Jembatan
peniggalan Jepang itu masih berdiri hingga kini. Masih menjadi lintasan warga
Sambas, dan mempermudah mobilitas dari jalan Kraton dan Kampung Manggis.
Jembatan itu menjadi saksi, Jepang pernah ingin selamanya ada di Sambas, hingga
membuat jembatan itu begitu kokoh. Saat aku kecil dulu, jembatan itu jadi
patokan. Kalau sudah sampai di jembatan itu, artinya tak akan lama lagi, klotok
akan sampai di dermaga pasar Sambas.
Sudah
beberapa kali pulang kampung, motor air kelotok yang menjadi transportasi
alternatif menuju kampungku, tersangkut di jembatan itu. Sebenarnya, pembuat
klotok sudah memperhitungkan desainnya agar bisa lolos dari jembatan itu.
Karena memang, lebar motor air itu bisa menerobos kaki-kaki jembatan yang tak
begitu lebar.
Hanya
saja jika klotok mengangkut banyak penumpang, plus di ruffnya penuh sesak
barang atau mengangkut motor, klotok akan tersangkut di kolong jembatan.
Kejadian ini sudah biasa saat debit air sungai Sambas naik. Motor air yang
hendak melintas, biasanya sabar menunggu air surut dengan menambatkan klotok
ditiang-tiang jembatan.
Sungai
Sambas tak begitu besar. Banyak juga rumah lanting penduduk. Hampir disepanjang
sungai Sambas hingga perkampungan pedalaman, ada rumah lanting. Walaupun jarak
antara satu kampung dengan kampung lain tidaklah dekat.
Mungkin,
faktor pertama tidak adanya klotok lebih besar, dan bisa lebih cepat dari
sekarang dengan beberapa pertimbangan di atas. Banyak rumah lanting. Padahal
sudah lama sekali rasanya sejak aku lahir hingga kini trasportasi air maupun
darat dari Sambas ke kampung-kampung sepanjang pesisir sungai Sambas dan ke
perkampungan hulu Sambas masih begitu-begitu saja. Tak ada perkembangan. Jumlah
klotokpun tak lebih dari hitungan 5 jari. Hanya sekali jalan dalam sehari. Selain
lamban, karena jarak tempuh yang jauh membuat klotok hanya bisa sekali jalan. Dulu,
saat awal-awal di Pontianak, aku sering sekali gigit jari saat sampai di
dermaga itu. Karena klotok sudah jalan saat bisa Pontianak Sambas tiba. Tak ada
alternatif lain.
Sebenarnya
ada alternatif lain. Spead boath. Tapi, itu bukanlah transportasi umum.
Orang-orang tertentu yang biasanya menggunakan pilihan itu. Dan spead boath digunakan
saat ada kepentingan-kepentingan tertentu yang mendesak. Karena memang tarif
yang dipatok cukup tinggi. Bisa 10 kali lipat harga transportasi umum (klotok).
Dan tentunya aku tak punya ongkos sebanyak itu. Hanya cukup untuk bayar bis,
klotok dan ada sedikit sisa untuk mengisi perut dijalan.
Transportasi
daratnya juga begitu. Yang ada hanya truk yang di desain ala kadar. Truk diberi
atap, dengan 2 kursi yang terbuat dari papan di sisi kanan dan kiri bak
belakang. Jika memilih transportasi darat yang satu itu, sudah di pastikan
badan akan terasa pegal-pegal. Terlebih jika belum terbiasa. Karena tempat
duduknya keras, diding tempat bersandarpun keras karena terbuat dari kayu
dengan padanan besi yang menjadi penyangga atapnya.
Tapi,
truk itu menjadi pilihan satu-satunya jika ingin lebih singkat perjalanan
sampai ke pasar. Karena dengan klotok, bisa lebih lama 1 hingga 2 jam. Entahlah,
kapan sarana transportasi menuju hulu perkampungan Sambas akan mengalami
kemajuan.
Tak
akan ada kemajuana transportasi, jika jalannya masih hancur. Sejak aku SD sudah
ada kabar kalau jalan menuju lokasi transmigrasi akan diperbaiki. Bahkan kabar
yang disebarkan akan di aspal. Meloncat-loncat girang dulu aku mendengar kabar
itu. Jalan bagus memang mimpi kami sejak lama. Tapi tak juga kunjung datang.
Karena
dengan jalan yang bagus, kami akan mudah sampai di sekolah. Tak perlu lagi memasukkan
sepatu ke dalam kantong plastik, jika musim penghujan. Selain kondisi jalan
yang buruk, posisi sekolah juga jauh. 17 km dari kampungku. Tak heran, banyak
anak-anak di kampungku yang putus sekolah. Lebih memilih ikut bertani, menjadi
buruh atau pembantu rumah tangga ketimbang sekolah. Sanggat tinggi persentase
putus sekolah di kampungku. Selain faktor jalan dan sekolah yang jauh, perihal
ekonomi dan motivasi juga menjadi sebab.
Geram
rasanya mendengar kasus korupsi Kemenakertras yang sedang di usut. Terlebih
dana yang dikorupsi adalah anggaran untuk perbaikan jalan transmigrasi. Jikapun
anggarannya belum sampai ke lokasi kami, itu hak transmigran lainnya yang hidup
dengan segala keterbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar