Kamis, 27 Januari 2011

Lupa Cara Senyum?


Bebrapa hari yang lalu, aku pergi tempat foto copy di kawasan Kota Baru. Karena di daerah itulah foto copy terdekat dari kantor badan pusat statistik. Aku ke kantor itu untuk meminta data demografi Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Karena memang tak ada foto copy di dalam kantor, harus di luar. Sudah sering aku ke tempat foto copy itu. Walaupun tak melulu memfoto copy. Karena kadang juga aku membeli ATK di sana.
Sebelum-sebelumnya, baik-baik saja aku ketika berkunjung ke tempat itu. Tapi entah kenapa hari itu, kesannya sanggat tidak baik dan menyebalkan. Penyebabnya apa tak tau. Aku yang sedang sensi atau sebaliknya, tukang foto copynya yang sedang ada sesuatu. Begitu aku datang, aku perhatikan hanya dia yang sedang ngangur, dan duduk-duduk di kursi kayu yang agak tinggi. Kursi itu disesuaikan dengan tingginya mesin foto copy agaknya, agar jika sedang banyak foto copyan, karyawan bisa kerja sambil duduk. Aku langsung saja menghampirinya.
“Ini foto copy dari sini, sampai sini. Kemudian dari daftar isi difoto copy semua sampai habis,” aku menjelaskan pada karyawan foto copy berkulit putih dan mata sipit itu.
Entah sedang tidak konsen atau penjelasanku yang tidak jelas. Dia bertanya lagi sampai 3 atau 4 kali, dengan expresi wajah yang masam, tak bersahabat. Tak ada ciri ramahnya, apa lagi senyum. Aku mulai emosi ketika dia bertanya lagi, dan lagi. Ditambah dia bertanya dengan tampang judes.
Kemudian, dia mengambil kertas dan dibawanya ke belakang. Entah apa yang mau dilakukannya. Tapi ketika keluar lagi, kertas yang tadi dibawanya sudah terpotong menjadi 2. Ternyata itu yang dilakukannya di dalam. Kemudian dia melakukan tugasnya. Aku duduk di kursi yang tadi didudukinya sambil memperhatikan dia bekerja.
Tak lama kemudian, datang ibu-ibu memakai baju dinas warna hijau lumut, rambut sebahu yang menghampirinya dan menyerahkan bahan yang harus difoto copy. Sambutannya masih sama. Ternyata memang seperti itu gayanya melayani konsumen. Ibu itu nampak emosi juga dengan tangapan karyawan tadi. Syukurnya dia langsung diajak bicara teman sekantornya, jadi dia tak fokus dengan karyawan yang pelayanannya ‘luar biasa’ itu.
Sambil menunggu buku yang kupinjam dari perpustakaan badan statistik selesai di foto copy, aku perhatikan karyawan-karyawan yang lain, tak seperti dia. Yang lain ramah-ramah, bersenda guau dengan sesama karyawan yang lainnya. Tapi, dia tak ada berbincang dengan sesama rekan kerjanya itu. Padalah teman-temannya tak habis-habisnya bercanda dan tertawa. Tempat itu memang memiliki karyawan yang cukup banyak, karena memang tempatnya cukup besar. Mesin foto copynya saja ada 6, belum lagi karyawan yang melayani pembeli ATK plus kasir. Kesimpulanku, mungkin memang dia agak sulit berbaur mungkin. Atau mungkin dia sedang lupa caranya tersenyum. Sehingga hari itu tak ada sedikitpun senyum menghiasi wajahnya.
Hal ini mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian dengan latar belakang yang sama, di tempat foto copy. Walaupun kejadiannya berbeda. Karena karyawan foto copy di Jalan Gajah Mada ini, ramah. Karena aku sering memfoto copy disana, karyawannya kenal denganku.
Aku saat itu memfoto copy master buku yang baru di prin out. Susunan halamannya sudah beraturan. Hanya butuh kejelian untuk memfotocopynya agar tidak campur radul. Aku berniat meninggalkan proses foto copy itu, dan kuambil jika sudah selesai. Karena yang harus dicopy memang banyak. Tiba-tiba karyawan foto copy itu memanggilku.
“Eh, kenapa susunannya belum beraturan ni? Tak macam biasanya,” katanya sambil menunjukkan master buku tadi.
“Sudah beraturan kak. Hanya saja, ini belum dipotong macam biasanya,” jawabku.
“E...kau susun lok. Kalau dah beres, baru kau kasi aku,” dia memintaku mengurutkannya.
Pikirku, apa lagi yang mau disusun? Padahal ini sudah beraturan. Kemudian aku tanyakan padanya apa yang harus disusun, aneh rasanya.
“Ini yang depan-depannya ni, aku tak paham foto copynnya. Urutannya aku tak ngerti,” dia menjawab dengan nada grogi. Ow...baru kutemukan jawaban kesulitannya. Dia ternyata tak ngerti susunan halaman romawi. Karena bagian depan buku memang berangka romawi.
Pendidikan memang sangat penting dalam segala aspek. Coba saja kalau karyawan-karyawan itu terdidik. Pastinya hal ini tidak akan terjadi. Karena sebagai pelaku ekonomi, terutama karyawan, harus pandai melayani konsumen. Paling tidak ramah, agar konsumen senang dan akhirnya datang lagi ke tempat itu. Tak jera hanya datang sekalia itu saja, karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar