Minggu, 30 Januari 2011

Menantimu


Entah sejak kapan aku mulai menantimu
Aku tak tau pasti akan hal itu
Tapi yang pasti, sudah sejak lama
Sejak aku mulai merasa aku harus memilikimu
Sebenarnya, aku ingin segera
Segera mendekapmu dengan sepenuh cinta
Menyayangimu dengan setulus kasih
Membelaimu lembut, selembut hembusan angin
Membiarkanmu terlelap dalam rengkuhanku
Dalam dekapan eratku
Hingga kau bisa merasakan detak jantungku
Dan kau bisa merasakan juga betapa aku bahagia memilikimu
Kuingin, kuinginkan kau
Kau yang membuatku merasakan kebahagiaan luar biasa nanti
Kaulah yang kumau
Seseorang yang pernah tumbuh kembang dalam rahimku
Yang akan hadir kelak dalam hidupku
Kelak jika masanya tiba

Kamis, 27 Januari 2011

Lupa Cara Senyum?


Bebrapa hari yang lalu, aku pergi tempat foto copy di kawasan Kota Baru. Karena di daerah itulah foto copy terdekat dari kantor badan pusat statistik. Aku ke kantor itu untuk meminta data demografi Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Karena memang tak ada foto copy di dalam kantor, harus di luar. Sudah sering aku ke tempat foto copy itu. Walaupun tak melulu memfoto copy. Karena kadang juga aku membeli ATK di sana.
Sebelum-sebelumnya, baik-baik saja aku ketika berkunjung ke tempat itu. Tapi entah kenapa hari itu, kesannya sanggat tidak baik dan menyebalkan. Penyebabnya apa tak tau. Aku yang sedang sensi atau sebaliknya, tukang foto copynya yang sedang ada sesuatu. Begitu aku datang, aku perhatikan hanya dia yang sedang ngangur, dan duduk-duduk di kursi kayu yang agak tinggi. Kursi itu disesuaikan dengan tingginya mesin foto copy agaknya, agar jika sedang banyak foto copyan, karyawan bisa kerja sambil duduk. Aku langsung saja menghampirinya.
“Ini foto copy dari sini, sampai sini. Kemudian dari daftar isi difoto copy semua sampai habis,” aku menjelaskan pada karyawan foto copy berkulit putih dan mata sipit itu.
Entah sedang tidak konsen atau penjelasanku yang tidak jelas. Dia bertanya lagi sampai 3 atau 4 kali, dengan expresi wajah yang masam, tak bersahabat. Tak ada ciri ramahnya, apa lagi senyum. Aku mulai emosi ketika dia bertanya lagi, dan lagi. Ditambah dia bertanya dengan tampang judes.
Kemudian, dia mengambil kertas dan dibawanya ke belakang. Entah apa yang mau dilakukannya. Tapi ketika keluar lagi, kertas yang tadi dibawanya sudah terpotong menjadi 2. Ternyata itu yang dilakukannya di dalam. Kemudian dia melakukan tugasnya. Aku duduk di kursi yang tadi didudukinya sambil memperhatikan dia bekerja.
Tak lama kemudian, datang ibu-ibu memakai baju dinas warna hijau lumut, rambut sebahu yang menghampirinya dan menyerahkan bahan yang harus difoto copy. Sambutannya masih sama. Ternyata memang seperti itu gayanya melayani konsumen. Ibu itu nampak emosi juga dengan tangapan karyawan tadi. Syukurnya dia langsung diajak bicara teman sekantornya, jadi dia tak fokus dengan karyawan yang pelayanannya ‘luar biasa’ itu.
Sambil menunggu buku yang kupinjam dari perpustakaan badan statistik selesai di foto copy, aku perhatikan karyawan-karyawan yang lain, tak seperti dia. Yang lain ramah-ramah, bersenda guau dengan sesama karyawan yang lainnya. Tapi, dia tak ada berbincang dengan sesama rekan kerjanya itu. Padalah teman-temannya tak habis-habisnya bercanda dan tertawa. Tempat itu memang memiliki karyawan yang cukup banyak, karena memang tempatnya cukup besar. Mesin foto copynya saja ada 6, belum lagi karyawan yang melayani pembeli ATK plus kasir. Kesimpulanku, mungkin memang dia agak sulit berbaur mungkin. Atau mungkin dia sedang lupa caranya tersenyum. Sehingga hari itu tak ada sedikitpun senyum menghiasi wajahnya.
Hal ini mengingatkanku pada kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian dengan latar belakang yang sama, di tempat foto copy. Walaupun kejadiannya berbeda. Karena karyawan foto copy di Jalan Gajah Mada ini, ramah. Karena aku sering memfoto copy disana, karyawannya kenal denganku.
Aku saat itu memfoto copy master buku yang baru di prin out. Susunan halamannya sudah beraturan. Hanya butuh kejelian untuk memfotocopynya agar tidak campur radul. Aku berniat meninggalkan proses foto copy itu, dan kuambil jika sudah selesai. Karena yang harus dicopy memang banyak. Tiba-tiba karyawan foto copy itu memanggilku.
“Eh, kenapa susunannya belum beraturan ni? Tak macam biasanya,” katanya sambil menunjukkan master buku tadi.
“Sudah beraturan kak. Hanya saja, ini belum dipotong macam biasanya,” jawabku.
“E...kau susun lok. Kalau dah beres, baru kau kasi aku,” dia memintaku mengurutkannya.
Pikirku, apa lagi yang mau disusun? Padahal ini sudah beraturan. Kemudian aku tanyakan padanya apa yang harus disusun, aneh rasanya.
“Ini yang depan-depannya ni, aku tak paham foto copynnya. Urutannya aku tak ngerti,” dia menjawab dengan nada grogi. Ow...baru kutemukan jawaban kesulitannya. Dia ternyata tak ngerti susunan halaman romawi. Karena bagian depan buku memang berangka romawi.
Pendidikan memang sangat penting dalam segala aspek. Coba saja kalau karyawan-karyawan itu terdidik. Pastinya hal ini tidak akan terjadi. Karena sebagai pelaku ekonomi, terutama karyawan, harus pandai melayani konsumen. Paling tidak ramah, agar konsumen senang dan akhirnya datang lagi ke tempat itu. Tak jera hanya datang sekalia itu saja, karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

Ajakan Tanam Pohon


Sinar matahari begitu menyengat siang itu (21/1/2011), membuatku malas beraktifitas luar ruangan. Apa lagi rumah teman Bapakku di komplek Korpri Sungai Raya Dalam. Kata temanku, lokasinya cukup jauh. Cuaca panas, lokasi jauh, membuatku tambah malas. Tapi, aku harus tetap pergi. Karena aku harus menyampaikan amanah Bapakku.
Kulangkahkan kakiku menuruni tangga Malay Corner, Perpustakaan STAIN Pontianak. Aku memacu motorku laju. Berharap segera sampai ke tujuan. Aku mampir di salah satu bank di depan A. Yani Mega Mall. Baru saja aku memarkirkan motor, baru mau melewati motor-motor yang lain yang terparkir disana dan belum sempat sampai di teras ATM. Aku dihampiri laki-laki berkulit putih, rambut disisir tegak berdiri, menggunakan kaos merah dan celana hitam. Dia menghampiriku, dengan jabatan tangan ramah.
“Selamat siang kakak...”. Ia menyapaku dengan kakak dengan ramah. Ini salah satu ciri budaya timur, ketika baru bertemu dengan orang yang belum dikenal. Kalau tidak kakak, biasanya menggunakan sapaan adek. 
“Siang,” aku menjawab dengan keherananku.
Dalam benakku terlintas, ada apa tiba-tiba orang itu menghampiri? Tapi aku tidak curiga yang macam-macam. Kemudian dia menjelaskan dengan gaya bicara yang cepat. Tapi apa yang dibicarakannya kutangkap jelas dan runut. Satu persatu dia memberi penjelasan. Dia mulai dengan membicarakan ekstrimnya cuaca Pontianak yang melebihi panasnya di Jakarta. Menurutnya, Pontianak lebih panas dari pada Jakarta. Tapi panasnya Jakarta lebih berbahaya dari pada di Pontianak, karena pengaruh polusi yang terjadi di Jakarta.
Setelah mendengar itu aku kemudian menerka-nerka. Apa sebenarnya yang ingin disampaikannya. Aku mencoba mengamati ID card yang dipakainya. Kukira dari situ aku bisa mendapat jawaban dari pertanyaanku. Tapi aku tak berhasil, karena tulisan di ID itu kecil-kecil. Tak terbaca olehku. Aku mencari ciri khas lain yang mungkin bisa kujadikan klu. Aku menemukan gambar panda dibajunya. Gambar itu tak terlalu besar, tapi nampak jelas.
Melihat itu aku langsung teringat film yang pernah tayang disalah satu stasiun televisi. Film itu menceritakan usaha salah satu lembaga untuk menyelamatkan populasi panda yang habis diburu pemburu liar. Dan lambang yang digunakan oleh lembaga itu sama dengan gambar yang ada dikaos orang yang sedang berbicara didepanku. Aku dapat gambaran arah pembicaraanya.
Belum juga aku selesai mengira-ngira dia lalu memperkenalkan kalau dia dari WWF. WWF yang sedang melakukan usaha untuk mereboesasi hutan yang sudah banyak dibabat demi rupiah. Pihak WWF mencari sukarelawan yang bisa membantu dengan menyumbangkan Rp. 5.000 perharinya. Pihak WWF bekerja sama dengan 2 bank, dan jika yang ingin bekerja sama dengan WWF memiliki rekening di 2 bank tersebut setiap tanggal 15 akan dipotong secara otomatis.
“Kakak kalau ikut berpartisipasi menjadi relawan pencinta lingkungan ini, artinya kakak memberikan kontribusi untuk melestarikan hutan kita dan ini ‘tabungan’ untuk anak cucu kakak nantinya,” katanya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Aku setuju dengan yang dijelaskan orang dihadapanku itu. Aku tertarik untuk ikut berpartisipasi. Kemudian mengalirlah perbincangan kami. Dia menyaranku untuk datang ke stand WWF di lantai dasar Mega Mall, jika ingin mendapatkan penjelasan yang lebih detil. Ditengah perbincangan kami, tiba-tiba dia menanyakan berapa usiaku. Aku jawab 23. Karena memang itu angka aku ada di dunia ini.
“Wah..sayang kak. Kakak belum bisa berpartisipasi. Karena yang boleh berpartisipasi yang usianya 25 atau 26 tahun ke atas”.
“Jadi, saya tidak boleh? Kenapa begitu?,” tanyaku menyesal mendengarnya.
“Iya belum boleh kakak. Ini peraturan dari bank yang bekerjasama dengan kami. Kami hanya mengikuti aturannya”.
Sungguh sayang, aku tak bisa ikut serta. Padahal aku sudah membayangkan jika bisa berpartisipasi, aku bisa menabung untuk generasi penerusku. Lagi kalau banyak orang yang memiliki kesadaran seperti yang dilakukan WWF, pastilah cuaca Pontianak khususnya tidak akan seextrim saat ini.
Siang hari, panas menyengat kulit tanpa ampun. Jika sudah begitu cuacanya, malam harinya jalanan dipenuhi kabut. Dada akan terasa sesak karena banyak asap yang masuk ke dalam paru-paru. Sungguh menyiksa. Belum lagi kalau sedang musim penghujan. Karena pohon yang menyerap air sudah semakin langka, daratan akan dengan cepat tergenag. Tapi, ini juga akibat ulah manusia sendiri. Apa mau dikata?

Kamis, 20 Januari 2011

“Impian Anak Beo”


Oleh : Ambaryani
            Disebuah perkampungan yang jauh dari jangkauan kota. Di sanalah aku dilahirkan 27 Oktober 1987 silam. Selasa pukul 07.00 pagi, aku hadir ditengah keluarga kecil pasangan pasutri Muri dan Tasmi yang sama-sama merantau ke Satai, Sambas. Pasangan pasutri ini mengikuti program trasmigrasi pemerintah tahun 1982. Keduanya menikah setelah 4 tahun hidup di daerah trasmigrasi.
            Setahun kemudian lahairlah aku. Ibuku dan ayahku memberiku nama Ambaryani. Nama itu terispirasi lantaran mereka ingin mengenag kampung halaman yang mereka tinggalkan. Ambarawa, itulah silsilah pemberian namaku.
Dulu, teman-teman sering meledeku. Terlebih saat pertama kali berkenalan denganku.
            “Mungkin dulu waktu mamanya hamil, sering masak hambar kali ya? Makanya dikasi nama Ambar,” begitu kalimat-kalimat cibiran yang bukan hanya sekali ku dengar mengenai namaku.
            “Mungkin,” hanya itu yang sering ku katakan jika aku mendengar hal itu. Aku tak kuasa melayani keisengan itu. Cuek, itu yang lebih tepat. Tapi apapun aku bangga, dihadiahkan nama itu.
            Tapi, baru-baru ini, aku mengetahui referensi lain mengenai namaku. Dalam sebuah reportase TV, bagian depan namaku Ambar merupakan nama salah satu kurma yang disukai Nabi Muhammad pada zamannya. Kini kurma Ambar dijual dengan harga Rp. 47.000,00 per onsnya. Itu artinya, kurma itu dijual seharga Rp. 470.000 per kilo gramnya, dan kurma ini merupakan kurma termahal kedua.
            Ayah dan ibuku bertani. Dari hasil bumi, mereka mengantungkan hidup. Bahkan saat menjelang kelahiranku, menurut cerita ibu, ibu masih giat menanam padi. Saat aku lahir, bertepatan dengan musim tanam padi.
            Selasa pagi, Ibuku sudah siap dengan perlengkapan berkebunnya sejak subuh. Perbekalan, makanan dan minuman, serta caping1 sudah disiapkannya. Menurut Ibuku, perutnya sudah terasa nyeri, mules sejak subuh. Tapi dia tak tahu, jika itu adalah tanda-tanda kelahiran. Menurut ibuku, saat itu usianya baru 18 tahun dan tak punya pengetahuan sedikitpun mengenai kelahiran.
            Almarhumah nenekku Parsini yang wafat tahun 2003, yaitu mertua ibu yang menemani ibu memperjuangkanku hadir di dunia ini. Kata ibu, kelahiranku mudah. Bahkan saat ayahku datang bersama bidan kampung, aku sudah lahir dengan selamat.
            Ayah, ibu dan aku tinggal di rumah yang pemerintah bangun untuk seluruh warga trasmigrai. Rumah itu kecil. Hanya berukuran 7x5 meter. Di rumah itu, ada 3 kamar, yang rata-rata hanya berukuran 3x2 meter saja. Dalam rumah itu, tak ada kursi atau sofa. Tak ada juga televisi. Yang ada hanya tape recorder plus radio tua yang ukurannya cukup besar, dan sebuah bufet butut untuk menyimpan radio itu. Tak ada barang-barang bermerek dan berbandrol mahal di rumahku.
            Aku sempat menjadi anak tunggal selama 6 tahun. Siti Muslihah, bayi perempuan lahir di tahun 1994. Dialah adikku, anak kedua dikeluargaku. Adikku lahir di rumah baru kami, yang mulai di bangun sejak 1993. Sejak kelahiran adikku, kemandirinaku semakin terasah. Dua tahun kemudian, adik ketigaku Istiqomah lahir. Aku masih berharap suatu saat nanti memiliki saudara laki-laki di rumahku.
            Sejak kecil aku dibiasakan hidup dengan peraturan yang ketat. Ayah dan ibuku termasuk orang yang tegas. Ada peraturan yang berlaku di rumahku walaupun itu hanya peraturan tidak tertulis. Semua peraturan sejak aku bangun tidur dan tidur lagi. Memang awalnya terasa kaku dengan peraturan-peraturan itu. Tapi, semuanya harus ku taati. Aku tak merasa terkekang dengan adanya peraturan itu. Malah, aku merasa beruntung, karena sejak kecil aku diajarkan hidup disiplin dan teratur dan manfaatnya kurasakan hingga kini.
            Jika hal kecil yang sudah menjadi ketentuan di rumah kulanggar, ibuku  tak akan beri toleransi. Tugas dan tanggung jawab harus ku tunaikan. Misalnya, aku harus bangun pagi, lalu merapikan tempat tidurku sebelum beranjak dari kamar. Setiap seminggu sekali, aku menjalani tes bacaan shalat, wudhu plus prakteknya. Begitu juga dengan hal-hal lain.
            Walaupun peraturan-peeraturan di rumahku sempat membuat kaku, kasih sayang dan perhatian penuh kudapatkan dari kedua orang tuaku dan kerabat-kerabatku. Aku anak pertama sekaligus cucu pertama dalam keluarga ibuku. Tapi tidak pada keluarga ayah. Aku cucu yang kesekian disilsilah keluarga ayahku. Tapi, lantaran cucu kakek dan nenek dari keluarga ayah tak ada di Kalimantan, dan masih berdomisili di Jawa, maka akulah cucu pertama mereka di Kalimantan Barat.
            Masih ku ingat, saat usiaku 2 atau 3 tahun dan sudah lancar berbicara. Saat itu aku sudah bisa mengenal huruf dan merangkainya menjadi satu kata. Ibu telaten membimbingku. Rangkaian huruf yang sudah bisa kubaca adalah Mama, Papa, Bibi dan kata lain yang berulang. Kata ibu, aku bisa membaca, menyanyi dan berhitung juga. 
            Dulu, setiap hari aku ikut bersama ayah, ibuku, nenek serta kakekku berladang. Jarak ladang ayah dan kakek berdekatan. Hanya dipisahkan tiga petak sawah dan parit. Setiap pagi di sepanjang jalan menuju ladang, aku selalu bernyanyi, menghitung pepohonan yang berjajar ditepi jalan, dan mengabsen satu persatu jenis pohonnya. Kata ibu, lagu yang sering ku dendangkan saat itu adalah, ‘Satu-satu aku sayang ibu’. Sedangkan kalimat yang tak bosan ku sebut-sebut adalah “Ini bapak Budi, ini Ibu Budi”. Mulutku tak henti berbicara hingga tiba di kebun. Karena kebiasaanku yang tak henti-hentinya bicara, aku mendapatkan julukan ‘Anak Beo’.
            Saat berada di kebun, aku bermain sendiri. Berlari ke sana kemari dari satu pematang sawah ke pematang yang lainnya, dari terasering yang satu ke teras ering yang lainnya. Aku belum punya adik saat itu. Hanya bisa main sendiri.
            Jika malam menjelang, televisi menjadi hiburan utama disamping radio yang menjadi teman orang-orang tua yang tak bisa lagi melihat dengan jelas tayangan televisi. Kata ibu, dulu aku sering dibawanya ke rumah tetangga untuk nonton televisi. Ibuku sering melakukannya, karena di rumah kami tak ada telivisi. Walaupun hanya untuk nonton televisi, ibu harus berdasak-desakan dengan penonton lainnya. Nonton telivisi di kampung, bagaikan nonton layar tancap. Ruang tamu tetanggaku yang tak seberapa luasnya menjadi penuh sesak. Suatu hari saat ibuku membawaku nonton televisi di rumah tetangga, aku yang berada di gendongan ibuku bertanya.
            “Mak kae opo4?,” tanyaku saat melihat orang yang sedang diwisuda dengan menggunakan toga di telivisi.
            “Kae sarjono5 ,“ jawab ibuku.
            “Sarjono ki opo mak6?,” tanyaku lagi.
            “Sarjono yo sarjono to. Wes meneng7,” kata ibuku kesal karena aku tak henti-henti bertanya.
            Kata ibu, sejak saat itulah aku bertekad suatu hari nanti aku ingin  menjadi sarjana. Begitu juga jika aku ditanya,                   “Opo cita-citamu ndok?8”.
            Aku selalu menjawab “Arep dadi sarjono hukom9”. Mungkin, dulu hanya sarjana hukum yang kuketahui.
Sejak aku berusia 6 tahun, aku sudah mulai mengikuti kegiatan belajar mengajar non formal di SDN 62 Satai, yang sekarang sudah menjadi SDN 10. Pihak sekolah tidak mau menerimaku sebagai siswa resmi, lantaran usiaku yang belum mencapai 7 tahun. Sedangkan peraturannya adalah, semua siswa baru boleh mengambil formulir pendaftaran setelah usianya genap 7 tahun.
            Tapi karena keinginanku yang cukup kuat untuk bisa sekolah, akhirnya ibuku menitipkanku pada kakak sepupuku yang sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Liana Dhiroh namanya. Setiap hari aku mengikuti Mbak Na, pergi ke sekolah.
            Mbak Na, begitu aku menyapa Liana Dhiroh. Aku duduk di samping kakak sepupuku. Mengikuti proses belajar mengajar siswa kelas 6, tapi sering kali aku sibuk sendiri dengan aktifitasku. Aku membawa buku dan alat tulis sendiri. Mbak Na, memberiku buku kelas satu yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Aku mengambar, menulis sendiri sesuka hatiku. Kadang, aku juga hanya bengong. Mengamati jalannya proses belajar mengajar siswa SD kelas 6. Masa-masa itu aku jalani tak genap satu tahun.
            Karena aku banyak tanya pada Mbak Na, saat proses belajar mengajar, mungkin dia dan teman sebangkunya merasa terganggu. Akhirnya dia tak mau lagi mengajakku sekolah bersamanya. Saat aku sudah genap 7 tahun, aku benar-benar menjadi siswa sekolah dasar 63 dulu, yang kini sudah beralih menjadi SDN 10. Satu hal yang tidak kusukai sejak kelas satu SD, aku benci menulis tegak bersambung.
            Kebencianku terhadap hal itu memuncak saat aku duduk dibangku kelas 3. Wali kelasku mewajibkan semua siswa menulis tegak bersambung di semua mata pelajaran. Aku  sanggat jarang mendapatkan nilai memuaskan. Jika mendapat tugas menulis tegak bersambung, nilai tetinggi yang kudapatkan adalah 7,5 hingga 8.
            Selain itu aku juga sangat membenci mata pelajaran kesenian. Mengambar terutama. Setiap pelajaran menggambar, aku hanya bisa mengambar pemandangan gunung, dengan pohon kelapa, rumah dan sawah. Jarang sekali aku beralih menggambar pemandangan lain.
            Aku masih ingat. Saat aku kelas 3 atau 4 SD, aku mendapatkan pekerjaan rumah (pr) untuk membuat kerajinan tangan, yaitu membuat bunga. Kebencianku pada mata pelajaran ini, membuat kreatifitasku mati.
            Aku harmpir putus asa. Ibuku yang sudah lelah menasehatiku dan memberiku petunjuk bagaimana membuat bunga yang baik, tapi akhirnya aku menyerah juga. Tugas itu ibu yang mengerjakannya. Hampir semuanya ibu yang mengerjakan. Aku hanya bertugas membeli bahannya saja.
            Esoknya, aku membawa hasil karyaku itu. Banyak teman yang memuji karya ibuku itu. Ibu memiliki jiwa seni yang lebih jika dibandingkan aku. Aku mendapat nilai 8. bagiku, nilai 8 untuk mata pelajaran kesenian adalah nilai sempurna.
            Saat itu, ada satu temanku yang mengetahui jika bunga itu bukan hasil karyaku. Aku kira ia akan melaporkanku pada guruku, karena walaupun dia memiliki kelemahan yang sama denganku, tapi dia lebih baik dariku. Karena dia membuat bunga itu sendiri. Walaupun hasilnya, nilainya di bawah standar. Ternyata temanku tidak melakukan hal itu.
            Ia hanya berkata, “Mbar, mamakmu benar-benar sayang kamu ya? Kamu ngak bisa buat bunga, diajarin, bahkan dibuatkan. Ibuku, tak pernah mengajariku mengerjakan peerku. Apalagi membuatkan bunga untukku.                      Padahal, aku benar-benar stress waktu mengerjakan tgas ini. Aku tak bisa. Aku iri dengan kasih sayang ibumu Mbar”. Saat itu juga, aku merasa iba padanya. Dia tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya.
            Sejak kecil, aku dikenal dengan anak yang kenes. Aku jarang absen disetiap kegiatan perlombaan di sekolah maupun dikampung. Momen 17-an, merupakan momen yang kutunggu. Aku mengikuti cabang lomba lari, lomba bawa kelereng dalam sendok, memasukkan benang dalam jarum, lomba memasak, lomba junjung10 botol dan balap karung, lomba shalat, wudhu dan baca Al-qur’an.
            Aku begitu, tak lepas dari dorongan orang tuaku. Kata mereka, kalau ada perlombaan apapun, ikut semua. Masalah kalah atau menang itu tidak usah dipikirkan. Itu yang sering kuingat.
            Saat di bangku sekolah dasar, aku menyukai pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ketertarikanku itu memberikan semangat tersendiri pada diriku. Ketertarikan itupulalah yang membuat nilai IPA di raportku dulu lebih unggul dari nilai-nilai yang lainnya. Nilai raort ku pada mata pelajaran ini, cukup memauskan. Angkanya, berkisar delapaan dan sembilan. Tapi, pernah juga angka tujuh bercokol disana.
            Aku tak tau, sejak kapan aketertarikanku pada mata pelajaran IPA memudar. Yang pasti, sejak duduk di bangku MTS, dan setelah berkenalan dengan pelajaran Fisika, aku tak lagi menyukai bidang studi eksak. Termasuk juga didalamnya, mata pelajaran IPA terpadu. Sejak itulah aku tak lagi bersahabat dengan bidang IPA.
            Sejak lahir hingga usia 12 tahun, ku habiskan waktuku di kampung halaman. Jarak antara sekolah dan rumahku dulu cukup jauh. Butuh waktu 30 menit dengan berjalan kaki. Tak ada sepeda apalagi motor. Tapi sesekali ayah mengantarku dengan sepeda tua miliknya.
            Sepeda tinggi dengan dua kayu yang selalu tertempel dibagian depannya. besi-besinya sudah mulai berkarat. Sepeda itulah yang selalu menemani ayah saat bekerja mengangkut kayu di hutan. Sepeda itu harus didesai seperti itu untuk mempermudah pekerjaan ayah.
            Ayah kadang mengarap kebun, tapi kadang juga merantau. Ayah bekerja menjadi buruh angkut kayu. Kayu yang sudah ditebang dan dijadikan papan dihutan, kemudian diangkut menuju tepi sungai, yang kemudian di angkut lagi menggunakan motor klotok hingga di pasar Sambas. Di pasar                    Sambaslah kayu-kayu itu akan dijual. Kata ayah pekerjaanya itu disebut “Narik Bintur”. Entahlah apa artinya. Tapi itu yang dikatakan ayahku dulu.
            Saat ayah tak dirumah, ibukulah yang menangani semua pekerjan ayah. Mengurus kebun, mengurus kambing, hingga kegiatan rapat desa. Sering aku tak tega melihat ibu, yang harus menangani semua pekerjaan ayah.
            Aku juga tak tega saat melihat ayah menahan beban berat, mengangkut kayu menggunakan sepedanya. Bahkan tak jarang ayah menarik kayu-kayu balok dengan diameter 5 cm dan panjang 3, hingga 4 meter dengan sebuah alat manual yang terbuat dari karung, tali tambang dan tali dengan bahan dasar karet ban.
            Karung itu digunting dan dibuat menyerupai tali tas yang bisa disangkutkan di bahu. Kemudian tali tas karung itu dihubungkan dengan tali tambang dan tali karet yang biasa ayah buat dari ban bekas. Tali-tali itu kemudian akan digunakan untuk mengikat kayu, kemudian ayah menariknya. Pasti beban yang ayah tarik sanggta berat. Badan ayah dengan perawakan sedang sampai membungkuk jika sudah begitu.
            Dulu, sepulang sekolah aku bertugas mengurus rumah dan kedua adikku Siti dan si bungsu Isti. Jika sedang tidak bekerja angkut kayu, sejak dini hari ayah sudah berkebun. Begitu juga dengan ibu. Menjelang dzuhur merka pulang. Setelah shalat Dzuhur dan makan siang mereka kembali ke kebun. 
Sepeda Baru
            Kelas empat SD aku baru memiliki sepeda sendiri. Entah apa merek sepedanya. Yang kuingat hanya warnanya saja. Sepedaku dulu warna biru. Tak bisa ku gambarkan rasa bahagiaku saat itu. Begitu aku tahu ayah dan ibu akan membelikanku sepeda. Aku tak bisa diam di rumah hari itu. Sejak jam 1 siang, aku sudah menunggu kedatangan sepeda baruku.
            Seharusnya jam 2 siang, ayahku sudah datang dengan membawa sepeda baru. Tapi, jam 2.30 aku baru bisa melihat wujud sepedaku. Kuketahui, tenyata ayahku datang terlambat karena kondisi jalan dari seteher11 menuju perkampunganku dengan jarak 4 kilometer kondisinya sangat prah lantaran diguyur hujan.
            Kondisi kampungku memang sangat parah. Rasanya, sejak aku SD dulu hingga saat ini, tak ada perubahan yang berarti di sana. Jalanan rusan parah. Tak ada perbaikan. Adapun perbaikan, uang yang pemerintah berikan disunat habis-habisan oleh penyalur proyek perbaikan jalan dan kepla desaku yang telah lengser beberapa tahun lalau.
            Aku mengetahui kabar itu dari ibuku. Katanya kondisi kampung sempat memanas saat warga mengetahui tindakan kepala desa. Tapi warga tak bisa berbuat banyak. Kasus itu menguap begitu saja.
            Jalan, tetap jelek. Kondisinya akan sanggat parah jika hujan turun. Tak hanya itu, seteher kamipun kini nyaris tak ada. Dari keterangan kepla desa setempat, Herlin ku ketahui seteher yang terbuat dari kayu, hanya pernah direnofasi 2 kali sejak tahun 80-an.
            Menurut keterangan pak Herlin, dana yang diusulkannya ke pemerintah setempat sejak tahun 2007 telah didapatkannya. Jumlahnya 37 juta. Tapi, katanya tak ada proyek yang mau menangani perbaikan seteher tersebut dengan dana yang hanya 37 juta. Hingga kini, kondisi seteher itu sanggat memprihatinkan. Nyaris tak terlihat lagi wujudnya.                   Tiang penyanggahnya sudah rapuh, hingga separuh seteher terperosok ke sungai. Akibatnya, seteher itu miring 500­.
            Masih banyak kondisi lain yang membuatku begitu prihatin dengan kondisi kampungku sendiri. Entah kapan kondisi itu akan membaik.
Saat Pertama Kali Melihat Sepedaku
            Rasanya aku mau meloncat kegirangan. Sepeda baru, dan masih terbungkus plastik. Rasanya tidak percaya. Aku sudah punya sepeda sendiri.
            Mulai saat itu aku tak lagi berjalan kaki atau ngojek. Ngojek yang ku maksud di sini, bukan ngojek dengan mengendarai sepeda motor. Tapi, aku duduk di tempat duduk besi di bagian belakang sepeda temanku. Hampir setiap hari aku melakukan hal itu. Ngojek.
            Tapi, bersyukur temanku tak pernah komplain. Sugeng namanya. Dia adik ipar pamanku. Jam 6.30 pagi, aku duduk di teras rumahku. Menunggu Sugeng yang rela memboncengku hingga ke sekolahku. Lumayan, perjalanan bisa lebih cepat jika dibanding dengan jalan kaki.
            Setelah aku memiliki sepeda sendiri, aku tak lagi duduk di belakang Sugeng. Aku mengendarai sepedaku sendiri. Tapi Sugeng tetap menjadi partnerku setiap pagi. Hampir setiap hari kami bersepeda bersama-sama.
            Sepeda itu kumiliki, tidak dengan begitu saja. Aku mengnginkan sepeda itu sejak lama. Degan alasan ekonomi, dan alasan-alasan lain aku belum bisa memiliki sepeda sejak dulu. Dulu aku belum bisa mengendarai sepeda.
            Hingga suatu saat Ibuku bilang, kalau mau sepeda, harus bisa naik sepeda dulu. Tak hanya itu syarat yang ibuku tawarkan. Aku harus tetap mempertahankan prestasiku. Aku terpacu dengan syarat yang ibuku berikan.
            Aku belajar ekstra. Selain mempelajari, mengulang pelajaran sekolah, aku juga terus belajar mengendarai sepeda. Sepulang sekolah, hingga menjelang Ashar aku latihan. Tak terhitung lagi, berapa kali aku tumbang, terjatuh saat proses belajar sepeda. Hingga akhirnya, saat usiaku genap 11 tahun aku baru bisa menaklukkan sepeda.
Meninggalkan Kampung Halaman


            9 tahun yang lalu, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertamaku (SMP) di Pontianak. Sejak itu, aku meninggalkan kampung halamanku dan hidup terpisah dari orang tuaku. Aku memilih Pontianak saat itu.
            Awalnya orang tuaku menunjukkan sikap dingin terhadap keinginanku. Aku tahu dan berusaha faham dengan sikap orang tuaku. Faktor biaya yang membuat orang tuaku bersikap dingin.
            Lagi-lagi kondisi perekonomian kami yang pas-pasan membuat aku harus berfikir ulang dengan keinginanku itu. Aku sempat pasrah jika harapanku tak bias jadi kenyataan. Tapi walau begitu, keinginanku tak pernah berkurang sedikitpun. Aku tetap menyimpan harapan itu. Hingga restu orang tuaku ku kantongi.
            Tahun 2000 ayahku mengantarkaku ke sebuah lembaga pendidikan, Mathla’un Anwar yang treletak di Gg. Pak Benceng Jl. Prof. M. Yamin, Kota Baru Pontianak. Di sana, aku tinggal di lingkungan asrama. Sejak itulah aku terbiasa hidup terpisah dari orang tuaku.
            Orang tuaku menyetujui keinginanku bukan tanpa alasan. Saat itu kondisi perekonomian keluargaaku sedikit terdongkrak, lantaran harga lada di pasar melambung hingga mencaapai Rp. 100.000 per kilo.
            Dulu orang tuaku memiliki kebun lada, selian kebun sayur dan sawah yang ditanami padi. Kebun lada yang dirintis setelah jagung tak menjadi makanan pokok kami. Diawal tahun berada di Satai, jagung merupakan makanan pokok kami. Entah apa sebab jagung bias tergeser oleh padi.
            Saat penghasilan dari kebun lada meningkat, mereka mengalokasikan dananya untuk menuntaskan biaya SMP ku. Tapi tetap saja, dana yang ada tak cukup hingga tahun ketiga. Al-hasil ditengah perjalanan, aku sempat hampir putus asa. Karena kondisi itu tidak bertahan lama. Di tahun-tahun terakhir aku SMP, harga lada anjlok.
            Orang tuaku dan petani lada lainnya menjerit. Petani, termausk orang tuaku tak mampu membeli beberapa jenis pupuk yang harganya cukup mahal. Biaya perawatan lada cukup mahal. Tidak hanya cukup dengan diberi pupuk kandang. Tapi ada pupuk urea, dan masih ada beberapa nama pupuk lain yang digunakan yang harganya cukup mahal. Aku lupa apa nama pupuknya.
            Karena banyak serangga dan jamur yang menyerang tanaman lada, biaya untuk membeli pestisidapun membengkak. Sedkit demi sedikit tanaman lada mulai mati. Harga jual anjlok.
            Harga jual (pendapatan) tidak setimpal dengan modal yang digunakan untuk perawatan lada. Bahkan yang kudengar dari orang tuaku, pengeluaran lebih banyak dari pendapatan. Sejak itulah lada tak lagi menjadi primadona di kampungku. Perekonomian kembali kacau.

***
            Pembayaran spp, asrama, biaya makan yang harus di bayar rutin sempat menunggak berbulan-bulan. Bukan sekali, dua kali namaku diumumkan melalui speaker kantor sekolahku lantaran telat membayar uang bulanan. Uang untuk kebutuhan pribadiku, jangan ditanya. Sudah barang pasti tak ada. Beruntung aku bertemu dan memiliki teman yang begitu mengerti kondisiku.
            Saat kondisiku benar-benar kacau, sahabat karibku yang barnama Suryani yang selalu setia disampingku. Dia yang rela berbagi apa saja denganku. Suryani, teman sekelasku. Dia adalah korban dari kerusuhan Dayak Madura di Sambas tahun 1997. Dia asal Sambas.
Sedih rasanya. Tapi apa yang bisa ku perbuat saat itu.                                     Memaksa orang tua untuk segera melunasinya, tak mungkin. Aku sangat faham dengan kondisi orang tuaku. Malu memang, tapi tak apalah demi cita-cita.
Puncaknya, bendahara sekolah menumpulkan semua siswa yang masih belum melunasi biaya bulanan. Satu persatu dibacakan jumlah tunggakannya. Aku hanya mengurut dada.                         Ada rasa bersalah karena memaksakan kehendak. Tapi sudah setengah jalan. Aku harus terus bertahan, menuntaskan apa yang sudah ku pilih.
            Sejak saat itu aku mulai akrab dengan buku dan pulpen. Aku menulis surat dan mengirimkannya ke kampung. Tak ada hand phone pada masa itu. Alat komunikasi yang selalu ku pergunakan adalah surat. Aku hampir hafal isi surat yang ku kirim dulu.
            Setiap aku mengirimsurat, ibuku menelfonku. Disekolahku terdapat telfon umum yang bisa untuk digunakan untuk menerima dan menelfon.
            “Nduk…mafkan mae yo…sahange gek ora payu12,” kata ibuku dengan nada lirih.
            “Y owes lah ma, ngak popo. Ngko nek wes payu, dilunasi yo13?,” kataku.
            Agenda atau diary yang menjadi temanku. Kebiasaanku menulis angenda dan diary, membuat ku ingin mengasah hobi baruku. Tulis menulis. Aku mulai aktif menulis di mading sekolah. Aku mulai aktif berorganisasi Ikatan Santri           Puntri Mathla’ul Anwar (ISPIMA). Saat aktif menjadi pengurus ISPIMA lah aku mulai belajar berorganisasi.
            Sejak saat itu pula, aku mulai aktif dalam grup qasidah, pidato tiga bahasa (Arab, Indonesia dan Inggris), dan beberapa kegiatan lain yang teragkum dalam kegiatan muhadhoroh.
            Kegiatan muhadoroh adalah sejenis kegiatan pengajian. Semua yang menjadi pengisi kegiatan tersebut adalah santri atau siswa. Guru-guru hanya bertindak sebagai pembina dan pemantau saja.
            Dari situlah aku terlatih dalam rangakaian kegiatan pengajian. Berkat banyak melatih diri di muhadhoroh itu pulalah, aku bisa mengikuti lomba Syahril Qur’an tingkat kecamatan Pontianak Selatan bersama kedua temanku, Nur Aini dan Mukhlisin.
Jurit Malam
Di perguruan Mathla’ul Anwar, semua santri harus mengikuti ekstrakulikuler Pramuka. Suka atau tidak, harus mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan Pramuka adalah salah satu ekstrakulikuler wajib yang masuk dalam aspek penilaian raport.
            Aku tidak suka kegiatan itu. Entah mengapa. Aku tak suka kegiatan itu, terlebih saat disuruh-suruh, dikomandani untuk baris, atraksi ini itu, simapore, menggunakan beberapa atribut dan masih banyak lagi yang harus dilakukan. Aku mengikuitinya karena itu ekskul wajib.
            Ketidak senanganku terhadap bidang yang satu ini, berdampak negative padaku. Setiap upacara pembukaan pramuka dilakukan, tepat jam 2 siang, kuikuti dengan ogah-ogahan. Pernah juga aku tak mengikuti upacara pembukaan. Waktu itu, aku bersembunyi di kamar (asrama). Ketahuan, tapi akibatnya tak separah yang kuperkirakan. Aku hanya diberi peringatan.
            Sebulan sekali, akan ada kegiatan menjelajah. Setelah menjelajah selesai, seluruh anggota pramuka akan dimasukkan ke dalam got (parit) yang kotor. Tak cukup sampai disitu, muka dilumuri belaw, pewarna pakaian yang berwarna biru14. Kemudian, aku harus meminum air garam, 1 permen yang harus dikulum secara bergantian dengan 10 anggota sekelompok pramuka dan masih banyak kegiatan lain yang membuatku semakin ilfill dengan kegiatan itu.
            Kegiatan menjelajah, tak hanya dilakukan siang hari, malam dengan kondisi gelap gulita menjadi pilihan kakak pembina pramuka karena menurut mereka kegelapan akan menambah serunya kegiatan penjelajahan. Saat itu, kegiatan menjelajah dilaksanakan malam hari, sekaligus kegiatan api unggun dan jurit malam. Aku dan teman-temanku tidur masih dengan seragam pramuka lengkap. Tepat jam 1 malam pembina pramuka membangunkan kami.
            Kami harus menjelajah kawasan kota baru di malam hari. Menembus satu gang ke gang yang lain. Tapi tak melewati jalur normal, karena rute yang harus kami lewati adalah rute yang tak biasanya dilalui saat siang hari, atau lebih tepatnya rute itu hanya ada saat kegiatan penjelajahan itu saja. Setelah penjelajahan selesai rute itu tak dilewati lagi. Setelah menjelajah, seluruh anggota pramuka dikumpulkan di padang rumput halaman sekolah dengan kondisi mata ditutup menggunakan kacu atau dasi pramuka.
            “Kalian tahu kalian sedang berada dimana? Kalian sedang berada di atas kuburan. Kalian bayangkan kalau yang di dalam kuburan ini adalah kalian, orang tua kalian, adik atau kakak kalian, kalian bayangkan, bayangkan!”.
            Tiba-tiba ku dengar tangisan teman-temanku. Sebagian temanku terharu dengan kata-kata pembina. Tapi, tak ada rasa sedih sedikitpun dalam hatiku. Terlebih malam itu kondisi lapangan becek. Embun yang menempel direrumputan membuat rok dan baju kami terasa dingin.
            Saat itu yang kupikir hanya ingin istirahat. Mataku kantuk, badanku letih karena seharian mengikuti seluruh rangkaian kegiatan pramuka. Aku duduk diatas gundukan tanah. Pas dibelakngku, terdapat potongan kayu yang tertancap ditanah dan tingginya sekitar 100 cm. Aku berusaha konsentrasi dengan kata-kata pembinaku. Tapi gagal. Parahnya, aku malah tertidur. Entah berapa lama aku tidur dalam keadaan duduk. Saat itu aku tersadar karena ada salah satu kakak Pembina yang membangunkanku.
            “Heh, bangun! Disuruh konsentrasi malah tidur. Cepat bangun! Buka tutup matanya!,” kata pembina dengan nada tinggi.
            Begitu aku bangkit dan membuka tutup mataku, acara jurit malamnya ternyata telah usai. Sebagian teman-temanku sudah bubar. Malu sebenarnya, tapi itulah akibat ketidak senanganku pada kegiatan itu, membuatku setengah hati mengikutinya.
2003, Meninggalkan Mathla’ul Anwar


            Tahun 2003 aku meninggalkan Mathla’ul Anwar. Aku melanjutkan sekolah menengah atas ku di Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Islah Baitil Mal Gg. Lawu Sungai Jawi. Saat aliyah, menjelang kelas dua, aku kembali aktif dalam organisasi OSIS.
            Sejak aktif di OSIS, aku juga mulai aktif kembali dengan kegiatan tulis menulis. Aku ikut mengelola mading sekolah. Madding, merupakan salah satu program kepengurusan OSIS. Waktu itu almarhum Candra teman sekelasku yang menjadi ketua OSIS.
            Candra, teman dan sosok ketua OSIS yang baik sanggat bertanggung jawab. Tak hanya itu, dia juga ketua OSIS yang memiliki wibawa dan mengayomi seluruh pengurus OSIS. Sayang, aku hanya bisa mengenangnya kini. Sahabatku itu meninggal dunia tahun 2006 lalu karena sakit ginjal yang dideritanya. Semoga Candra mendapat tempat yang tenang disisi-Nya.
            Dulu saat aliyah, aku sering terlambat  Tak hanya sekali aku dihukum untuk menyapu mushola sekolah karena terlambat. Guru piketku selalu mengatakan, “Apapun alasan kamu, kamu tetap harus dihukum karena terlambat”. Kesal rasanya jika sudah begitu. Tapi aku harus teta melaksanakan hukumanku, karena aku salah.
            Suatu ketika, aku terlambat ke sekolah. Aku sudah antisipasi supaya tidak mendapat hukuman. Aku menelfon guru Bahasa Indonesia, Buk Rita Isnaini yang mengajarku saat itu. Aku menjelaskan apa sebab aku terlambat. Beliau memakluminya. Tapi, ketika tiba disekolah diluar dugaan.
            “Assalamualaikum…maaf buk saya terlambat. Saya boleh masuk?,” aku menghadap Buk Rita yang sedang menjelasakan didepan kelas.
            “Ya, tidak apa-apa. Kamu laor saja ke kantor, habis itu langsung masuk!,” kata Buk Rita.
            Buk Rita menyuruhku ke kantor. Lapor kepada guru piket, lalu masuk kelas kembali. Tapi, ketika aku sampai di kantor dan melapor ke guru piket, aku harus menjalani hukuman terlebih dahulu.
            Aku menjelaskan jika aku seudah menelfon Buk Rita sebelumnya dan buk Rita pun mengizinkanku untuk masuk kelas. Tapi, penjelasanku sia-sia. Aku tetap harus menjalani hukuman. Aku pasrah dan hanya bisa menjalankannya.
            Suatu ketika juga aku pernah celaka lantaran terburu-buru menuju sekolah. Aku diserempet vespa abu-abu di Jalan Tabrani Ahmad tepat di depan gang sekolahku. Aku panik lantaran aku sudah terlambat. Aku tak lagi menengok ke belakang, dan langsung menyebrang. Karena kecerobohanku, vespa itu menyeruduk dari belakang.
            Aku terjatuh tertimpa sepedaku. Sikuku tergores aspal. Stang sepeda tak lagi singkron dengan arah ban sepedaku. Plastik warna kuning penutup ban depan sepedaku pun patah. Dalam sekejab, warga sekitar mengerumuniku.
            “Apa yang luka dek? Apa yang sakit?,”. Sura-suara itu kudengar bersahutan.
            “Tak ada pak. Makasih,” jawabku singkat karena aku ingin segera tiba di sekolah.
            “Benar?”.
            “Ya pak”.
            Aku langsung berdiri, menuntun sepedaku ketepi jalan. Kupikir, tak ada waktu lagi, aku sudah terlambat. Ku naiki sepedaku walau jalanya sudah sudah tak tentu arah lagi, lantatarn stangnya bengkok.
            Begitu tiba di sekolah, kakiku terasa nyeri. Rok abu-abuku berubah warna. Ada warna merah darah di betis kananku. Tarnyata betisku berdarah tergesek aspal saat aku tumbang di jalan raya tadi. Rasanya perih bukan main. Di dalam kelas aku tak bisa konsentrasi. Sekujur badanku terasa nyeri.
            Teman-temanku tak ada satupun yang mengetahui kejadian itu. Tapi beberapa jam kemudian beberapa temanku mengetahui kejadian itu. Mereka curiga dengan kakiku yang berdarah. Mereka langsung mengintrogasiku. Aku menyerah, dan menceritakan semuanya.
            Tak hanya sering terlambat, aku dan teman-teman selekasku pernah dihukum lantaran tak mengerjakan pekerjaan rumah (Pr) Fisika. Tak ada satupun dari kami yang tahu cara mengerjakan Pr itu. Kami kompak tak mengerjakanya. Al-hasil kami satu kelas dihukum untuk mengerjakan soal tersebut di lapangan bendera depan sekolah. Lapangan berumput itu becek, karena saat itu sedang musim penghujan.
            Tapi, walau aku terhitung bandel pada masa itu aku bisa mempertahankan prestasiku. Tiga tahun aku berhasil mempertahankan prestasiku di peringkat dikisaran tiga besar. Karena itu jugalah diakhir 2006, saat kegiatan class meating (lomba antar sekolah) setelah ujian sekolah aku dan ketiga temanku Yuni dan Elis mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat antar SMA sederajat se-kota Pontianak. Kami bertiga dipilih, karena kamilah yang menduduki tempat tiga besar dikelas kami.
            Aku puas, dipenghujung perjuanganku di sekolah. Aku dan teman-temanku bisa memngukir prestasi dan mengharumkan almamater sekolah kami dengan membawa piala dengan predikat juara 1 lomba cerdas cermat antar SMA sederajat se-Kota Pontianak. Tapi hingga kini aku tak pernah melihat dengan wujud piala itu. Saat piala itu sampai di sekolah, aku sibuk mengurus persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi.
Langkah Mewujudkan Mimpi
            Masuk perguruan tinggi memang impianku. Impian kecilku dulu. Aku ingin sekali memakai toga sarjana. Orang tuaku hampir saja menyerah saat aku bilang aku ingin melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Mereka pesimis dengan melihat kondisi perekonomian keluarga kami. Wajar memang orang tuaku pesimis. Karena memang, kondisi perekonomian kami tak menentu.
            “Biaya kuliah gede ndok....15,” kata ibuku saat aku membuka pembicaraan perihal kuliah.
            “Iyo mak, tapi aku pengen dadi mahasiswa mak. Aku pengen dadi sarjana, nganggo topi sarjana16,”.
            “Entok duet seko endi....17?,”.
            “Sak mampune mae lah! Cuma sewulan tok aku dadi mahasiswa ngak popo mak. Engko tak bantu ngolek duite lah18,”.
            Lagi-lagi aku berusaha memahami ketidak yakinan mereka. Tak hanya kepesimisan orang tuaku yang harus kuhadapi. Cibiran orang-orang kampung yang meremehkan cita-citaku, menjadi cambuk semangat untukku bisa membuktikannya. Membuktikan bahwa aku bisa mewujudkan mimpiku walau dengan begitu banyak rintangan yang kuhadapi. 
            Aku terus meyakinkan orang tuaku, bahwa aku bersungguh-sungguh dengan cita-citaku. Aku benar-benar ingin memakai topi toga dengan harus menjadi mahasiswa sebelum memakainya. Untuk meyakinkan bahwa aku tak main-main, aku berjanji membantu mereka dalam hal keuangan. Terutama keuangan yang menyangkut kehidupanku selama menjadi mahasiswa. Orang tuaku hanya perlu menyiapkan uang pendaftaran dan uang daftar ulang setiap semesetr. Selebihnya, bukan menjadi tanggungan mereka.
            Setelah melalui tahap negosiasi yang cukup alot, orang tuaku menyetujui keinginanku. Aku resmi menjadi mahasiswa Jurusan Dakwah Program Studi                  Komuikasi Penyiaran Islam STAIN Pontianak di tahun 2006.
            Sebelum resmi menjadi mahasiswa, untuk mengisi waktu libur setelah tamat Aliyah, aku mulai mencari pekerjaan. Aku memualinya dengan menjadi guru TPA di masjid AT-Taqwa yang letaknya di kawasan Jalan Tebu, Komyos Sudarso.
            Aku mencari pekerjaan lain. Aku tak bisa mengandalkan penghasilan menjadi guru TPA di satu tempat saja. Berapalah gaji seorang guru TPA. Setelah mencari-cari, aku diterimaa menjadi guru TPA Masjid Sirojuddin Jalan Apel, Jeruju. Beberapa bulan kemudian aku menjadi guru privat di jalan Hijas, Gajah Mada Pontianak. Dalam satu hari, aku mengajar di tiga tempat sekaligus. Bahkan di hari Minggupun aku terima tawaran privat.
            Pergi pagi pulang malam. Jam 7 pagi, aku harus meninggalkan rumah menuju kampus, jam 21.00 bahkan kadang lewat dari itu, aku baru ada di rumah. Jadwal privatku sampai jam 19.30. Tapi, setelah itu aku ke kampus lagi. Bukan untuk belajar di kelas, melainkan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Syukur di kampus aku aktif di organisasi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang meiliki fasilitas komputer.
            Di sanalah hampir semua tugas-tugas kuliah kuketik. Tapi sesekali aku juga mengetiknya di rental. Terlebih jika komputer LPM sedang menjadi primadona kawan-kawan yang juga aktif di LPM. Komputer itu milik semua pengurus maupun anggota LPM, siapapun diantara kami yang mau memakainya tak ada masalah. Hanya saja jika sedang musim banyak tugas, harus rela mengantri atau mengalah menyambangi rental.
            Sejak awal berada di kampus aku sudah menceburkan diri di LPM STAIN Pontianak. Aku mencari komunitas penulis. Sejak masuk di lingkungan kampus STAIN, keinginanku menjadi penulis semakin besar.
Selain di LPM, hampir genap 1 tahun aku menjadi penyiar di radio Prokom STAIN. Tapi, lama kelamaan, aku lebih cenderung dengan dunia penulisan, dan tak lagi menjadi penyiar radio.
            Aktif berorganisasi tak membuatku lantas mengabaikan tanggung jawabku, menjadi guru privat. Selain beban jika tak sungguh-sungguh melaksanakannya, aku juga harus menjaga kepercayaan wali murid. Jika kepercayaan tak kudapatkan, alamat aku tak akan lagi diercaya menjadi guru privat, sedangkan aku membutuhkan rupiah untuk kelangsungan hidupku juga kuliahku.
            Jam 9 malam, aku tiba di rumah kos tak bisa langsung istirahat. Dengan sisa tenaga setelah seharian beraktifitas, aku masih harus mencucui pakaian, piring dan pekerjaan rumah lainnya yang tak sempat kukerjakan di pagi hari. Walaupun sebenarnya, tak kuat lagi. Tapi aku harus melakukannya. Karena kalau tak kukerjakan hari itu juga, pekerjaan itu akan menumpuk dan yakin akan membutuhkan tenaga lebih banyak untuk membereskannya.
            Tenaga dan pikiranku benar-benar terkuras. Terlebih aku harus benar-benar mengatur waktu serta sirkulasi keuangan, hasil jerih payahku yang tak seberapa itu. Walaupun hasilnya tak banyak, dan aku harus gali lobang tutup lobang hampir setiap bulan, aku bisa memalui hari, minggu, bulan bahkan hitungan tahun untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-citaku. Memang sering terasa letih jiwa ragaku merasakan perjuangan itu. Tapi, demi cita-citaku dan perjuangan untuk memberikan perubahan nasip keluarga, aku harus terus bertahan. Aku punya 2 adik yang pada akhirnya nanti akan menjadi tanggung jawabku. Akulah yang akan mengantikan orang tuaku sebagai tulang punggung dalam keluarga kami.   
            Tekadku, walaupun kondisiku sendiri belum baik untuk bisa membiayai hidupku sendiri, aku harus bisa membawa adik-adikku keluar dari kampung untuk melanjutkan sekolahnya. Aku akan berusaha lebih keras lagi, untuk menghidupi aku dan dua adikku kelak. Dan aku juga ingin mengajari adikku untuk menjadi pribadi yang tangguh dengan ditempa banyak kesulitan. Agar kedua adikku menghargai jerih payah kedua orang tua kami yang berjuang mati-matian demi kami.
            Tak hanya itu alasanku ingin memboyong adik-adikku ke Pontianak. Aku tak tega jika adikku harus sekolah di kampung dengan jarak tempuh 17 km dari rumahku, dengan kondisi tak ada kendaraan yang bisa digunakan. Pilihannya hanya bersepeda atau berjalan kaki dengan jarak sejauh itu.
            Juli 2007, adik pertamaku Siti Muslikhah ke Pontianak dan tinggal bersamaku. Dia tercatat sebagai siswi Madrasah Tsanawiyah Mathla’ul Anwar. Walaupun aku mendapat tugas tambahan, antar jemput adikku plus aku juga harus kerja ekstra karena harus menanggung biaya hidup kami berdua, tapi aku sanggat terbantu dengan tinggalnya Siti bersamaku. Aku berbagi tugas dengannya. Ketika pulang malam hari, aku tak lagi harus melakukan pekerjaan rumah, bisa langsung mandi dan istirahat karena Siti yang mengambil alih semua pekerjaan rumah.
             Akibat kurang istirahat, kondisi kesehatanku terganggu. Darah drop, badanku bergetar hingga pandanganku gelap. Aku tak kuat mengendarai motorku. Saat itu, aku baru selesai privat di Jalan Hijas, dan hendak menuju Jl. Apel. Tapi, aku benar-benar tak kuat. Aku menuju kampus, berharap sekretariat LPM atau ruangan radio Prokom masih buka, dan aku berniat beristirahat sebentar di sana untuk memulihkan stamina. Karena kalau aku harus pulang ke kos, pasti aku akan terlambat mengajar TPA, selain jauh, Jalan Imam Bonjol juga selalu macet. Tapi setelah tiba di kampus, kedua ruangan yang kumaksud tak buka. Akhirnya kurebahkan badanku diatas kursi panjang yang terdapat di depan ruang radio Prokom. Aku tak tahan lagi, dan aku terlelap 30 menit di sana. Begitu terjaga, aku langsung bergegas menuju Jalan Apel.
            “Aku telat,” gumamku.
            Menjadi guru privat kulakoni hingga akhir semester 3. Menjelang semester 4 aku mencoba pekerjaan yang berbeda. Aku lepaskan semua job privat. Aku bekerja di rental komputer plus studio foto di jalan Mendawai 1 Imam Bonjol. Dulu rumah kosku tak jauh dari rental tersebut. Hanya butuh waktu 5 menit berjalan kaki dari rental ke kosku.
            Aku kuliah hingga jam 12 siang, setelah itu aku di rental dari jam 13.00 hingga jam 21.00.             Sejak kerja di rental, tugas-tugas kuliah kukerjakan di sana. Aku bekerja di sana hanya 2 atau tiga bulan saja. Setelah lebaran tahun 2007, aku tak lagi bekerja di rental.
            Sejak kerja di rental, aku tak bisa ke mana-mana. Di kampuspun hanya untuk kuliah dan cari buku diperpustakaan STAIN maupun perpustakaan Jurusan Dakwah, sebagai bahan-bahan tugas kuliah. Rasa jenuh menyergap. Aku mencari pekerjaan lain, yang tak begitu menghabiskan waktu di tempat kerja. Aku sempat mengajar sekstrakulikuler di MAN 2 hapir 1 bulan. Saat itu, aku menggantikan Dadang Kosman kakak tingatku yang sedang Kuliah Kerja Lapangan (KKL).
            Setelah itu aku menjadi peserta intensif program Tribun Instutute yang dinaungi oleh Borneo Tribun selama 2 bulan. Selama 2 bulan menjadi wartawan magang banyak hal yang kudapatkan. Bersyukur aku bisa menjadi salah satu diantara 12 orang yang tergabung didalamnya.
            Setelah dua bulan menjadi wartawan magang, aku fakum. Tapi tak lama, aku kembali menjadi guru privat hingga kuliahku selesi, dan pada 25 September 2010 aku resmi menyandang gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I). Kini, impian anak beo menjadi nyata dan bukan hanya sekedar bunga tidur (mimpi).



Footnotes
1 Caping adalah penutup kepala yang terbuat dari bilahan bambu, yang sering digunakan petani.
2 Ntah nak beo, mae ngak tahu
3 Mak, itu apa?
4 Itu sarjana.
5 Sarjana tu apa mak?
6 Sarjana ya sarja.
7 Sudah diam
8 Apa cita-citamu nak?
9 Mau jadi sarjana hukum.
10 Junjung adalah meletakkan benda diatas kepala tanpa dipegang.
11  Tempat berlabuhnya motor air klotok yang menjadi alat transportasi dari Satai ke pasar Sambas.
12 Nak, maafkan mamak ya. Ladanya tidak laku.
13 Ya udah ma…tidak apa-apa. Nantik kalau sudah laku, dilunasi ya!!
14 Serbuk warna biru yang biasa digunakan untuk mewarai pakaian warna putih.
15 Biaya kuliah besar nak…
16 Iya mak, tapi aku pengen jadi mahasiswa mak. Aku pengen jadi sarjana, pakek topi sarjana.
17 Dapat uang dari mana?
18 Semampunya aja mak.
19 Cuma sebulanpun aku jadi mahasiswa ngak apa-apa mak. Nanti saya bantu cari uangnya.
20