Matahari
masih terasa terik saat aku dan teman-teman kosku mengawali perjalanan menuju
Jalan A. Yani 2. Tujuan kami, jalan Merdeka 2, Objek Patok Nol. Sesuai dengan
denah di undangan, posisi gangnya setelah tugu selamat jalan yang terdapat di
A. Yani 2. Tak ada satupun diantara kami yang mengetahui posisi jelasnya. Kami
berangkat dengan modal yakin, denah plus nekat.
Baru
masuk kawasan A. Yani 2, langit arah bandara Supadio sudah mulai gelap. Aku
sudah ketar-ketir melihat cuaca yang sendu. Khawatir hujan. Kata Mba Dwi, teman
kosku yang menikah, jalannya tidak bagus. Dia sendiri sudah wanti-wanti, akan
situasi medan yang menantang. Terlebih jika sudah terguyur hujan. Akan tambah ‘mantap....’
katanya.
“Jangan
coba-coba pakai sendal tinggi! Tapi kalau mau repot, sialahkan jak dicoba” aku
teriak dari kamarku saat teman-teman kos bersiap-siap di kamar masing-masing.
Ternyata,
ada satu temanku yang meragukan ultimatumku. Dia masih menggunakan sendal ‘permpuannya’.
Istilah sendal perempuan, aku dan teman-teman gunakan untuk menyebut
sandal-sangal tinggi yang digunakan kebanyakan perempuan saat undangan. Sedangkan
aku dan teman-teman, menggunakan sendal biasa. Teplek. Bahkan ada yang memakai
sepatu tahan banting, sepatu karet.
“Jalan
Merdeka 2, tengok denahnya dek!,” aku meminta adikku Istiqomah untuk melihat
denah yang ada diundangan.
“Tak
tau Mba,” jawabnya. Kemudian undangan itu dia berikan pada temanku Tasiana Eka.
Dia navigatornya.
Saat
hujan mulai turun, kami ragu. Lanjut atau berteduh. Kalau berteduh, khawatir
hujan akan lama. Resikonya, jalan semakin buruk, dan kami tak mau kesorean. Jalanan
sepi.
Ada 1
jalan yang terpasang janur didepannya. Hanya jalan itu satu-satunya yang
mendekati arahan yang diberikan temanku. Jalan setelah tugu selamat jalan.
Kami
beberapa kali bertanya pada warga setempat. Khawatir tersesat di kampung orang.
Ada juga warga disepanjang jalan yang kami lewati, tak mengetahui posisi tempat
tujuan kami. Kami sempat senyum kecut. Penduduk saja tidak tahu. Kami kembali
bertanya. Ada bapak-bapak yang sedang bongkar muatan dalam pic up. Dari jawabannya,
ternyata tempat yang kami tuju, memang benar-benar jauh.
“O...itu,
masih jauh...sanak lagi,” katanya.
“Makasih
Pak,” kata kami sambil tersenyum.
Senyum
karena mendapat kejelasan letak, tapi diakhiri dengan tarikan nafas panjang. Ternyata,
masih jauh.
Hujan
terus menguyur. Walaupun tak lebat, tapi membuat kami basah. Saat hujan mulai
lebat, kami berhenti menggunakan mantel, lalu melanjutkan perjalanan.
Semakin
jauh, kondisi jalan semakin buruk dan licin akibat guyuran hujan. Jalan sudah
berbatu. Tapi sebagian batu pisai dan tanah berlubang-lubang.
“Oh
Tuhan...jalannya,” kataku.
Kami
semua berhenti sejenak mengamati jalan yang akan kami lewati. Lagi-lagi,
menghela nafas. Temanku Berli, menitipkan tas Harmesnya pada adikku. Tas itu
memang akan berat dan sedikit merepotkan kalau dipakai melewati medan yang
begitu. Sedangkan temanku Tasiana Eka, menukar sendal tingginya dengan adikku
Siti yang di boncengnya. Aku tertawa melihat mereka.
“Kalau
tau begini Mba, pakai sepatu karet tadi,” kata Berli yang nampak agak menyesal
tak mempercayai kata-kataku.
“Dah
Ambar bilang...”
Tak
lama setelah acara tukar-menukar sandal, kami tiba ditempat resepsi. Kuyup,
masai. Begitu gambaran kondisi kami saat tiba disana. Kami tak langsung masuk,
dan sejenak berteduh di rumah tetangga si empunya hajat. Ada yang merapikan
pakaian, dan kerudung yang basah, ada juga yang menyisir rambut yang berantakan
tertiup angin.
Aku sempat
menjinjit ari tempatku memarkir motor dan melongokkan kepala ke arah dalam
tarup. Masih sepi, belum banyak tamu. Hanya satu, dua. Mungkin karena hujan.
Pasangan
ssuami istri Hendri dan Dwi, nampak bahagia. Selama kami disana, Mba Dwi tak
berhenti senyum. Nampaknya, Mba Dwi senyum-senyum karena melihat aku dan Eka
(Tasiana Eka), senyum dan berbisik-bisik. Setelah menikmati semangkok bakso, dan
berfoto bersama, kami pulang.
Saat
pulang, hujan sudah reda. Kami meluncur pulang. Hujan menyisakan genangan air. Jalan
semakin licin dibanding kondisi saat kami pergi tadi. Sudah banyak yang lewat.
Saat
melewati jalan yang paling parah, ban motor Eka sempat tergelincir dan hampir
melintang di tengah jalan. Aku yang berada tepat dibelakangnya ngeri membayangkannya.
Disebelah kanan jalan ada parit hampir 5 meter lebarnya. Parit itu juga dalam. Pokoknya
1 kata, ngeri.
Aku berinisiatif
tak melewati jalan yang sama. Khawir terpeleset juga. Tapi, saat aku melintas
jalur sebelahnya, malah lebih parah. Aku yang melintang di jalan itu. Darahku
sudah berdesir, jantung mau copot.
Aku meneruskan
perjalanan. Baru keluar dari Jalan Merdeka 2 dan melaju di A. Yani 2, hujan
kembali turun. Basah lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar