Minggu, 27 November 2011

Peninggalan Jepang Itu...


Jembatan peniggalan Jepang itu masih berdiri hingga kini. Masih menjadi lintasan warga Sambas, dan mempermudah mobilitas dari jalan Kraton dan Kampung Manggis. Jembatan itu menjadi saksi, Jepang pernah ingin selamanya ada di Sambas, hingga membuat jembatan itu begitu kokoh. Saat aku kecil dulu, jembatan itu jadi patokan. Kalau sudah sampai di jembatan itu, artinya tak akan lama lagi, klotok akan sampai di dermaga pasar Sambas.  
Sudah beberapa kali pulang kampung, motor air kelotok yang menjadi transportasi alternatif menuju kampungku, tersangkut di jembatan itu. Sebenarnya, pembuat klotok sudah memperhitungkan desainnya agar bisa lolos dari jembatan itu. Karena memang, lebar motor air itu bisa menerobos kaki-kaki jembatan yang tak begitu lebar.
Hanya saja jika klotok mengangkut banyak penumpang, plus di ruffnya penuh sesak barang atau mengangkut motor, klotok akan tersangkut di kolong jembatan. Kejadian ini sudah biasa saat debit air sungai Sambas naik. Motor air yang hendak melintas, biasanya sabar menunggu air surut dengan menambatkan klotok ditiang-tiang jembatan.  
Sungai Sambas tak begitu besar. Banyak juga rumah lanting penduduk. Hampir disepanjang sungai Sambas hingga perkampungan pedalaman, ada rumah lanting. Walaupun jarak antara satu kampung dengan kampung lain tidaklah dekat.
Mungkin, faktor pertama tidak adanya klotok lebih besar, dan bisa lebih cepat dari sekarang dengan beberapa pertimbangan di atas. Banyak rumah lanting. Padahal sudah lama sekali rasanya sejak aku lahir hingga kini trasportasi air maupun darat dari Sambas ke kampung-kampung sepanjang pesisir sungai Sambas dan ke perkampungan hulu Sambas masih begitu-begitu saja. Tak ada perkembangan. Jumlah klotokpun tak lebih dari hitungan 5 jari. Hanya sekali jalan dalam sehari. Selain lamban, karena jarak tempuh yang jauh membuat klotok hanya bisa sekali jalan. Dulu, saat awal-awal di Pontianak, aku sering sekali gigit jari saat sampai di dermaga itu. Karena klotok sudah jalan saat bisa Pontianak Sambas tiba. Tak ada alternatif lain.
Sebenarnya ada alternatif lain. Spead boath. Tapi, itu bukanlah transportasi umum. Orang-orang tertentu yang biasanya menggunakan pilihan itu. Dan spead boath digunakan saat ada kepentingan-kepentingan tertentu yang mendesak. Karena memang tarif yang dipatok cukup tinggi. Bisa 10 kali lipat harga transportasi umum (klotok). Dan tentunya aku tak punya ongkos sebanyak itu. Hanya cukup untuk bayar bis, klotok dan ada sedikit sisa untuk mengisi perut dijalan.
Transportasi daratnya juga begitu. Yang ada hanya truk yang di desain ala kadar. Truk diberi atap, dengan 2 kursi yang terbuat dari papan di sisi kanan dan kiri bak belakang. Jika memilih transportasi darat yang satu itu, sudah di pastikan badan akan terasa pegal-pegal. Terlebih jika belum terbiasa. Karena tempat duduknya keras, diding tempat bersandarpun keras karena terbuat dari kayu dengan padanan besi yang menjadi penyangga atapnya.
Tapi, truk itu menjadi pilihan satu-satunya jika ingin lebih singkat perjalanan sampai ke pasar. Karena dengan klotok, bisa lebih lama 1 hingga 2 jam. Entahlah, kapan sarana transportasi menuju hulu perkampungan Sambas akan mengalami kemajuan.
Tak akan ada kemajuana transportasi, jika jalannya masih hancur. Sejak aku SD sudah ada kabar kalau jalan menuju lokasi transmigrasi akan diperbaiki. Bahkan kabar yang disebarkan akan di aspal. Meloncat-loncat girang dulu aku mendengar kabar itu. Jalan bagus memang mimpi kami sejak lama. Tapi tak juga kunjung datang.
Karena dengan jalan yang bagus, kami akan mudah sampai di sekolah. Tak perlu lagi memasukkan sepatu ke dalam kantong plastik, jika musim penghujan. Selain kondisi jalan yang buruk, posisi sekolah juga jauh. 17 km dari kampungku. Tak heran, banyak anak-anak di kampungku yang putus sekolah. Lebih memilih ikut bertani, menjadi buruh atau pembantu rumah tangga ketimbang sekolah. Sanggat tinggi persentase putus sekolah di kampungku. Selain faktor jalan dan sekolah yang jauh, perihal ekonomi dan motivasi juga menjadi sebab.
Geram rasanya mendengar kasus korupsi Kemenakertras yang sedang di usut. Terlebih dana yang dikorupsi adalah anggaran untuk perbaikan jalan transmigrasi. Jikapun anggarannya belum sampai ke lokasi kami, itu hak transmigran lainnya yang hidup dengan segala keterbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar