Rabu, 19 Januari 2011

Tradisi Sebagai Sarana Komunikasi

PONTIANAK 2009

A. Pendahuluan
        Dalam kehidupan bermasyarakat, komunikasi merupakan bagian dari hal yang vital dalam kehidupan manusia. Mengapa demikian? Karena manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Seperti teori Aristoteles, mengenai status manusia dalam kehidupan sosial. Itulah sebabnya, komunikasi menjadi hal yang yang begitu vital.
        Proses interaksi sosial dengan berbagai macam latar belakang kehidupan, terkadang menimbulkan konflik. Salah satu sebabnya adalah karena keterbatasan pengetahuan manusia itu sendiri terhadap bahasa orang lain dan keterbatasan dalam menggunakan bahasa persatuan. Dalam hal ini yang menjadi bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia.
        Selain itu, ketidak lancaran komunikasi juga akan memicu terjadinya konflik. Tilik saja, berapa banyak kasus kerusuhan yang timbul lantaran miss communication (terjadinya kesalah pahaman dalam proses komunikasi). Terbatasnya sarana komunikasi juga memberikan andil.
        Begitu juga halnya dengan masyarakat Madura Parit Adam dan Desa Durian Kuala Ambawang. Di sana terdapat dua komunitas yang sama-sama dominan dan memiliki latar belakang yang bertolak belakang. Masyarakat Madura dan Dayak. Selama ini, stro tipe masyarakat, Madura dan Dayak adalah dua komunitas yang memiliki sejarah hitam. Terlebih setelah terjadinya kerusuhan 1999 silam. Masyarakat Madura yang berdomisili di sana adalah masyarakat korban kerusuhan tersebut.
        Dengan adanya perkara tersebut, maka banyak orang mengangap bahwa keduanya memiliki sentimen terhadap suku masing-masing. Ini tidak terjadi dengan dua suku yang berbeda ini, yang saat ini berdomisili di satu tempat, kecamatan Kuala Ambawang.
Desa Parit Adam, adalah sebuah desa yang berdampingan dengan desa Durian. Kedua desa tersebut berada di suatu lokasi Kuala Ambawang Pontianak. Di desa tersebut hidup dua suku yang berbeda. Dayak dan Madura. Di Desa Parit Adam, hampir semua penduduknya bersuku Madura. Dari keterangan yang didapatkan dari RT setempat, hanya ada satu keluarga yang merupakan suku Cina. Keseluruhan kepala keluarga yang berdomisili di desa Parit Adam desa Durian adalah 83 kepala keluarga.
Sedangkan di desa Durian yang letaknya berdampingan dengan desa Parit Adam, mayoritas suku Dayak yang ada di dalamnya. Akan tetapi sejak 3 tahun yang lalu, di Desa Durian terdapat juga suku Madura. Suku Madura yang terdaat di desa Durian adalah mereka yang menjadi korban kerusuhan Dayak Madura di Sambas tahun 1999 lalu. Kedua suku ini hidup berdampingan. Sejak mereka berada di sana belum ada kerusuhan atau bentrok antara kedua suku tersebut. Hal ini, tidak lepas dari proses komunikasi yang lancar dan interaksi yang baik.
Di desa Durian, kedua suku tersebut mempunyai wilayah domisili yang berbeda. Walaupun berada dalam satu kamung, tapi tata letak perkampungan itu terpisah. Seluruh suku Dayak berdomisili di pesisir sungai. Tapi, suku Madura berada ditengah-tengah, antara penduduk asli desa Durian yaitu Dayak dan penduduk desa Parit Adam yang juga suku Madura.
Penduduk desa Parit Adam dan desa Durian, mayoritas berprofesi sebagai petani. Ada juga beberapa yang pengusaha. RT desa parit Adam Pak Abdul Muin misalnya. Pak Mu’in, memilki usaha ternak ayam potong. Tapi hal ini tidak lantas menjadi penilaian bahwa penduduk setempat sebagai pengusaha, karena penduduk setempat juga banyak yang berprofesi sebagai petani.
Yang ditemui di lapangan, konsep “Dimana bumi di pijak disitu langit di junjung”, sangat ketara. Dalam makalah ini, penulis mengambarkan tradisi masyarakat Madura desa Parit Adam dan desa Durian Kuala Ambawang. Selain itu penulis juga berusaha sedikit melihat komunikasi antar budaya, serta kehidupan masyarakat setempat yang sebenarya penduduk setempat memiliki latar belakang yang berbeda.
Dalam makalah ini, penulis menyinggung dua desa yang berdampingan tersebut. Kedua desa ini, Parit Adam dan desa Durian tidak bisa dipisahkan, lantaran keduanya selalu senantiasa berdampingan dan selalu bersama-sama dalam melakukan berbagai kegiatan. Maka dari itulah tidak adanya sepesifikasi dalam makalah ini.
     
B. Isi
Data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dengan wawancara dan obserfasi langsung di desa Parit Adama dan desa Durian. Begitu penulis sampai di lokasi, tahap awal yang penulis lakukan adalah mengamati kondisi sekitar. Proses ini juga penulis katakana sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan baru yang penulis jumpai. Dalam proses ini, penulis tidak mendapatkan hambatan. Karena penulis langsung mengamati kondisi atau fenomena yang terjadi di lingkungan desa tersebut.
Beberapa saat setelah melakukan proses adaptasi awal, barulan penulis melakukan wawancara dengan penduduk. Tahap awal dalam proses wawancara, penulis menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi kampung tersebut. Orang pertama yang penulis wawancarai adalah Ibu Satinah. Ibu Satinah adalah istri dari ketua RT desa Parit Adam, Abdul Muin.
Proses wawancara awal itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar 15 hingga 20 menit saja. Proses selanjutnya kembali penulis melakukan pengamatan. Data-data dari hasil pengamatan kemudian penulis komparasikan dengan keterangan yang diungkapkan oleh beberapa warga yang penulis wawancarai.
Dalam proses wawancara selanjutnya, penulis mewawancarai Pak Abdul Muin dan Patma anaknya. Setelah siang menjelang, barulah proses wawancara dilanjutkan dengan mencari beberapa data melalui beberapa warga setempat. Akan tetapi, kajian yang penulis laukan disini tidak hanya di desa Parit Adama Saja, tapi juga di desa Durian.
Selain dari data yang penulis dapatkan sendiri, penulis juga melakukan diskusi dengan beberapa teman yang juga melakukan kegiatan yang sama. Dengan melalui proses diskusi tersebut ada beberapa data yang kemudian penulis dapatkan, yang sebelumnya belum penulis dapatan secara langsung di lapangan.
Beberapa data yang penulis dapatkan kemudian penulis sandingkan dengan beberapa teori dari referensi yang mendukung. Selain itu, sesuai dengan wilayah kajian penulis, penulis berusaha menyelaraskannya. Dari pengamatan dan wawancara tersebutlah, kemudian penulis menemukan adanya pemanfaatan tradisi penduduk setempat dalam proses kounikasi yang mereka lakukan.

Masyarakat suku Madura, Dayak, Bugis dan suku lainnya berangat dari satu rumusan. Yaitu masyarakat terbentuk dari satuan individu (manusia). Manusia adalah mahluk masyarakat. Manusia selalu hidup bersama-sama dengan masyarakat yang lainnya. Dalam kondisi rillnya, manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya, dan tidak bisa hidup sendiri. (Soemadi Soeryabrata, 1996).
Manusia memiliki sikap dasar yang tidak bisa disembunyikan bahkan dihilangkan. Yaitu sikap ingin selalu bermasyarakat, dan sikap itu akan terus mendorong manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yakni proses komunikasi. Proses komunikasi adalah prose penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan, dengan mengguankan media dan akan ada feed back timbal balik.
Komunikasi, adalah proses penyaimpaian pesan. Itu artinya dalam kehidupan sehari-hari kita akan selalu melakukan hal tersebut, karena manusia selalu berinteraksi. Interaksi juga dalam rangka ingin menyampaiakn pesan kepada orang lain, agar orang lain mengetahui maksud dan tujuan kita.
Suatu proses komunikasi juga memerlukan sarana untuk menyampaikannya. Sarana yang dimaksud disini adalahs sesuatu yang bisa menjadi perantara sampainya pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator. Dalam bukunya Komunikasi Sosial, Santoso Sastropoetro menyebutkan bahwa jika proses komunikasi ini diibaratkan dengan dunia trasportasi, maka komunikasi juga perlu adanya sarana layaknya urgennya sebuah kendaraan yang bisa memperlancar ssuatu proses perjalanan. Jika untuk menunjang proses trasportasi diperlukan sepeda, motor, mobil, pesawat, kapal dan lain sebagainya maka begitu juga dengan proses komunikasi.
Proses komunikasi itu bisa dengan komunikasi langsung atau komunikasi tidak langsung. Hal ini juga terkait dengan efektifitas sebuah proses komunikasi. Banyak hal yang bisa membuat tidak lancarnya proses komuniaksi. Bisa jadi komunikasi itu tidak berjalan dengan lancar lantaran berbedanya bahasa yang digunakan. Faktor lain yang menyebabkan tidak terjadinya komunikasi yang lancar adalah lantaran sifat individualisme yang tinggi, yang kemudian mengakibatkan hubunagn social di masyarakat kurang baik.
Sikap individualisme juga bisa muncul lantaran tidak adanya waktu untuk hanya sekedar berinteraksi dengan sesama karena kesibukan maisng-maisng. Factor lain, karena tidak adanya tujuan yang sama, tidak adanya satu pemahaman, ego yang tinggi.
Di desa Kuala Ambawang dan desa Durian misalnya. Mayoritas penduduk setempat berprofesi sebagai petani. Sejak subuh, mereka sudah sibuk dengan aktifotas masing-masing. Ada yang sejak subuh sudah ke lading karet, lading sayur, menanam padi, dan beberapa aktifitas lain. Dengan bertaniu itulah penduduk setempat mengantungkan hidupnya.
Petani mendapatkan hasil bumi berupa padi, yang kemudian menjadi makanan pokok mereka, nasi. Sayuran yang mereka tanam, mereka konsumsi sendiri kemudian ada juga yang mereka jual dan dengan hasil menjual sayuran, karet itulah mereka bisa membeli kenbutuhan hidup yang lainnya. Waktu penduduk setempat banyak tersita dengan aktifitas maisng-maisng. Sehingga intensitas interaksi atau komunikasi dengan warga setempat sanggat kurang.
Diakui oleh Abdul Muin, RT dalam wawancara yang penulis lakukan, tidak ada forum khusus yang dibentuk oleh penduduk setempat untuk bisa berinteraksi dengan penduduk lain. Dalam kehidupan sehari-hari, diakuinya interaksi sanggatlah kurang lantaran kesibukan masing-maisng individu.
“Orang-orang sini, jarang bisa ketemu kumpul ngomong-ngomong, karena dah capek seharian di kebun dan dengan kerja masing-maisng”, Abdul Muin, 21, 2009.
Walau demikian, selama ini belum pernah terjadinya kericuhan di desa tersebut. Menurut Abdul Muin, ada beberapa tradisi masyarakat Madura yang menurutnya menjadi rutinitas penduduk setempat.
Dalam kehidupan masyarakat Madura, unsure-unsur reliligusitasnya cukup kuat. Panji Mas dalam Yusriadi 2008, masyarakat Madura memiliki fanatic pada Islam. Hal ini juga terwujud dengan kebiasaan masyarakat Madura yang memiliki mushola disetiap masing-maisng gang, maisng-maisng komunitas atau masing-maisng keluarga. Mushola ini sebagai symbol bahwa masyarakat Madura adalah indentik dengan peribadatan. Selain itu ada juga tradsisi yang selalu masyarakat Madura lakukan adalah budaya tahlil atau membaca yasin disetiap malam Jum’at.
Diakui oleh Abdul Muin, dalam kegiatan tersebut dimanfatkan juga untuk berinteraksi dengan penduduk setempat. Dalam forum itu juga dilakukan diskusi jika adanya suatu masalah di desa tersebut. Akan tetapi kegiatan ini diikuti oleh kaum pria atau kaum bapak saja.
Kegiatan yang hampir mirip juga dilakukan penduduk setempat adalah pengajian. Ibu Darmi mengakui, jarang berinteraksi dengan penduduk setempat karena dia sibuk dengan aktifitasnya. Dan jikapun ada kesempatan yaitu terdapat sebuah forum untuk bertemu dengan penduduk setempat, dia tidak mengikuti forum tersebut.
Hal ini kemudian menjadi sesuatu yang efektif dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam proses koumunikasi. Sebuah tradisi menurut  Muhammad Abed Al Jabiri dalam Al Turats Wal Hadatsah dan kemudian ditulis oleh Rozihan, adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain baik masa lalu jauh maupun dekat.
Karena definisi tradisi sebagai "sesuatu yang hadir, dan menyertai kekinian kita" maka mengangkat dan menyibukkan diri dengan tradisi adalah masalah yang absah dan bisa dibenarkan. Sebab, ia merupakan bagian esensial dari kebutuhan manusia itu sendiri untuk mengkaji dirinya dan mengembangkannya.
Dalam referensi lain disebutkan tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Manusia dalam berbuat akan melihat realitas yang ada di lingkungan sekitarnya sebagai upaya dari sebuah adaptasi walaupun sebenarnya orang tersebut telah mempunyai motivasi berperilaku yang sesuai dengan tradisi yang ada pada dirinya. Di samping itu, manusia dalam berperilaku selalu mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Dalam proses ini, keluarga dan lingkungan tempat tinggal merupakan hal yang terdekat. Oleh karena itu, gambaran kehidupan yang berlangsung lama secara turun-temurun dari nenek moyangnya yang telah menjadi tradisi diidentifikasikan sebagai perilaku dirinya. Dalam jangkauan waktu tertentu, perilaku diri sendiri ini akan menjadi perilaku kelompok atau masyarakat.
Sedangkan kebudayaan, adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. (Edward Burnett Tylor dalam Alo Lliliweri: 2007).
Parsudi Suparlan sebagaimana dikutip Ibrahim M. Saleh (2005:7), memberikaan definisi budaya itu sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai menusia sebagai makhluk sosial yang sisinya adalah model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingungan yang dipahami, dan untuk mendorong tindakan-tindakan yang diperlukan. Dengan demikian, kebudayaan adalah sekelompok pedoman atau pegangan yang operasional dalam mengadaptasi diri dan menghadapi lingkungan tertentu.
Dalam makalah ini, penulis menggunakan istilah tradisi untuk mengungkapkan apa yang sedang dan telah dilakukan oleh masyarakat Madura desa Parit Adam da Desa Durian Kuala Ambawang. Ada tradisi yang hingga kini masih dilestarikan di lingkungan masyarakat Madura Parit Adam. Tradisi yang masih ada itu diantaranya adalah yasinan atau tahlilan setiap malam jum’at. Masih ada tradisi-tradisi lain yang begitu melekat dengan suku Madura. Tradisi memperingati maulid nabi muhammad, orang-orang Madura punya cara tersendiri yang berbeda dengan suku lain. Selain itu tradisi lain yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Madura adalah Pelet Betteng atau peringatan nujuh bulanan. Tradisi ini sebenarnya juga dikenal juga di kalangan masyarakt Jawa.
Sebenarnya, hal inipun sering dijumpai dalam komunitas atau pada suku Madura yang lainnya. Maka dari itulah sesuatu yang begitu melekat pada orang Madura adalah, tingkat keagamaan yang tinggi.
Dalam pelaksanaan tradisi ini, ada nilai-nilai keagamaan yang ingin disampaikan. Dalam tradisi pelet betteng, prosesi yang dijalani adalah adalah dengan pembacaan doa si empunya hajat atau keluarga pihak yang sedang mengandung tuju bulan. Masyarakat setempat dikumpulkan, dengan harapan anak yang didalam kandungan selamat. Karena dulu belum dikenal teknologi sinar Inilah sebenarnya suatu proses komunikasi. Ada pesan yang ingin disampaikan. Pesan-pesan sepiritual ataupun hanya sekedar untuk berinteraksi. Degan adanya beberapa tradisi tersebut, bisa menjadi solusi untuk menjaga intensitas bertemu dan berinteraksi dengan sesama.
Sikap individualisme yang tercipta di lingkungan masyarakat kota adalah lantaran tidak adanya waktu untuk bersilaturahmi. Pekarjaan dan kesibukan-kesibukan lain membuat hampir mayoritas masyarakat kota kehilangan waktu untuk mejaga hubungan sosial dengan sesama.
Sebenarnya hal ini juga terjadi pada masyarakat pedesaan. Mereka juga memiliki aktifitas yang cukup menyita waktu. Sejak dini hari sudah harus turun berkebun, menjelang malam baru mereka berada di rumah. Akan tetapi lantaran masih adanya beberapa tradisi yang masih terus dilestarikan, maka hubungan sosial dan rasa kekeluargaannya masih bisa terasa.
Maka dari itulah tradisi suatu suku atau komuniktas kemudian memegang peranan penting untuk menjaga keharmonisan dan langgengnya sebuah proses komunikasi. Karena hal itu pulalah dalam makalah ini penulis menggunakan istilah tradisi sebagai suatu sarana komunikasi.

Komunikasi antarbudaya dan kehidpan masyarakat
Dua, tiga suku atau lebih yang berbeda, kemudian hidup berdampingan. Yaitu suku Dayak dan Madura. Keduanya juga memiliki  bahasa masing-masing. Berangkata dari sanalah kemudian tercetus istilah komunikasi antar budaya. Alo Liliweri dalam bukunya Komunikasi Antar Budaya (2007), memberikan definisi komunikasi antar budaya ini dalam sebuah rumusan definisi yang begitu banyak.
  1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyatan diri antara pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.
  2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.
  3. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain disekitarnya yang memperjelas pesan.
Menyamakan persepsi antara dua orang yang berbeda, atau kelompok yang berbeda latar belakang budaya bukanlah hal mudah. Terlebih jika diintip dari pilihan bahasa yang dipilih. Terkadang ada juga rasa etnosentrisme[1] muncul. Jika hal itu terjadi, maka yang akan mencuat adalah konflik.
            Di desa durian, dulu jika terjadi percekcokan atara orang Madura akan terjadi pembunuhan. (Juniawati, dalam Yusriadi dkk: 2009). Hal ini juga senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Abdul Muin. Dulu diantara orang-orang Madura setempat memang sering terjadi perkelahian, hingga mengakibatkan pembunuhan. Menurutnya dulu kejadian tersebut sering terjadi antar sesama orang Madura.
Banyak hal yang melatar belakangi hal tersebut. Salah satu pemicu terjadinya tragedi pembunuhan sesama suku Madura dulu adalah lantaran karakter orang Madura yang cukup keras, sehingga sedikit saja emosinya terpancing akan berakibat fatal.
Menurut Syarif, sebagaimana dikutip oleh Achmad Syaid dan Zainuddin Daulady: (2001: 43), warga Madura yang berdomisili di propinsi Kalimantan Barat sebanyak 125.000 jiwa. Orang Madura dengan jumlah yang cukup besar itu, pada umumnya mendiami kawasan baru dan hidupnya masih eksklusif, serta enggan bergaul dengan masyarakat pribumi. Tapi, anggapan itupun tak selamanya benar.
Lalu kemudia mengenai faktor lain yang memicu terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang Madura, terdiri dari banyak hal. Sifat orang Madura dipengaruhi oleh banyak faktor, baik geografisnya di pulau asal terbentuknya karakter genetika dan lingkungan, dengan filosofis takut pada todus atau e pamalo (dipermalukan, dilecehkan, direndahkan). Hal ini kemudian memberikan dorongan tersendiri bagi oarng Madura untuk menyelamatkan harga dirinya dari situasi yang membuatnya merasa terbuang dan prinsip-prinsip tembang pote mata, lebih bagus pote tulang (dari pada hidup menanggung malu, lebih baik mati menjadi bangkai). Selain itu, ukuran-ukuran yang dipakai dalam prinsip ini adalah kehirmatan istri, kehormatan pribadi, kehormatan keluarga dari hinaan, dan kehormatan diri dari caci maki orang lain. (Achmad Syaid dan Zainuddin Daulady, 2001: 44).
Maka dari itulah jika prinsip-prinsip yang telah dipegang oleh masyarakat Madura tersebut diusik, maka orang-orang Madura tak segan mempertaruhkan nyawanya demi kehormatannya. Dan inilah kemudian yang memicu terjadinya tindakan kekerasan sehingga menelan korban.
Akan tetapi, menurut beberapa keterangan awal yang penulis dapatkan dari ketua Pusat Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (P3M), Yapandi Ramli penduduk di desa tersebut belum pernah terjadi keributan lantaran adanya surat perjanjian sebelum masyarakat Madura pendungsian Sambas masuk wilayah tersebut.
Hal senada juga dikatakan oleh Pak Abdul Muin.  Dalam surat perjanjian tersebut terdapat poin jika terjadi keributan yang ditimbulkan oleh warga Madura korban kerusuhan Sambas, maka yang bersangkutan akan langsung diusir dan tak boleh membawa harta bendanya sepeserpun. Surat perjanjian tersebut saat ini berada di bawah penjagaan aparat brimob yang bernama Pak Syirat.
Hal ini, kemudian menjadi suatu pelajaran. Kerkunan hubungan, lancarnya proses komunikasi antar suku yang berbeda bisa diciptakan dan diseting sedemikian rupa. Hal ini akan tercapai jika adanya kesungguhan dari masing-maisng pihak dan adanya rasa saling menghargai antar sesama. Selain itu juga dibnutuhkan rasa menghargai keputusan yang telah disepakati bersama.
Selain itu hal lain yang patut diperhitungkan juga dalam hal perdamaian antara suku Madura dan Dayak desa Parit Adam dan desa Durian ini adalah salah satunya adalah kekerasan fisik dalam istilah suku Dayak, dilarang secara adat. Ancaman secara verbal, misalnya “kubunuh kau” atau benar-benar terjadinya kekerasan maka hukum adatlah yang akan bermain.
Selain itu, kejujuran, kepolosan dan ketulugasan adalah nilai dasar yang dianut oleh sub suku Dayak. Ingkar janji dapat dihukum ingkar-langkanan, tidak konsisten dapat dihukum adat ayong ntak julak juli, dan lain-lain. (Achmad Syaid dan Zainuddin Daulady, 2001: 42).
Keterangan salah satu suku Dayak asal Sanggau Tasiana Eka, di komunitasnya hal yang membuat orang takut berbuat suatu keributan atau hal yang membuat onar adalah, lantaran denda atau hukuman  adatnya cukup berat. Terlebih bagi keluarga yang tidak mampu, tidak akan bisa memenuhinya. Menurutnya, biasanya babi kalau untuk bayar adat itu harganya cukup mahal.
Komunikasi antar budaya yang terjalin di desa Durian juga cukup lancar. Menurut Bu Darmi, hubungan atau komunikasi yang terjalin diantara masyarakat Madura pendatang, Madura pendatang dan penduduk asli Dayak cukup baik. Hal ini kemudian memberikan dampak yang cukup baik juga dalam proses kehidupan mereka.

C. Penutup
Malakah ini, hanya berbicara sedikit dari sisi orang Madura dan sedikit menyingung Dayak. Proses komunikasi hendaknya bisa berlangsung dengan lancar dan efektif walaupun adanya perbedaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itulah, bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia harusnya tetap menjadi nomor wahid dan tak boleh tidak dimengerti oleh masing-masing individu. Hal ini pula yang akan membangkitkan rasa nasionalisme pada masing-masing individu.
Kesadaran akan pentingnya proses komunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita masih sagggat kurang. Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena jika ingin menyampaikan argument, keinginan apapun yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari, maka kita harus menempuh jalur komunikasi terlebih dahulu.
Berbeda kultur tidak lantas membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Beragam karakter itupulalah yang kemudian harus dipahami sehingga proses komunikasi bisa langgeng karena kita telah mengetahui kondisi sikologis orang-orang yang ada disekitar kita.
Dalam makalah ini, penulis yang hanya mendapatkan data dalam waktu singkat, tidak lebih dari 1 kali 24 jam, pastinya masih banyak data-data yang belum penulis dapatkan. Dan penulis yakin, masih ada sisi meraik lain dari orang Madura desa Parit Adam dan desa Durian Kuala Ambawang. Dari situ pulalah, maka penulis mengajukan, perlunya adanya kajian yang lebih dari apa yang telah penulis lakukan. Mengapa harus senantiasa dikaji?
Kita sebagai penduduk pribumi tak boleh melewatkan ukiran sejarah saudara-saudra kita yang tinggal di bumi yang sama Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia. Penulis juga yakin, di tempat  dan komunitas lain juga memiliki titik keistimewaan yang berbeda dari apa yang telah penuluis dan kawan-kawan dari peserta pelatihan “Penulisan Laporan Perjalanan”.

D. Referensi

Mawardi. (2007). IAD. ISD. IBD. Pustaka Setia: Bandung.
Yusriadi. (2008). Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat. STAIN Press. Pontianak.
Alo Lliliweri. (2007). Dasar-Dasar Komunikasi AntarBudaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
http://www.suaramerdeka.com. [25 Juni 2009].
Ibrahim M. Saleh. (2005). Problematika Komunikasi Antar Budaya. STAIN Press. Pontianak.
Achmad Syaid dan Zainuddin Daulady. (2001). Peta Kerukunan Umat Beragama di Indoneasia. Bagian Proyek Pengkajian Kerukunan. Jakarta.
Yusriadi dkk. (2009). Menunggu di Tanah Harapan. STAIN PRESS. Pontianak.
Santoso Sastropoetro. (1983). Komunikasi Sosial. Remaja Rosda Karya. Bandung.


[1] Etnosentrisme adalah rasa kesukuan. Merasa sukunya yang paling baik dibanding dengan suku yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar