Selasa, 29 November 2011

Tuhan Menjawab Do’aku


Tulisan ini kubuat untuk memenuhi janji pada seorang teman. Dia memintaku menulis tentangnya. Ini langkah awal teman...Dia inspirasinya.
Aku lahir di kecamatan Sintang Kalimantan Barat. Dilahirkan ditengah keluarga tidak mampu, membuatku didik keras oleh keluargaku. Terutama ibu, bibi dan pamanku. Paman dan bibiku memegang peran penting dalam kehidupanku, selain ibuku. Karena sejak aku belum lahir, aku sudah tidak mempunyai ayah. Bahkan hingga detik ini aku tidak pernah melihat paras ayahku. Bahkan hingga usiaku menginjak angka 20, aku baru tahu jati diri ayahku.
Sejak SMP aku hijrah ke kota Pontianak dan tinggal bersama paman. Tekad bulatku, harus selesai sekolah. Selama 9 tahun, SMP hingga SMA aku tidak pernah pulang ke kampung halaman, kabar juga takpernah kukirimkan. Dulu, alat komunikasi tak semudah sekarang.
Tahun 2002 tamat SMA, aku tak  melanjutkan pendidikan. Meskipun, aku sangat ingin. Ini karena keterbatasan finansial. Aku bertahan hidup di Pontianak. Sebenarnya aku berniat membuka konter hp setelah selesai sekolah. Tapi, lagi-lagi, modal tak punya. Tak terwujudlah mimpiku yang kurekomendaikan pada Tuhan disetiap doaku. Walaupun, paman yang kutumpangi selama di Pontianak juga mendukung keinginanku.
Sejak itulah, aku mulai melamar pekerjaan kesana kemari. Sudah banyak pekerjaan yang kujajal. Dari menjaga penyewaan kaset, rental buku, kounter hp hingga karyawan super market. Sejak bekerja, aku tak lagi tinggal bersama paman. Aku memilih tingal di kos-kosan. Meski gaji tak seberapa, tapi sejauh ini aku bisa menghidupi diriku sendiri. Terakhir aku bekerja di super market. Cukup lama aku bertahan bekerja disana. Pikirku, tak mudah mencari pekerjaan. Ditambah dengan usiaku yang bukan tergolong muda. Bos-bos lebih cenderung menerima karyawan yang frsh graduate. Tapi, lama-kelamaan aku menemukan titik jenuh. Aku berhenti menjadi karyawan super market.  
Keputusanku berhenti, bukan tanpa alasan kuat. Bekerja hampir lebih 5 tahun, tak ada kenaikan gaji. Sedangkan kebutuhan hidup semakin meningkat. Setelah melepas pekerjaanku, aku mulai lagi memasukkan lamaran ke sana sini. Tapi, tak satupun yang lolos. Akhirnya aku mencoba bisnis, dengan modal pesangon saat aku memutuskan berhenti bekerja di super market.
Aku menjual baju ke kampung halamanku. Tapi, itu tak berlangsung lama, saat teman lamaku saat kerja di super market memberhentikan diri dan mengajakku untuk join berwirausaha. Kami berdua memilih membuka kounter hand phone. Dengan modal nekat. Karena modal awal untuk membuka usaha benar-benar jauh api dari pangang. Uang kami hanya cukup untuk menyewa ruko. Kami memberanikan diri mengajukan pinjaman pada koprasi usaha mikro. Selain itu, untuk tambahan modal aku juga memminjam uang pada pamaku.
Dengan modal tak seberapa, aku dan temanku hanya menjual pulsa dan rokok. Puji Tuhan, belum genap 1 tahun menjalankan usaha, hutang pada paman sudah bisa kulunasi. Selain itu, sekarang aku juga menjual asesoris HP, snack, juga es. Ini semata-mata demi keberlangsungan usaha. Semua peluang kujajal. Tuhan memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Dan kini, Tuhan menjawab Do’aku. Terima kasih Tuhan.

Senin, 28 November 2011

Objek Patok Nol


Matahari masih terasa terik saat aku dan teman-teman kosku mengawali perjalanan menuju Jalan A. Yani 2. Tujuan kami, jalan Merdeka 2, Objek Patok Nol. Sesuai dengan denah di undangan, posisi gangnya setelah tugu selamat jalan yang terdapat di A. Yani 2. Tak ada satupun diantara kami yang mengetahui posisi jelasnya. Kami berangkat dengan modal yakin, denah plus nekat.
Baru masuk kawasan A. Yani 2, langit arah bandara Supadio sudah mulai gelap. Aku sudah ketar-ketir melihat cuaca yang sendu. Khawatir hujan. Kata Mba Dwi, teman kosku yang menikah, jalannya tidak bagus. Dia sendiri sudah wanti-wanti, akan situasi medan yang menantang. Terlebih jika sudah terguyur hujan. Akan tambah ‘mantap....’ katanya.
“Jangan coba-coba pakai sendal tinggi! Tapi kalau mau repot, sialahkan jak dicoba” aku teriak dari kamarku saat teman-teman kos bersiap-siap di kamar masing-masing.  
Ternyata, ada satu temanku yang meragukan ultimatumku. Dia masih menggunakan sendal ‘permpuannya’. Istilah sendal perempuan, aku dan teman-teman gunakan untuk menyebut sandal-sangal tinggi yang digunakan kebanyakan perempuan saat undangan. Sedangkan aku dan teman-teman, menggunakan sendal biasa. Teplek. Bahkan ada yang memakai sepatu tahan banting, sepatu karet.
“Jalan Merdeka 2, tengok denahnya dek!,” aku meminta adikku Istiqomah untuk melihat denah yang ada diundangan.
“Tak tau Mba,” jawabnya. Kemudian undangan itu dia berikan pada temanku Tasiana Eka. Dia navigatornya.
Saat hujan mulai turun, kami ragu. Lanjut atau berteduh. Kalau berteduh, khawatir hujan akan lama. Resikonya, jalan semakin buruk, dan kami tak mau kesorean. Jalanan sepi.
Ada 1 jalan yang terpasang janur didepannya. Hanya jalan itu satu-satunya yang mendekati arahan yang diberikan temanku. Jalan setelah tugu selamat jalan.
Kami beberapa kali bertanya pada warga setempat. Khawatir tersesat di kampung orang. Ada juga warga disepanjang jalan yang kami lewati, tak mengetahui posisi tempat tujuan kami. Kami sempat senyum kecut. Penduduk saja tidak tahu. Kami kembali bertanya. Ada bapak-bapak yang sedang bongkar muatan dalam pic up. Dari jawabannya, ternyata tempat yang kami tuju, memang benar-benar jauh.
“O...itu, masih jauh...sanak lagi,” katanya.
“Makasih Pak,” kata kami sambil tersenyum.
Senyum karena mendapat kejelasan letak, tapi diakhiri dengan tarikan nafas panjang. Ternyata, masih jauh.
Hujan terus menguyur. Walaupun tak lebat, tapi membuat kami basah. Saat hujan mulai lebat, kami berhenti menggunakan mantel, lalu melanjutkan perjalanan.
Semakin jauh, kondisi jalan semakin buruk dan licin akibat guyuran hujan. Jalan sudah berbatu. Tapi sebagian batu pisai dan tanah berlubang-lubang.
“Oh Tuhan...jalannya,” kataku.
Kami semua berhenti sejenak mengamati jalan yang akan kami lewati. Lagi-lagi, menghela nafas. Temanku Berli, menitipkan tas Harmesnya pada adikku. Tas itu memang akan berat dan sedikit merepotkan kalau dipakai melewati medan yang begitu. Sedangkan temanku Tasiana Eka, menukar sendal tingginya dengan adikku Siti yang di boncengnya. Aku tertawa melihat mereka.
“Kalau tau begini Mba, pakai sepatu karet tadi,” kata Berli yang nampak agak menyesal tak mempercayai kata-kataku.
“Dah Ambar bilang...”
Tak lama setelah acara tukar-menukar sandal, kami tiba ditempat resepsi. Kuyup, masai. Begitu gambaran kondisi kami saat tiba disana. Kami tak langsung masuk, dan sejenak berteduh di rumah tetangga si empunya hajat. Ada yang merapikan pakaian, dan kerudung yang basah, ada juga yang menyisir rambut yang berantakan tertiup angin.
Aku sempat menjinjit ari tempatku memarkir motor dan melongokkan kepala ke arah dalam tarup. Masih sepi, belum banyak tamu. Hanya satu, dua. Mungkin karena hujan.
Pasangan ssuami istri Hendri dan Dwi, nampak bahagia. Selama kami disana, Mba Dwi tak berhenti senyum. Nampaknya, Mba Dwi senyum-senyum karena melihat aku dan Eka (Tasiana Eka), senyum dan berbisik-bisik. Setelah menikmati semangkok bakso, dan berfoto bersama, kami pulang.
Saat pulang, hujan sudah reda. Kami meluncur pulang. Hujan menyisakan genangan air. Jalan semakin licin dibanding kondisi saat kami pergi tadi. Sudah banyak yang lewat.
Saat melewati jalan yang paling parah, ban motor Eka sempat tergelincir dan hampir melintang di tengah jalan. Aku yang berada tepat dibelakangnya ngeri membayangkannya. Disebelah kanan jalan ada parit hampir 5 meter lebarnya. Parit itu juga dalam. Pokoknya 1 kata, ngeri.
Aku berinisiatif tak melewati jalan yang sama. Khawir terpeleset juga. Tapi, saat aku melintas jalur sebelahnya, malah lebih parah. Aku yang melintang di jalan itu. Darahku sudah berdesir, jantung mau copot.
Aku meneruskan perjalanan. Baru keluar dari Jalan Merdeka 2 dan melaju di A. Yani 2, hujan kembali turun. Basah lagi...

Minggu, 27 November 2011

Peninggalan Jepang Itu...


Jembatan peniggalan Jepang itu masih berdiri hingga kini. Masih menjadi lintasan warga Sambas, dan mempermudah mobilitas dari jalan Kraton dan Kampung Manggis. Jembatan itu menjadi saksi, Jepang pernah ingin selamanya ada di Sambas, hingga membuat jembatan itu begitu kokoh. Saat aku kecil dulu, jembatan itu jadi patokan. Kalau sudah sampai di jembatan itu, artinya tak akan lama lagi, klotok akan sampai di dermaga pasar Sambas.  
Sudah beberapa kali pulang kampung, motor air kelotok yang menjadi transportasi alternatif menuju kampungku, tersangkut di jembatan itu. Sebenarnya, pembuat klotok sudah memperhitungkan desainnya agar bisa lolos dari jembatan itu. Karena memang, lebar motor air itu bisa menerobos kaki-kaki jembatan yang tak begitu lebar.
Hanya saja jika klotok mengangkut banyak penumpang, plus di ruffnya penuh sesak barang atau mengangkut motor, klotok akan tersangkut di kolong jembatan. Kejadian ini sudah biasa saat debit air sungai Sambas naik. Motor air yang hendak melintas, biasanya sabar menunggu air surut dengan menambatkan klotok ditiang-tiang jembatan.  
Sungai Sambas tak begitu besar. Banyak juga rumah lanting penduduk. Hampir disepanjang sungai Sambas hingga perkampungan pedalaman, ada rumah lanting. Walaupun jarak antara satu kampung dengan kampung lain tidaklah dekat.
Mungkin, faktor pertama tidak adanya klotok lebih besar, dan bisa lebih cepat dari sekarang dengan beberapa pertimbangan di atas. Banyak rumah lanting. Padahal sudah lama sekali rasanya sejak aku lahir hingga kini trasportasi air maupun darat dari Sambas ke kampung-kampung sepanjang pesisir sungai Sambas dan ke perkampungan hulu Sambas masih begitu-begitu saja. Tak ada perkembangan. Jumlah klotokpun tak lebih dari hitungan 5 jari. Hanya sekali jalan dalam sehari. Selain lamban, karena jarak tempuh yang jauh membuat klotok hanya bisa sekali jalan. Dulu, saat awal-awal di Pontianak, aku sering sekali gigit jari saat sampai di dermaga itu. Karena klotok sudah jalan saat bisa Pontianak Sambas tiba. Tak ada alternatif lain.
Sebenarnya ada alternatif lain. Spead boath. Tapi, itu bukanlah transportasi umum. Orang-orang tertentu yang biasanya menggunakan pilihan itu. Dan spead boath digunakan saat ada kepentingan-kepentingan tertentu yang mendesak. Karena memang tarif yang dipatok cukup tinggi. Bisa 10 kali lipat harga transportasi umum (klotok). Dan tentunya aku tak punya ongkos sebanyak itu. Hanya cukup untuk bayar bis, klotok dan ada sedikit sisa untuk mengisi perut dijalan.
Transportasi daratnya juga begitu. Yang ada hanya truk yang di desain ala kadar. Truk diberi atap, dengan 2 kursi yang terbuat dari papan di sisi kanan dan kiri bak belakang. Jika memilih transportasi darat yang satu itu, sudah di pastikan badan akan terasa pegal-pegal. Terlebih jika belum terbiasa. Karena tempat duduknya keras, diding tempat bersandarpun keras karena terbuat dari kayu dengan padanan besi yang menjadi penyangga atapnya.
Tapi, truk itu menjadi pilihan satu-satunya jika ingin lebih singkat perjalanan sampai ke pasar. Karena dengan klotok, bisa lebih lama 1 hingga 2 jam. Entahlah, kapan sarana transportasi menuju hulu perkampungan Sambas akan mengalami kemajuan.
Tak akan ada kemajuana transportasi, jika jalannya masih hancur. Sejak aku SD sudah ada kabar kalau jalan menuju lokasi transmigrasi akan diperbaiki. Bahkan kabar yang disebarkan akan di aspal. Meloncat-loncat girang dulu aku mendengar kabar itu. Jalan bagus memang mimpi kami sejak lama. Tapi tak juga kunjung datang.
Karena dengan jalan yang bagus, kami akan mudah sampai di sekolah. Tak perlu lagi memasukkan sepatu ke dalam kantong plastik, jika musim penghujan. Selain kondisi jalan yang buruk, posisi sekolah juga jauh. 17 km dari kampungku. Tak heran, banyak anak-anak di kampungku yang putus sekolah. Lebih memilih ikut bertani, menjadi buruh atau pembantu rumah tangga ketimbang sekolah. Sanggat tinggi persentase putus sekolah di kampungku. Selain faktor jalan dan sekolah yang jauh, perihal ekonomi dan motivasi juga menjadi sebab.
Geram rasanya mendengar kasus korupsi Kemenakertras yang sedang di usut. Terlebih dana yang dikorupsi adalah anggaran untuk perbaikan jalan transmigrasi. Jikapun anggarannya belum sampai ke lokasi kami, itu hak transmigran lainnya yang hidup dengan segala keterbatasan.

Kamis, 24 November 2011

Saat Aku Jadi Korban Hantu 3433


THR POINmu 200
Siapa saja yang memberi makan orang yang buka puasa, maka baginya seperti pahala berpuasa.
Info: THR INFO
FREE:
http://d.kioskonten .com/tphp?i=ILXER8EN
Kesal aku membaca sms dari hantu 3433 itu. Aku tak sadar, rupanya 3433lah yang selama ini merampok pulsaku. Aku bingung, 2 minggu terakhir pulsaku super boros. Padahal, sejak pertama kali punya hp hingga kini, aku masuk ke dalam kategori hemat dalam penggunaan pulsa. Pulsa yang biasanya bisa kupakai hingga hampir 20 hari, habis dalam waktu 4 hari. Dan ini terjadi sejak hantu 3433 muncul di hpku.
Bayangkan, jatah untuk 20 hari habis 4 hari. Padahal, intensitas pengunaannya tidak lebih tinggi dari sebelum 3433 muncul. Malah bisa dikatakan lebih jarang. Diawal sebelum sadar pulsa disikat 3433, aku mengurangi sms maupun telfon. Karena merasa sangat boros pulsa.   
Aku sempat bingung dengan hilangnya pulsaku. Apa yang menyebabkan hilangnya pulsaku. Setiap hari, rutin dipotong Rp. 3.000. Sejak kejadian itu, aku juga jadi lebih sering mengecek pulsa yang tersisa.
Hingga 4 Oktober 2011, aku yang sudah sangat geram dengan kejadian ini memutuskan untuk mengosongkan kartuku untuk sementara waktu hingga 3433 tak lagi melancarkan aksi pencuriannya.
Rabu siang 5 Oktobernya aku kembali mengecek nominal pulsaku. Masih ada. Begitu 3433 kembali mengirimkan sms, aku kembali mengecek pulsaku. Benar, habis pulsaku. Barulah kutau, 3433lah yang selama ini menghabiskan pulsaku.
Kemudian aku langsung menelpon call center Indosat. Aku mengeluhkan hal itu. Kemudian costemer servisnya menyarankan agar aku menghentikan layanan itu. Aku sempat merasa aneh. Tak pernah berlangganan apapun, tapi harus memberhrntikannya. Aneh rasanya.
“Silahkan mba’ ketik stop ke 3433, ditunggu 1 x 24 jam ya mbak!”, kata CSnya.
Aku ikuti saja petunjuk CSnya, walaupun sebenarnya aku masih bingung. Bingung kenapa harus memberhentikan langanan, karena memang aku tak pernah ikut berlangganan.
Selama ini, setiap ada sms dari 3433, 8888, 5555 atau dari mana saja yang sejenis dengan kejadian ini tak pernah kugubris. Langsung ku delete. Karena aku tau, itu hanya jebakan. Kuketahui dari seorang teman yang up date dengan info telekomuniksai. Layanan itu muncul otomatis di hp. Akan ada terus jika tidak kita stopkan. Dan itu artinya, operator secara paksa mengharuskan kita untuk berlangganan. Karena otomatis. Aku setengah tak percaya. Tapi, sudah mengalaminya. Bingung. Atau mungkin sebelum kejadian itu, aku sempat membalas sms itu. Ampun...keteledoranku, menjadikanku korban penyedotan pulsan seperti yang gencar diberitakan. Semoga ini tak akan terjadi lagi. Teknologi yang semakin cangih, membuat otak orang juga cangih. Konsumen yang tak ikut cangih akan menjadi korban. Aku sendiri.  

Sejak lama aku rindu


Sejak lama aku merindukan mereka. Rindu bercanda bersama mereka, makan dengan bekal kami yang berbeda, berbagi cerita hingga malam hampir diganti fajar, hingga tak terasa mengalir butir bening itu dipelupuk yang menyipit.
Aku rindu berkarya bersama mereka. Saling bertanya sudah sampai mana tulisan yang kami buat. Saling memotivasi agar kami terus berkarya.
Aku rindu menghayal bersama mereka. Membiarkan mimpi kami meluncur setinggi-tingginya.
Aku rindu menghabiskan waktu dengan semangkuk air jahe hangat, sambil memandangi bintang, bulan dan kendaraan yang lalu lalang. Mata kami menerawang. Jauh. Meski kami sedang berhadapan dan bercerita.
Sejak lama aku rindu.