Rabu, 19 Januari 2011

Penduduk Melayu Pesisir Satai Sambas Kesulitan Air Bersih

Banyak cara yang dilakukan masing-masing individu untuk mengantongi rupiah. Mulai dari aktifitas perindustrian, pengolahan sumber daya alam (SDA) atau kegiatan yang sejenisnya yang mampu menjadi sumber untuk mendatangkan rupiah. Tapi perlu adanya kehati-hatian dalam bertindak. Tindak hanya menginginkan keuntungan, lalu mengacuhkan kondisi lingkungan dan kehidupan disekitarnya. Tak jarang juga, karena menginginkan kemudahan untuk mengantogi rupiah, sikut kanan dan sikut kiri dan terjadilah tindakan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, dan tidak jarang dampak negative dirasakan orang lain. Hal ini selalu menjadi dilema bagi masyarakat.
Masyarakat Melayu yang merupakan penduduk asli (pribumi) yang berdomisili di pesisir sungai Sambas tepatnya berada di desa Sepantai kecamatan Sejangkung misalnya. Hampir seluruh penduduk setempat yang hidupnya dipesisir sungai Sambas dan menjadikan air sungai sebagai sumber mata air utama untuk keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari mulai dari memasak, mencuci piring, pakaian, mandi dan banyak hal lainnya yang begitu banyak mengunakan jasa air sungai. Kini kelangsungan hidup penduduk pribumi semakin terancam. Mereka nyaris kehilangan sumber mata air utama dan satu-satunya yang selama ini mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Penduduk kesulitan mendapatkan air bersih.
Air sungai yang menjadi sumber mata air utama masyarakat tersebut pada awalnya bersih dan layak dikonsumsi kini telah berubah menjadi sungai yang keruh, bahkan penduduk yang masih menggunakan air sungai sudah menderita gatal-gatal dan penyakit kulit yang lainnya. Hal itu dipicu oleh limbah tambang emas yang dibuang ke sungai. Air  sungai yang semula jernih dan layak untuk dikonsumsi, kini telah berubah menjadi keruh dan tak layak lagi untuk dikosumsi. Hulu aliran sungai tersebut adalah di daerah Bengkayang, sanggau Ledo. Didaerah tersebut terdapat penambangan emas (dompeng) yang limbanhnya dibuang disungai tersebut. Sejak saat itulah, air sungai tersebut tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Akan tetapi karena tidak adanya sumber mata air yang lain selain sungai tersebut, hingga saat ini, masyarakat masih menggunakan air tersebut untuk dikonsumsi. Ada sebagian masyarakat yang menggunakan air hujan untuk kebutuhan makan dan minumnya. Akan tetapi jika persediaan air hujan habis, masyarakat setempat kembali menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat tak bisa berbuat banyak, mereka adalah salah satu korban dari nafsu sebagian orang yang sedang asyik memburu kekayaan alam hingga tak lagi memikirkan dampak yang dirasakan oleh masyarakat yang tidak merasakan keuntungannya justru mengalami kesulitan dari tindakan tersebut. Kekayaan alam yang telah diambil, hanya bersifat sementara. Tapi kerusakan yang terjadi akibat perbuatan tersebut sangatlah dahsyat. Berapa banyak kepala keluargan yang terancam kehilangan sumber mata air utama untuk kelangsungan kehidupan mereka? Belum lagi dampak negative yang terjadi pada alam itu sendiri.
Terkadang keserakahan membutakan mata serta hati seseorang. Mata yang bisa melihat dengan sempurna, menjadi buta tak peduli menyasikan saudara-saudaranya menderita akibat perbuatanya. Telinga, tak mampu lagi mendengar jeritan dan rintihan saudaranya yang mengalami kehausan lantaran langkanya air bersih yang seharusnya dengan mudah bisa mereka dapatkan. Hati tak bisa lagi meraba betapa terhimpitnya batin saudara-saudaranya karena mereka diselimuti rasa hawatir, tak bisa lagi bertahan hidup ditanah kelahirannya.
Entah sampai kapan hal ini akan dialami oleh penduduk desa Sepantai, dusun Satai dan Sepandak. Entah berapa banyak lagi warga yang berdomsili di pesisir sungai yang akan menjadi korban. Karena tidak hanya masih banyak warga yang berdomisili di sepanjang pesisir sungai Sambas tersebut.
Hal yang serupa terlalu sering terjadi. Masyarakat kecil yang tidak tahu menau mengenai kegiatan perusahaan, menjadi korban. Masyarakat korba lumpur Lapindo di Sidoharjo misalnya. Entah sampai kapan hal ini akan terjadi. Para pemimpin kita sedang sibuk mengurus diri sendiri untuk mendapatkan kursi dengan janji akan memberian pengabdiannya pada masyarakat. Pada masa yang bersamaan, masyarakat sedang menantikan uluran tangan para pejabat yang berwewenag untuk dapat memberikan solusi, jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Masyarakat membutuhkan bukti bukan janji.
Ditulis, 17/10/2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar