Senin, 01 Oktober 2012

Saat Uang Bapak Tak Banyak Lagi

Ditulis: Ambaryani
Aku berlari menuju kamar teman kosku. Aku duduk bersila dihadapannya sambil menangis sesegukan. Mataku sudah membengkak. Temanku nampak heran melihatku. Dia hanya diam dengan kebingungannya. Dia membiarkanku menangis dihadapannya. Setelah hujan air mataku mereda, aku memulai pembicaraan.
“Ce, aku sedih...,” kataku dengan suara tersendat.
“Ada apa, sampai begini?”
“Hiks, hiks...,” air mataku kembali mengalir deras.
Temanku kembali terdiam sambil menepuk-nepuk punggungku saat aku kembali menangis.  Tak tahan rasanya mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.
Hari itu, aku mendapat sms dari Bapakku, yang menyuruhku mengunjunginya ke rumah Omku yang tinggal di HM. Swignyo. Tiap bulan orang tuaku mengirimkan beras dan uang jatah bulanan. Kalau tidak Bapak membawanya langsung ke Pontianak, Bapak biasanya menggunakan jasa bis.
Aku menangis karena hari itu, Bapak hanya memberiku sekarung beras 15 Kg dan uang Rp. 400.000. Uang itu jatah sebulan, yang akan kugunakan untuk membayar kos Rp. 200.000 dan sisanya untuk keperluan makan, bensin motor, pulsa, tugas-tugas kuliahku, dan keperluan lainnya.
Biasanya Bapak memberiku jatah Rp. 500.000 perbulan. Uang segitupun, jauh dari kata cukup. Aku sudah sangat menghemat. Aku juga menekan dalam-dalam keinginannku memiliki barang ini itu seperti yang dimiliki teman-temanku. Meskipun demikian, aku masih gali lobang, tutup lobang. Persediaan uangku akan menipis, ketika baru 15 hari berlalau. 15 hari mendatang, aku meminjam uang teman-teman terdekatku. Terlebih untuk keperluan tugasku yang tak bisa di tolerir. Begitu yang kulakukan selama ini.
Urusan makan sehari-hari, jangan ditanya. Aku benar-benar menerikkan ikat pinggang. Bahkan seminggu penghujung bulan, aku hanya bisa membuat sambal goreng tempe dan kacang yang kukira murah dan awet. Aku bisa sedikit mengirit. Kalau benar-benar sudah tidak ada uang ditangan, aku hanya membuat bubur nasi, yang kukasi garam dan kutaburi bawang goreng. Bahkan ada satu waktu aku hanya makan sekali dalam sehari.
Dengan jatah normal saja, aku sudah mati-matian dalam penggunaan uang. Apa lagi dikurangi Rp. 100.000. Aku sedih membayangkannya. Aku juga berpikir, kepada siapa lagi aku harus meminjam uang. Aku sudah menebalkan muka tiap bulan meminjam uang pada keempat teman dekatku di kampus.    
Orang tuaku petani. Bapak dulu bekerja di PT sawit di kampungku. Rasanya saat Bapak bekerja di PT dulu, banyak uangnya. Aku masih kecil dulu, tapi aku masih ingat betul akan hal itu. Selain bekerja di PT, Bapak juga membuka toko dan service elektronik di barak pekerja. Dan hasilnya, bisa dikatakan lebih dari cukup. Dulu, Bapak mampu membeli mobil exstrada.
Aku tak tau pasti mengapa Bapak tak lagi bekerja di PT. Dan setelah tak lagi menjadi karyawan PT, Bapak juga tak lagi membuka service elektornik. Kata Bapak, banyak singan. Kemudian, orang tuaku, membuka warung sembako di rumah. lumayan besar warungnya. Tapi, warung itupun tak ada lagi sekarang.
Bapak menanam sawit sendiri, dan mengandalkan karet (noreh). Tapi, lama kelamaan itu tak bisa menjadi andalan sumber ekonomi. Mobil yang kami punya dulu, akhirnya di jual karena Bapak rasa, dulu kami belum benar-benar membutuhkan mobil itu. Bapak kemudian nyopir truk barang milik omku yang domisili di Pontianak. Om Gio namanya.
Omku yang satu ini, terhitung sukses hidupnya. Dia sudah memiliki rumah di Pontianak, beberapa mobil truk dan membuka rumah kos. Dulu waktu aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah, Bapak sempat berniat agar aku kos di rumah Om Gio. Tapi, setelah kubanding-bandingkan dengan baya perbulan di kos lain, Om Gio mematok harga tinggi. Meskipun dia Omku, tapi aku diperlakukan sama dengan calon penghuni kos lainnya. Dan aku tak setuju dengan ide Bapak, dan aku mendapatkan tempat kos yang lain yang lebih nyaman dan sewa perbulannya terjangkau.
Saat uang Bapak lebih, dia tak terpikir untuk menabungnya. Tak terpikir, jika aku dan adik-adikku ingin sekolah tinggi-tinggi. Tak ada perencanaan. Uang yang lebih dulu, habis begitu saja. Dan sekarang, kami rasakan akibatnya.
Dulu aku hanya kuliah D2 PGSD. Setelah wisuda, aku sempat ngangur 1 tahun dan pulang kampung. Saat ngangur, aku berjualan es di rumah. Aku membuka warung kecil-kecilan. Aku juga noreh, ikut memanen sawit. Membantu orang tua dikebun, sudah biasa kulakukan sejak aku kecil dulu. Bahkan saat almarhumah nenekku masih hidup, aku dan nenek memanen cangkok manis yang kami tanam di kebun. Kemudian aku dan nenek menjajakkannya keliling kampung dengan jarai[1] yang digendong nenek. Setelah 1 tahun, aku ingin melanjutkan kuliahku, S1.
Aku sampaikan keinginannku pada orang tuaku. Pada Bapak terutama. Bapak tentu tak setuju. Terlebih dengan kondisi perekonomian kami yang jauh berubah dibanding dulu. Tapi aku tetap kekeh ingin melanjutkan kuliah.
Bahkan untuk mempengaruhi ketidak setujuan Bapak, aku berjanji akan kuliah sambil bekerja. Bapak memikirkan janjiku. Dan akhirnya menyetujui keinginanku, walaupun sebenarnya Bapak masih merasa keberatan. Aku lega. Walaupun belum terpikir akan bekerja apa saat sudah lanjut kuliah nanti.  
Hingga hampir 1 tahun aku kuliah, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Ijazah D2, kujadikan modal melamar kerjaan. Lebih 10 lamaran kumasukkan ke SD2 negeri maupun swasta. Tak hanya itu, aku juga memasukkan lamaran pekerjaan ke cafe-cafe juga kantin. Kupikir, pekerjaan asalkan halal akan kulakoni. Ini sudah janjiku. Janjiku pada Bapak yang harus kutepati.
Hampir bosan aku menulis lamaran dan mengantarkannya. Tapi, tak satupun yang berhasil. Setelah hampir bosan menunggu dan memutar otak, pekerjaan apa lagi yang harus kucari, ada panggilan dari kantin dan konter penjualan minyak wangi isi ulang. Pikirku, aku bisa pekerja pagi hingga siang. Karena aku masuk kuliah jam 1 siang.
Aku dipanggil dan diwawancara. Saat wawancara aku ditanya mahasiswa atau bukan? Kujawab jujur pertanyaan itu. Ternyata kejujuranku, tidak membuahkan hasil kali ini. Pemilik usaha, tak mau menerima aryawan yang sambil kuliah.
Aku juga mengajak Cece temanku untuk keliling kota Pontianak, mencari lowongan kerja. Belum juga berhasil. Hingga suatu pagi, saat aku baru saja libur akhir semester, aku putar-putar kota Pontianak dengan motor Vega hijauku. Aku tak sengaja, lewat Mall Matahari Pontianak. Pas didepannya terdapat rumah makan Seafood 88. Tertera LOWONGAN KERJA.
Aku yang memang sedang mencari-cari pekerjaan tentu saja girang bukan kepalang membaca tulisan itu. Awalnya aku ragu masuk ke restoran itu. Tapi, ini kesempatan yang selama ini kucari. Aku masuk dan menanyakannya. Tanpa berpikir, akan ditempatkan diposisi apa aku di restoran itu.
“Ada lowongan kerja ya?,” kataku dengan nada grogi yang mungkin terdengar oleh lawan bicaraku di restoran itu.
“Iya, ada,” jawab pelayan restoran. Kemudian dia mempertemukan aku dengan pemilik restoran.
Agak lama aku berbincang dengan si bos. Dia bertanya akan statusku. Kujawab, mahasiswa. Awalnya dia tak mau menerimaku menjadi karyawannya. Alasannya, tak boleh kerja paruh waktu, dan karyawannya harus tinggal dirumahnya, karena memang restoran itu dibuka didepan rumah bos. Dia malah memintaku untuk tidak kuliah lagi, hanya bekerja. Tentu saja itu kutolak. Dan kujelaskan, aku akan bekerja penuh dan memenuhi syaratnya karena aku sedang libur 3 bulan. Bosku juga setuju.
3 bulan aku bekerja menjadi pelayan restoran plus pembantu rumah tangga bos. Memang gajinya tak sebanding dengan pekerjaan yang kulakukan. Tapi, itu cukup membantu kodisi keuanganku. Aku tak memberitahu orang tuaku, perihal pekerjaan itu.
Setelah kuliah aktif kembali, akupun berhenti bekerja. Sejak berhenti, aku kembali ke kos lamaku. Aku sudah membicarakan hal itu sebelumnya pada ibu kos. Setelah berhenti, aku kembali mencari-cari pekerjaan.
Lamaran yang kukirim ke sekolah-sekolah, tak ada yang goal. Sedih sebenarnya. Ijazah D2ku, ternyata belum bisa menjadi modal kuat untuk mendapatkan pekerjaan. Akhir 2008, aku ikut seleksi CPNS. Tapi, aku gagal. Aku sanggat berharap namaku tertera di media cetak yang yang memuat pengumuman itu. Hasilnya nihil, dan aku pulang. Hilang semangatku saat itu. Lagi-lagi aku menangis dihadapan Cei. Aku kembali kebingungan mengatur jatah uang yang tak seberapa.
Teman-teman kosku, tahu persis akan keadaanku itu. Terlebih Cei. Aku lebih terbuka dengannya, bahkan hingga masalah keuanganku. Dia juga mengerti itu. Suatu hari saat dia melihatku hanya membuat bubur, dia tanggap akan kondisiku.
“Kalau tak ada beras atau apa, bilang! Jangan diam-diam. Kalau aku ada, pakai dulu. Kalau ada waktunya kau yang ada, saling bantu kita,” kata Cei mengesalkan karena aku tak terbuka dengannya saat itu.
Aku hanya menjawab ‘Iya’. Cei pasti tahu, kalau sebenarnya aku malu terlalu sering pinjam sana-sini.  
Arin teman kosku yang lain ternyata mencarikanku pekerjaan. Dia prihatin melihat kondisiku. Dia juga tahu, aku mau melakukan pekerjaan apapun asal halal. Koko bos Arin sedang membutuhkan pembantu rumah tangga, dan dia menawarkanku pada bosnya.
Akupun kembali menjadi pembantu sambil kuliah. Tak hanya itu, aku juga menjadi buruh cuci setrika setiap hari minggu. Awal menjadi pembantu Koko, aku hanya meerima Rp. 10.000 per hari. Setelah beberapa bulan, kemudian Koko menaikkan gajiku Rp. 15.000. Aku digaji berdasarkan absen. Semakin rajin aku kerja, semakin banyak gaji yang kuterima.
Subuh jam 4.30, saat orang lain masih terlelap, aku sudah mulai bekerja. Jam 6, pekerjaanku sudah beres. Begitu kujalani dari akhir 2009. Dan itu membantuku. Hampir bersamaan dengan aku menjadi pembantu, ada lagi pembukaan CPNS di akhir tahun 2009.
Aku mencoba lagi. Aku tak berani terlalu berharap lagi. Jika aku lulus, itu memang sudah waktunya. Kalaupun tidak, kumencoba lapang dada. Walaupun tak kupungkiri akan ada kecewa. Aku lebih siap saat itu, jikapun aku tak lulus.
Puji Tuhan, saat mencoba lagi, keberhasilan berpihak padaku. Aku ingin melompat tinggi-tinggi. Memekik sekeras-kerasnya. Aku ingin semua orang tahu, aku bahagia. Orang tuaku, merasakan kebahgiaan itu juga. Kata Bapak, memang itu yang Bapak tunggu.
Cita-citaku menjadi guru di kota kini terwujud. Sebelumnya, banyak yang menawarkan padaku untuk mengajar di kampungku. Tapi, aku menolak.
Sebenarnya, guru bukan cita-citaku. Aku suka sesuatu yang berbau khayalan. Tapi, dulu saat aku SMA, tak ada pandangan akan hal itu. Yang kutahu, kuliah adanya jurusan guru. Pengetahuanku akan hal itu memang terbatas dulu.
Penghasilanku menjadi CPNS dengan golongan IIB, tak bisa kuandalkan sepenuhnya. Apa lagi, setelah aku lulus CPNS, orang tuaku benar-benar cuci tangan dengan semua urusan keuangan. Bahkan hingga urusan kuliah. Gaji yang tak seberapa itu, harus cukup untuk membayar kos, kridit motor, kebutuhan hari-hariku, dan aku juga harus menabung untuk membayar uang daftar ualng setiap semester.
Akupun memutuskan untuk melanjutkan profesiku, menjadi pembantu di rumah Koko. Biarlah orang bilang apa. Persetan dengan gengsi. Gengsi tak bisa memenuhi kebutuhan hidupku.
Bahkan tetangga Koko yang sudah mengenalku, agak heran jika melihatku ke rumah Koko dengan baju dinas. Mungkin mereka heran melihat, pegawai tapi masih saja menjadi pembantu.
Dengan gaji pembantu itu, aku punya uang sedikit lebih. Yang bisa kugunakan untuk menganti bajuku yang sudah memudar warnnanya, yang sudah merapuh rajutan benangnya. Menganti sepatu ngajarku yang hanya itu-itu saja, memiliki beberapa gaun untuk ke sembayang Minggu.
Tuhan memberikan berkatnya padaku. Tuhan begitu sayang padaku. Dia memang menguji kesabaranku. Menempa keikhlasanku. Tuhan memberiku banyak berkat dari sudut yang tak kuduga. Dari tangan yang tak pernah kusangka akan menjadi jalan rezki-Nya turun padaku. Puji Tuhan.
Hari Minggu. Hari bermalas-malasan bagiku. Aku berbaring di kamar kosku sebelum bersiap-siap ke gereja.
“Hm...pakai baju yang mana ya?”, aku memilih baju yang tergantung dilemari yang tak seberapa jumlahnya. Pilihanku jatuh pada gaun ungu.
Aku bergegas mandi. Setelah mandi, kukenakan baju terbaik untuk menghadap Sang Maha Baik. Aku berdiri didepan cermin yang kuletakkan dipojok kamar. Kuperhatikan badanku yang sudah terbalut gaun selutut. Aku berputar-putar didepan cermin.
“Lenganku...”.
Kupegang lengan kiriku. Kusing-singkan lengan gaunku. Lenganku berotot. Bentuknya juga tak seindah lengan-lengan gadis lajang kebanyakan. Otot dilenganku saksi, betapa kerasnya usahaku untuk hidup. Kusyukuri, meski rasa iri diam-diam menyelinap saat melihat lengan lain yang langsing dan indah terbalut gaun.     


[1] Jarai: keranjang gendong  yang terbuat dari rotan dengan tali dari kulit kapuak, .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar