Rabu, 19 Januari 2011

Shock

Peraduan, 12 Desember 2010

Rabu, 8 Desember 2010. Baru sekali itu aku menyaksikan dengan langsung banjir yang hingga mengenangkan rumah. Hari itu, aku mau membayar pajak kendaraan roda duaku di Mega Mall. Aku memilih samsat di Mall, karena menurut beberapa teman membayar pajak di Mall jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan membayar langsung di Samsat Bapeda. Mendengar itu, aku tentu tertarik mencobanya. Karena sepanjang sejarhku membayar pajak, tak pernah cepat. Pasti lama menunggu giliran.
Jam 11 aku menuju Mall setelah menjemput adikku yang sekolah di MAN 2. Dia pulang lebih awal dari hari biasanya karena sedang ulangan umum (ulum). Kupikir, jam 11 masih sempat, karena biasanya kantor istirahat jam 12. Aku melangkah pasti menuju lantai dasar Mall disebelah kiri pintu masuk tak jauh dari eskalator menuju lantai 1. Ku pandang kanan kiri.
“Yang mana...samsatnya?,” tanyaku dalam hati.
“Katanya disebelah kiri pintu masuk, kok tak ada?”.
Pertyanyaan itu muncul dalam benakku, karena aku belum menemukan Samsat yang kucari. Yang kutemukan hanya Bank Kalbar disana. Ada sekatan semacam kantor dengan beberapa komputer disebelahnya. Tapi sepi, tak ada orang satupun. Aku mulai resah. Kukelilingi sekatan yang tak terlalu luas itu. Begitu aku tiba disisi kanannya, baru kutemukan tulisan Samsat di sana.
“O...ini rupanya,” gumamku saat menemukannya.
“Tapi, kok tutup? Kan belum waktunya istirahat?,” aku bertanya-tanya dalam hati. Aku melanjutkan perjalanannku mengelilingi sekatan-sekatan itu. Tepat dibawah eskalator, diatas meja Samsat itu terdapat kertas bertuliskan “Buka jam 14.00 WIB”. Dengan menemukan tulisan itu baru aku faham mengapa tutup.
Akupun meninggalkan lantai dasar. Menuju lantai 2, kearah toko buku Gramedia. Diperjalanan menuju Gramedia, aku mengirimkan pesan singkat kepada temanku yang tinggal di Tanjung Sari.
“Buk, kerja pagi ke sore?,” begitu kira-kira bunyi sms yang kukirim pada Nortin teman satu kosku saat di Imam Bonjol Gang Mendawai dulu.
“Ada di rumah, tak kerja,” jawabnya singkat.
“Lho, kok tak kerja?,” tanyaku lagi. Ada yang aneh membaca balsan smsnya. Rasanya dulu dia kerja di minimarket yang terletak di kawasan Jalan Imam Bonjol.
“Tiga bulan dah tak kerja. Ngangur ni. Sinilah main!” jawabnya lagi.
“Ok, 30 menit lagi Ambar sampai”.
Pikirku, setelah memilih-milih buku di Gramedia aku akan langsung menuju kontrakannya, sembari menunggu Samsatnya buka. Tanggung jika harus pulang ke Kota Baru. Pasti aku malas mau kembali ke mall lagi. Kalau di Tanjung Sari, dekat. Setelah membayar tiga buku yang kupilih di Gramedia, aku menuju parkiran. Begitu tiba di parkiran, ternyata diluar sudah hujan deras disertai angin kencang. Aku menungu beberapa menit di tangga sebelum keluar dari maal. Berharap hujan reda.
Tapi setelah beberapa menit menunggu, tak ada tanda-tanda hujan reda aku nekat pergi dengan memakai mantel merah yang selalu kubawa jika aku pergi. Hujan disertai angin kencang membuat kaos kaki dan bagian bawah rokku basah. Begitu tiba di kontrakan btemanku kaos kaki langsung kulepas.
“Ya ampun...kenak apa lagi kaki tu buk? Baru gak sembuh yang bekas jatok kemaren,” aku reflek saat melihat kaki temanku Nortin yang biasa kupanggil Ibu’ atau Kak Titin.
“Jatok di pelantaran belakang. Lumutnya tebal...ni dah mendingan. Waktu awal-awal jatok, lebih parah lagi dari ini,” jawabnya sambil memegangi kakinya yang tergores semen pelantaran cuci piring di belakang rumahnya.
“Sian...baru gak kaki tu sembuh. Eh, ngapa pulak berenti Bu’?,” tanyaku padanya.
“Gaji tak naek-naek, berentilah”.
Titin bercerita panjang lebar perihal keberentiannya dari tempat kerjanya. Ia merasa tidak betah karena setelah 5 tahun bekerja di mini market ‘C’, gajinya tak juga naik. Masih dengan gaji pokok Rp. 400.000, jika ditambah dengan jatah uang makan yang diberikan jadilah totalnya mendekati angka 700-an perbulannya. Menurutnya, gaji yang diberikan bosnya kepada karyawan tak mengikuti Upah Minimum Kota (UMK).
Yang lebih tragis lagi, setelah ia menyatakan berhenti ia diberikan amplop dengan isi uang hanya Rp. 500.000 tak kurang tak lebih. Melihat isi amplop yang diterimanya, Titin kesal. Dalam hatinya, tak adakah pesangon yang bisa diberikan kepadanya?
Hal itu diketahui oleh karyawan minimartek C yang lainnya. Salah satu temannya, menyarankan Nortin untuk mengadukan kejadian tersebut ke Departeman Sosial dan Tenaga Kerja. Peergilah Titin ke kantor Depnaker di Jalan Sultan Syahrir. Ia mengadukan kejadian yang menimpanya pada petugas yang di sana. Ia menceritakan semuanya pada petugas Depnaker. Aku lupa siapa namanya. Menurut petugas yang menanganinya, Titin memang tidak bisa menuntut apa-apa pada bosnya karena Titin salah langkah, menurut petugas Depnaker.
“Sekarang perusahaan tu pintar Tin...dia tak mau mecat karyawannya. Tapi dibuatnya karyawan tak betah dengan memberikan gaji kecil, dan menerima karyawan baru. Dengan begitu, karyawan akan berhenti dengan sendirinya jika sudah tidak betah, dan perusahaan tak punya kewajiban memberikan pesangon kalau karyawan yang menyatakan berhenti. Tapi kalau, perusahaan yang memberhentikan itu kewajiban mereka, memberi pesangon. Makanya besok-besok, ini dijadikan pelajaran,” kata petugas itu.
Nortin kecewa dengan keterangan petugas Depnaker yang menghadapinya. Dia terdiam. Dipandanginya muka petugas itu, lalu ia kembali bertanya setelah beberapa saat terdiam.
“Benarlah pak, saya tak bisa nuntut apa-apa?,” tanya Titin.
“Tunggu lok-tunggu lok...bise nampaknya Tin”.
“Benar Pak?,” ada raut bahagia bercampur pengharapan di muka Titin.
“Berapa gajimu?”.
“Rp. 400.000 perbulan pak. Ditambah uang makan yang diberikan berdasarkan absen kehadiran kita. Kalau tak kerja, taklah dapat uang makan Pak”.
“Jauh...dari UMK. Bosmu ni (disebutkan namanya), memang tak pernah kasi laporan. Jadi susah kami mantaunya. Diapun ada masalah dengan karyawannya dibidang usaha yang lain. Tunggu lok ye, kurincikan lok”.
Setelah dirinci-rincikan dengan hitungan kotor, Titin berhak mendapatkan uang Rp. 7.000.000 sebagai kekaurangan gaji selama 5 tahun ia bekerja, karena gajinya yang diterimanya tak sesuai dengan UMK. Setelah mendapatkan perincian tersebut, Titin mendatangi bosnya bersama petugas lapangan Depnaker bernama Pak Ibrahim.
Mendapat tuntutan dari karyawannya, bos minimarket C tak terima dan marah-marah dan tak mau membayar hak yang seharusnya Titin terima. ‘Kamu ni Tin, karyawan lain berhenti tak ada yang macam ini o...kamukan juga tau’.
Titin tak peduli dengan kemarahan mantan bosnya. Ia hanya diam. Akan tetapi, sang bospun tak bisa berbuat banyak karena kalau ia tak membayarkan hak mantan karyawannya, perkara itu akan di bawa ke persidangan. Akan tetapi, sang bos msih negoisasi dengan Titin melalui Pak Ibrahim, dan hanya mau membayar Rp. 3.000.000.
Mendengar itu, Titin tak mau. Menurutnya, nominal yang disebut mantan bosnya, jauh dari hak yang seharusnya didapatkannya. “Saye tak mau kalau 3.000.000 Pak. Saya mau penuh,” kata Titin pada Pak Ibrahim yang menjadi perantara mantan karyawan dan bosnya.
“Tin, payah orang ini ni Tin...die tetap tak mau’ bayar penuh. Dahlah dari pada kau tak dapat apa-apa, kita ambil jalan tengahnya. Rp. 4.000.000 jak ya?”.
Titinpun menyetujuinya setelah berpikir panjang. Menurutnya, jika tetap menuntut Rp. 7.000.000, tentu akan lama prosesnya. Jika disidangkan, iya kalau tuntas. Kalau tak tuntas, lalu kalau lama-kelamaan perkara itu akan dilupakan? Disetujui Titin Rp. 4.000.000 uang yang harus diterimanya oleh mantan bosnya. Dan akhirnya diterimalah uang 4 juta itu.
Setelah kejadian itu, minimarket C mendapatkan pantauan petugas Depnaker dan gaji karyawan harus mengikuti standar UMK. Semua karyawan minimarket C yang juga teman-teman Titin bekerja dulu berterimaksih atas keberanian Titin memperjuangkan nasibnya. Karena atas pengaduan itu, teman-temannyapun merasakan dampak positifnya, kanaikan gaji.
Setelah panjang lebar bercerita, Titin memperlihatkan baju-baju baru yang akan dijual kekampungnya. Ia ingin mencoba berbisnis pakaian di kampung halamannya Pinoh dengan modal yang didapat setelah ia berhenti kerja. Ia mencoba berbisnis karena tak juga mendapat panggilan dari beberapa lamaran yang telah ia layangkan pada beberapa perusahaan, minimarket, hingga SPBU di Pontianak. Ia ingin mengikuti jejak ibunya yang terlebih dahulu berbisnis pakaian di kampungnya. Akan tetapi ibunya dengan modal orang lain.
Aku membukan beberapa baju. Barangkali ada yang sesuai untukku. Aku ingin membelinya 1. Paling tidak, untuk membantu teman sendiri. Tapi sayangnya, tak ada baju yang sesuai denganku. Semua bajunya berlengan pendek. Aku tak terbiasa menggunakan baju yang banyak tetek bengeknya (rumit). Memakai baju pendek, ditambah dengan kardigan atau engkel baju. Untuk saat ini, aku belum terbiasa memakainya. Tak ada baju yang sesuai, kemudian aku merapikan kembali baju-baju itu dan Titin meletakannya di atas kursi putih di kamar kontrakannya.
“Makanlah bu’. Kak Titin ada beli botok sama sambal tadi. Tak ada masak,” kata Titin mempersilahkanku makan siang.
“Yoklah makan buk!”.
“Kak Titin makan dah. Makanlah sanak!”.
Aku menuju dapur. Kubuka pintu belakang menuju pelantaran. Aku ingin melihat pelantaran belakang yang membuat kaki Titin terjatuh dan terluka. Tapi tak kujumpai, karena iar sudah mengenanginya. Saat aku menutup pintu, air belum sampai di lantai dapur. Masih ada 3 jari jarak air dengan lantai. Aku ke wc, buang air kecil. Keluar dari wc, aku berniat untuk makan.
“Mana dia buk? Ambar mau makan”.
“Ada di situ...,” Titinpun kemudian menyusulku ke dapur.
Aku baru membuka botok dan sambal yang terletak di atas kompor. Titin membuka pintu belakang dan memasukkan piring yang telah dicucinya.
“Wai...aer besar”.
Belum beberapa detik Titin berbicara, secepat kilat air masuk dan mengenangi lantai rumah. Titin sibuk membereskan barang-barang di dapurnya. Sementara aku, langsung menuju kamar.
“Buk, selamatkan hp....!,” teriak Titin dari dapur.
Aku bergegas mengambil hp yang terletak didekat kursi tumpukan baju yang bersebelahan dengan dapur. Untung saja aku cepat mengambil ketiga hap yang tergeletak di lantai. Kalau tidak, akan almarhumlah hp tak bisa dipakai. Karena hanya beberapa cm lagi, air menjangkaunya. Setelah menyelamatkan ketiga hp tersebut, aku menuju tas dan hpku yang kuletakkan bersebelahan. Aku segera meletakkannya di atas meja.
“Buk...tilammu...,” aku teriak dari dalam kamar. Panik melihat air mengenangi kamar.
“Woi, tilam...Tut...aek naek lagi,” Titin langsung mengangkat kasur dan bantalnya dari lantai sambil berteriak meneriaki Tuti temannya yang sedang rebahan di kamar sebelah. Sedangkan aku menyelamatkan barang-barang lainnya, satu kasur busa kusandarkan ke dinding. Tapi, ketika air semakin membesar, kasur itupun tumbang dan akhirnya berenag-renanglah kasur di atas genagan air. Titin meninggalkan kamar dan menyelamatkan barang-barang di dapurnya. Sementara aku membereskan beberapa barang penting yang ada dalam kamar.
“Buk, tolong barang-barang elektronik di kamar diselamatkan!,” teriak Titin dari dapur dengan nada kecemasan.
Kami berdua sama-sama sibuk menyelamatkan barang-barang yang tak tahan terkena air. Tuti tak kalah sibuknya di kamar sebelah. Ia membereskan barang-barangnya juga barang keponakannya. Dia sekamar dengan keponakannya Sandi. Tak lama setelah air mulai mengenangi seluruh sudut rumah, lampupun padam. Kami bergerak menyelamatkan barang yang belum sempat kami selamatkan dalam kondisi gelap gulita. Hanya lampu senter dari ponselkulah penerangan satu-satunya.
“Helem....,” aku teriak saat melihat helemku tergenag air. Aku langsung meletakkanya di atas TV diruang tamu. Kemudian aku menuju teras, memasukkan sandal-sandal yang hampir terbawa arus. Kalau tak segera kuselamatkan alamat aku bisa pilang kaki ayam. Tak ada sandal. Aku mulai khawatir melihat motor yang sudah terendam air. Karena biasanya kalau businya sudah terkena air, motor mogok. Segera kupasang standar duanya. Agar ia lebih tinggi. Tapi standar duapun tak bisa membuatnya selamat dari genangan air.
Beberapa orang di sebelah kanan dan kiri kontrakan Titin sudah mengalihkan motornya. Entah dibawa kemana. Hanya tersisa motorku disana. Tak lama ada laki-laki sebayaku yang tinggal disebelah rumah Titin datang.
“Kak, motornya pindahkanlah! Tak mau hidup nanti. Tapi, nipun nampaknya tak mau hidup dah. Kerendam macam tu,” katanya saat mendekatiku.
“Yakah bang? Ampun...minta tolong selamatkanlah ya!,” kubuka kunci stangnya, dan kupercayakan motorku padanya. Entah dibawanya ke mana motorku. Beberapa saat kemudian aku yang dari tadi sudah memakai mantel, mengecek keberadaan motorku. Ternyata di parkir di bawah pohon kelapa yang terdapat gundukan tanah yang lumayan tinggi tak jauh dari kontrakan Titin.
Setelah memastikan motorku dalam keadaan aman, aku kembali ke rumah kontrakan Titin. Kutengok Tutik di kamarnya, terlihat sibuk dan cemas. Kasian sebenarnya melihatnya mengemas barang-barangnya sendiri. Tapi, aku juga belum bisa membantunya karena masih membantu Titin. Kulihat, kasur dan bantalnya tergeletak begitu saja digenangan air. Dia sudah berusaha menyelamatkan kasur dan bantalnya. Tapi ketika air membesar, debit air yang besar membuat karpet kamar terdorong dan mengoyangkan barang-barang diatasnya. Akhirnya kasur dan bantal yang sudah berada diatas bok pakaian terjatuh. Satu bok pakaian paling bawah yang berisi pakaian dalam Tuti dan Sandipun tak luput dari genangan air. Bok itu hanyut kesana kemari di dalam kamar. Dan itu yang membuat kami tergelak di dalam kepanikan.
“Habes...tak ada satupun dalaman yang tersisa. Satu bok basah semua,” kata Tutik saat keluar kamarnya. Tak lama kemudian Sandi datang. Menuju kamarnya dengan kondisi barang-barangnya basah.
“Tut, ngapa bah tak kau selamatkan tilam, bantal?,” kata Sandi.
“Mana sempat...aek cepat masoknya,” jawab Tutik.
“Hm...tak bise tidoklah malam ni. Tilam, bantal habes basah, celana dalampun...tak ada. Basah semua,” seloroh Sandi.
Aku berniat pulang saat debit air masih setinggi lutut. Aku khawatir hujan yang tak kunjung reda akan membuat aku benar-benar tak bisa keluar dari tempat itu. Aku menuju motorku, dan kucoba hidupkan. Ternyata motorku masih bisa hidup. Lega rasanya. Ada bapak-bapak yang melintas dan mengingatkanku agar tak keluar dulu. Menurutnya bertahan saja dulu dirumah, sampai menunggu air agak surut. Karena kalau aku nekat, mesin motorku yang masih hidup bisa mati terendam air jalanan yang tinggi. Beberapa menit kemudian melintas fotografer sebuah media cetak. Kalau aku tidak salah, Bang Ulak Asri fotografer harian Borneo Tribune.
“Kau nak kemane?,” tanyanya padaku.
“Pulang Kota Baru bang,” jawabku.
“Baek kau usah pergi lok! Tunggu aek surot. Orang-orang didepan tu banyak bedorong, mogok motornye. Dari pada motormu mati, lebih baik sabar-sabar tunggu aeknye surot!,”.
“Hm...yelah bang,” aku menjawab ragu. Pikirku benar juga sarannya. Dari pada motorku yang masih bisa hidup lalau mati karena aku nekat. Lebih baik bersabar sedikit. Aku kembali ke kontrakan Titin.
Kami berempat, aku Titin, Tutik dan Sandi berdiri didepan rumah. Sambil menyaksikan air yang masih pasang. Tak lama kemudian, ada beberapa orang yang datang membawa sampan. Entah untuk apa sampan itu. pikirku, dahsyat sekali airnya sampai-sampai menggunakan sampan orang-orang itu.
Menjelang pukul 3 sore, air baru surut. Aku pulang bersama Titin dan temannya Tuti. Mereka berdua bermalam di rumah kosku. Karena tak mungkin mereka bermalam di kontrakannya malam itu.
Minggu malam, 20.53 WIB. Pontianak, Kalimantan Barat.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar