk perusahaan sawit yang sudah menjamur sejak dulu.
Saat
kampung sebelah membara, 1 keluarga Madura di kampungku tak ikut dalam
rombongan pengungsi. Dia memilih melarikan diri ke hutan dengan membawa
anaknya. Hanya tinggal istrinya di rumah.
Pagi
harinya suasana kampung menjadi hening, seiring dengan padamnya api yang masih
menyisakan kepulan asap hitam yang nampak hingga kampung kami. Rumah
saudara-saudara kami yang sebenarnya tak tahu menahu akan permasalahan yang
memicu pertikaian antara suku itu ludes tak bersisa. Pagi harinya, aku dan
teman-temanku mulai ke sekolah. Ada 1 orang tua yang mengantarkan kami. Kami
tak jalan sendiri-sendiri seperti hari-hari sebelum kejadian itu. Pagi itu,
hampir seluruh orang tua menyarankan agar kami berjalan bersama dan
bergandengan.
Saat
tiba di kampung sebelah, kami ketakutan, ingin berlari sekencang-kencangnya
agar cepat sampai ke sekolah saat kami berpapasan dengan rombongan orang Dayak
Melayu yang mukanya coreng moreng tak jelas. Entah mukanya diolesi dengan apa,
yang pasti muka mereka tak karuan semua bentuknya. Tapi, kami tak bisa lari
karena pesan orang tua kami, tak boleh lari atau teriak ketika berpapasan
dengan orang-orang itu. Terus berjalan bergandengan tanpa menghiraukan mereka.
Sampai
di sekolah, kami bukannya belajar. Karena sekolah sepi. Tak banyak siswa yang
masuk, begitu juga dengan gurunya. Bahkan kepala sekolah dan istrinya yang juga
guru absen hari itu. Kepala sekolah dan istrinya absen, karena di rumahnyalah
rombongan ‘mangkok merah’ berhenti, istirahat setelah beraksi.
Mereka
menjarah (mengambil dan memakan tanpa membayar) makanan di warung milik warga
yang berada di seberang rumah kepala sekolah. Pemilik warung hanya bisa melihat
aksi itu. Tak bisa berbuat apa-apa, isi warung mereka diambil tanpa ada rupiah
yang diterimanya.
Kami
yang sekolah hanya datang dan duduk di kelas. Tak ada kegiatan belajar
mengajar. Kami menceritakan pengalaman kami masing-masing saat melihat tragedi
mengerikan itu. tak lama kami di sekolah, lalu pulang. Ketika pulang, kami tak
berombongan lagi. Walaupun tak pulang sendiri. Masih bersama 2 hingga 3 orang
teman. Saat aku baru keluar area sekolah dan menuruni tanjakan berbatu, aku
melihat laki-laki berambut panjang, telinganya lebar dengan mandau yang
diikatkan di pinggul sebelah kirinya. Tak ada senyum di mukanya. Itu yang
membuat kami takut. Dalam benakku dulu, ini pasti orang Dayak.
Yang
kudengar, yang kulihat dari televisi, orang-orang Dayak memiliki ciri telinga
panjang. Senjata yang dibawanya, membuatku ingat dengan pelajaran sejarah jika
mandau adalah senjata orang Dayak. Tapi mungkin dia orang Dayak moderen. Karena
bajunya lengkap, tak telanjang dada dan dia juga memakai sepatu. Dari beberapa
tayangan televisi yang menampilkan orang Dayak yang berada di pedalaman, mereka
tidak mengenakan baju lengkap. Jikapun menggenakan baju, bahan dasar bajunya
itu terbuat dari hasil alam langsung. Ada baju yang terbuat dari kulit kayu,
dedaunan dan lain sebagainya. Ada juga yang hanya memakai koteka saja. Setelah orang
itu lewat, kami langsung berlari sekencang-kencangnya hingga tiba di rumah.
Hingga
beberapa minggu setelah hebohnya penyerangan Dayak ke kampung sebelah, kejadian
itu menjadi topik hangat di kampungku. Banyak yang mengenang kampung Sidorejo
saat masih ada mereka saudara-saudara kami suku Madura. Kini satu blok (RT)
mereka sunyi hanya menyisakan puing-puing dengan abu yang beterbangan tertiup
angin. Seakan abu rumah yang ludes itu terbang mencari pemiliknya. Entah ke
mana mereka mengungsi. Kudengar-dengar dulu mereka dibawa ke Tebang Kacang.
Tapi pastinya aku tak tahu.
Setelah
kejadian itu, tak ada satupun dari mereka yang muncul ke kampung halaman tempat
mereka merintis kehidupan dulu. Tempat yang menjadi saksi keuletan mereka, yang
membuat kehidupan mereka sedikit demi sedikit membaik. Mereka mengolah tanah,
mereka memelihara sapi, dan kotoran sapi mereka gunakan sebagai pupuk tanaman
mereka. Jika pertanian sedang tak bisa diandalkan, mereka akan kerja serabutan.
Mereka
menanam sayur, ubi, jagung, padi, lada juga. Ada juga yang menanam karet, untuk
disadap getahnya. Mereka juga sempat menikmati hasil jerih payah mereka saat
harga lada melambung hingga Rp. 100.000 per kilo gramnya. Selain itu, hasil
ternak sapi yang selain berfungsi sebagai sumber pupuk kadang, juga mereka
jual. Tak hanya 1 sapi yang mereka ternakkan. Dari situ pulalah mereka bisa
membangung rumah, memiliki kendaraan dan perabotan. Keuletan mereka juga nampak
dari rumah-rumah mereka, yang mentereng. Rata-rata rumah mereka sudah
direnovasi atau dibangun.
Seingatku,
mereka tak pernah terlibat cek-cok dengan sesama atau suku lain di kampung
kami. Ada yang dari Banjar, Jawa Tengah, Kebumen, Jawa Barat juga. Jikapun
pernah, mereka mampu mengatasinya secara kekeluargaan dan tak sampai meluas.
Tak ada catatan hitam tentang mereka selama tinggal berdampingan bersama kami.
Tapi, nasib berkata lain. Walaupun mereka pada dasarnya baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar