Senin, 28 November 2011

Objek Patok Nol


Matahari masih terasa terik saat aku dan teman-teman kosku mengawali perjalanan menuju Jalan A. Yani 2. Tujuan kami, jalan Merdeka 2, Objek Patok Nol. Sesuai dengan denah di undangan, posisi gangnya setelah tugu selamat jalan yang terdapat di A. Yani 2. Tak ada satupun diantara kami yang mengetahui posisi jelasnya. Kami berangkat dengan modal yakin, denah plus nekat.
Baru masuk kawasan A. Yani 2, langit arah bandara Supadio sudah mulai gelap. Aku sudah ketar-ketir melihat cuaca yang sendu. Khawatir hujan. Kata Mba Dwi, teman kosku yang menikah, jalannya tidak bagus. Dia sendiri sudah wanti-wanti, akan situasi medan yang menantang. Terlebih jika sudah terguyur hujan. Akan tambah ‘mantap....’ katanya.
“Jangan coba-coba pakai sendal tinggi! Tapi kalau mau repot, sialahkan jak dicoba” aku teriak dari kamarku saat teman-teman kos bersiap-siap di kamar masing-masing.  
Ternyata, ada satu temanku yang meragukan ultimatumku. Dia masih menggunakan sendal ‘permpuannya’. Istilah sendal perempuan, aku dan teman-teman gunakan untuk menyebut sandal-sangal tinggi yang digunakan kebanyakan perempuan saat undangan. Sedangkan aku dan teman-teman, menggunakan sendal biasa. Teplek. Bahkan ada yang memakai sepatu tahan banting, sepatu karet.
“Jalan Merdeka 2, tengok denahnya dek!,” aku meminta adikku Istiqomah untuk melihat denah yang ada diundangan.
“Tak tau Mba,” jawabnya. Kemudian undangan itu dia berikan pada temanku Tasiana Eka. Dia navigatornya.
Saat hujan mulai turun, kami ragu. Lanjut atau berteduh. Kalau berteduh, khawatir hujan akan lama. Resikonya, jalan semakin buruk, dan kami tak mau kesorean. Jalanan sepi.
Ada 1 jalan yang terpasang janur didepannya. Hanya jalan itu satu-satunya yang mendekati arahan yang diberikan temanku. Jalan setelah tugu selamat jalan.
Kami beberapa kali bertanya pada warga setempat. Khawatir tersesat di kampung orang. Ada juga warga disepanjang jalan yang kami lewati, tak mengetahui posisi tempat tujuan kami. Kami sempat senyum kecut. Penduduk saja tidak tahu. Kami kembali bertanya. Ada bapak-bapak yang sedang bongkar muatan dalam pic up. Dari jawabannya, ternyata tempat yang kami tuju, memang benar-benar jauh.
“O...itu, masih jauh...sanak lagi,” katanya.
“Makasih Pak,” kata kami sambil tersenyum.
Senyum karena mendapat kejelasan letak, tapi diakhiri dengan tarikan nafas panjang. Ternyata, masih jauh.
Hujan terus menguyur. Walaupun tak lebat, tapi membuat kami basah. Saat hujan mulai lebat, kami berhenti menggunakan mantel, lalu melanjutkan perjalanan.
Semakin jauh, kondisi jalan semakin buruk dan licin akibat guyuran hujan. Jalan sudah berbatu. Tapi sebagian batu pisai dan tanah berlubang-lubang.
“Oh Tuhan...jalannya,” kataku.
Kami semua berhenti sejenak mengamati jalan yang akan kami lewati. Lagi-lagi, menghela nafas. Temanku Berli, menitipkan tas Harmesnya pada adikku. Tas itu memang akan berat dan sedikit merepotkan kalau dipakai melewati medan yang begitu. Sedangkan temanku Tasiana Eka, menukar sendal tingginya dengan adikku Siti yang di boncengnya. Aku tertawa melihat mereka.
“Kalau tau begini Mba, pakai sepatu karet tadi,” kata Berli yang nampak agak menyesal tak mempercayai kata-kataku.
“Dah Ambar bilang...”
Tak lama setelah acara tukar-menukar sandal, kami tiba ditempat resepsi. Kuyup, masai. Begitu gambaran kondisi kami saat tiba disana. Kami tak langsung masuk, dan sejenak berteduh di rumah tetangga si empunya hajat. Ada yang merapikan pakaian, dan kerudung yang basah, ada juga yang menyisir rambut yang berantakan tertiup angin.
Aku sempat menjinjit ari tempatku memarkir motor dan melongokkan kepala ke arah dalam tarup. Masih sepi, belum banyak tamu. Hanya satu, dua. Mungkin karena hujan.
Pasangan ssuami istri Hendri dan Dwi, nampak bahagia. Selama kami disana, Mba Dwi tak berhenti senyum. Nampaknya, Mba Dwi senyum-senyum karena melihat aku dan Eka (Tasiana Eka), senyum dan berbisik-bisik. Setelah menikmati semangkok bakso, dan berfoto bersama, kami pulang.
Saat pulang, hujan sudah reda. Kami meluncur pulang. Hujan menyisakan genangan air. Jalan semakin licin dibanding kondisi saat kami pergi tadi. Sudah banyak yang lewat.
Saat melewati jalan yang paling parah, ban motor Eka sempat tergelincir dan hampir melintang di tengah jalan. Aku yang berada tepat dibelakangnya ngeri membayangkannya. Disebelah kanan jalan ada parit hampir 5 meter lebarnya. Parit itu juga dalam. Pokoknya 1 kata, ngeri.
Aku berinisiatif tak melewati jalan yang sama. Khawir terpeleset juga. Tapi, saat aku melintas jalur sebelahnya, malah lebih parah. Aku yang melintang di jalan itu. Darahku sudah berdesir, jantung mau copot.
Aku meneruskan perjalanan. Baru keluar dari Jalan Merdeka 2 dan melaju di A. Yani 2, hujan kembali turun. Basah lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar