Ditulis: Ambaryani
Malam itu, aku baru selesai
mengajar privat. Sebelum pulang, aku mampir ke warung di ujung pertigaan
komplek ujung Kota Baru. Kedua adikku memintaku membelikan mereka es mambo.
Biasa, aku membeli di warung itu. sebut saja warung Pak De. Karena pembeli di
warung itu, rata-rata memanggil pemiliknya Pak De dan Bu De.
“Es mambonya masih Bu De?”,
tanyaku pada Bu De yang sedang menyapu di depan warungnya. Menjelang jam 8
malam, Pak De atau Bu De memang sudah mulai mengemas warungnya. Sudah lelah
pastinya. Karena warung sembako itu buka sejak dini hari. Pastinya start
sejak subuh. Berbelanja syuran dan lain-lain. Kedua suami istri ini berbagi
tugas. Salah satunya mengemas warung, dan menjaga anaknya yang masih 2 atau 3
tahun. Ini perkiraanku.
“Ada...”, jawabnya sambil
melanjutkan pekerjaannya.
Ada anak bujangnya yang sedang
duduk di kursi depan warung. Ntah apa tema pembicaraan Ibu dan anak ini. Intinya,
sang anak menceritakan pada Ibunya perihal pekerjaan.
Sembari aku memilih-milih es
sesuai rasa yang dipesan kedua adikku, kusimak pembicaraan mereka berdua.
“Itulah kalau kerja sama orang.
Apa lagi mamak dulu waktu masih kerja di pabrik. Kerja ndak boleh telat, harus
kejar target, ikut gerak mesin. Makanya mamak kerja, buka usaha sendiri”, kata
Bu De yang sudah selesai menyapu dan berdiri dan siap menghitung es yang
kubeli.
“Enak usaha sendiri ya Bu De?
Ndak jadi anak buah terus?” aku menimpal pembicaraan, karena Bu De berbicara
sambil menghadapku. Seolah pembicaraannya (ceritanya) ingin dibaginya denganku.
“Iya, dulu Bu De 20 tahun kerja
di pabrik triplek, apa nama pabriknya dulu tu..”, kata Bu De mengenang
masa-masa sulitnya dulu.
“Barito”, anaknya menyambung
dengan cepat. Mungkin, sang anak sudah mendapat cerita perjalanan hidup ibunya.
Sampai-sampai dia masih lekat dengan tempat bekerja ibunya dulu.
“Iya Barito, yang di Kuala 2
dulu”.
Wanita dengan badan subur, berambut
pendek setelinga, dengan potongan mirip dora, bercela pendek dibawah lutut, berkaos
putih, yang warnannya sudah tak terlalu cerah itu melanjutkan pembicaraanya.
“Maklumlah, orang tua ndak mampu.
Habis SD langsung kerja, berhenti sampai hamilnya dia”. Bu De sambil menunjuk
anak sulungnya yang diajaknya bincang-bincang tadi.
“Sekarang dah gulung tikar ya Bu
De?” kataku dengan nada bergurau.
“Itulah, untungnya sebelum
berhenti dulu, saya udah beli rumah ini.”
Pembicaraan kami terputus saat
ada konsumen lain datang. Bu De segera melayani. Pak De dan Bu De memang
penjual yang ramah. Belum lama aku berbelanja di warung ini. Baru berjalan 2
bulan saat itu. itupun, tidak setiap hari aku belanja di sana. Kadang-kadang.
Tapi, karena rasa kesukuan
mungkin yang membuat Pak De dan Bu De seakan sudah mengenalku lebih lama dari
nyatanya. Saat transaksi denganku, Bahasa Jawa yang kadang kami gunakan. Kadang
juga pakai bahasa campur-campur.
Satu hal yang kupelajari dari apa
yang kudengar malam itu. pembicaraan sederhana ibu dan anak yang kudengar
sepintas lalau. Setiap orang menginginkan perubahan dalam hidupnya. Tentunya
perubahan menuju hal yang lebih baik. Meskipun, sedikit dan pelan. Hal lain,
harapan orang tua yang tertumpu pada anaknya.
Orang tua menginginkan anaknya
lebih baik darinya. Anak bisa belajar dari kisah hidup orang tua, dan
menjadikan lecutan untuk berusaha segigih mungkin. Agar tak sama dengan orang
tua. Lebih baik tentunya.
Semoga Pak De dan Bu De
dimurahkan jalan rezkinya. Dikabulkan cita-citanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar