Senin, 01 Oktober 2012

Menebus Ambisi

Ditulis: Ambaryani
“Bapak, Ibu kita bisa buktikan pada semua, aku bisa bekerja di kantoran.”
Suara Mira bulat dan berambisi saat dia pulang dan menunjukkan surat kabar lokal yang mencantumkan namanya disalah satu halaman pengumuman penerimaan karyawan disebuah instansi. Mira mengikuti tes di sebuah kantor di kota tempat domisilinya. Dia, terlebih orang tuanya sangat menginginkan hal itu.
Menurut mereka, bekerja di kantoran adalah impian banyak orang. Dan hal itu juga menjadi mimpi Mira dan keluarganya. Berseragam rapi, dengan sepatu mengkilap, dan bekerja di ruang berAC. Terlebih Mira baru saja menyandang gelar sarjana Strata 1. Gengsi jika harus bekerja sembarangan.
Karena ambisi dan ingin menjaga gengsi, Mira dan keluarga berpikir praktis. Apapun, asalkan Mira dapat bekerja kantoran, akan dilakukan. Ayah Mira memutuskan menjual tanah warisan miliknya. Uang hasil penjualannya digunakan sebagai pembuka jalan, agar anaknya dipastikan lulus tes dan bisa langsung bekerja. Tanpa harus menghadapi persaingan dan penyeleksian. Tes yang dilakukan Mira, hanya formalitas saja.
“Tidak sia-sia Bapak menjual tanah warisan dari kakekmu Mir,” kata Ayah Mira dengan senyum mengembang saat melihat nama anaknya tercantum di koran tersebut.
“Iya Pak. Mira juga mau terima kasih ke Bapak, karena Bapak membantu Mira.”
Tara, Ibu Mira tersenyum kecil, karena sejak awal sebenarnya wanita itu tidak menyetujui rencana suami serta anaknya itu. Tapi, keduanya tidak menghiraukan peringatannya. Diapun tak bisa berbuat banyak. Mira memang lebih kompak dengan ayahnya.
“Ibu, lihatlah! Anak Ibu akan segera bekerja di kantoran Bu. Ibu bahagia?,” Mira menghampiri Ibunya yang lebih banyak diam.
“Iya nak, Ibu bahagia,” jawab Tara datar.
Bu Tara melepaskan tangan Mira yang memegang pundaknya dan pergi ke kamar. Dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dia khawatir dengan tindakan suami dan anaknya. Tapi semuanya sudah terjadi. Tak lama kemudian Sadat menghampiri istrinya yang termenung di kamarnya.
“Ibu kenapa, tidak senang Mira lulus kerja?.”
“Ibu bukannya tidak senang Pak. Tapi Ibu takut, ini salah. Seharusnya kita tidak melakukan hal ini.”
“Ibu jangan terlalu khawatir. Banyak yang melakukan ini Bu. Bukan hanya kita, dan kalau tidak begini, kapan anak kita akan bisa bekerja di kantoran? Ibu harusnya bersyukur! Bukan malah sebaliknya”.
Lagi-lagi Sadat marah jika Tara mengingatkannya. Menurut Sadat, cara ini sudah lazim dilakukan. Bukan rahasia lagi. Banyak yang mengambil jalan pintas seperti dirinya. Dan hingga kini, yang melakukan hal itu hidup makmur tak ada apaun yang terjadi.
Sadat silau dengan sesuatu yang bersifat sementara. Sehingga dia tak sadar sedang mengali lubang jebakan yang sewaktu-waktu siap membuatnya terjerembab jauh.
Sadat langsung membuatkan syukuran besar-besaran, mengundang seluruh keluarga besarnya, warga setempatpun hampir semua mengetahui kabar gembira keluarga Sadat. Tak jauh berbeda dengan ayahnya, Mira kemudian menyusun mimpi-mimpi setelah dia bekerja nanti. Banyak yang mau Mira kejar.
6 bulan kemudian, belum ada tanda-tanda Mira akan segera bekerja. Malah, banyak kabar beredar jika oknum di instansi tersebut ketahuan ‘main-main’ saat penerimaan tenaga kerja. Dan temuan itu diperkarakan. Semua tenaga kerja yang sudah dinyatakan lulus, tak juga dipekerjakan.
Sejak beredarnya kabar tersebut, Ayah Mira mulai ketakutan. Kian hari, Sadat kian menutup diri dan murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Makanpun, sudah tidak teratur. Hanya radio satu-satunya hiburan Sadat dalam kemurungannya. Kesehatan Sadat mulai menurun. Tara mulai khawatir melihat kondisi suaminya.
“Pak, kita ke rumah sakit ya? Biar Bapak lekas sembuh,” Tara mendekati suaminya yang terbaring lemah di kamarnya.
“Ndak Bu, Bapak hanya butuh istirahat di rumah”.
Mira yang awalnya hanya menunggu waktu untuk bekerja dikantoran, sudah mulai patah arang. Dia ketar-ketir dengan kabar yang sedang hangat. Tapi, dia bisa lebih tenang menghadapi hal itu dibanding ayahnya.
Diapun tak tinggal diam. Terlebih melihat kenyataan kesehatan ayahnya kian hari kian menurun. Kondisi perekonmian keluarganya juga semakin memburuk. Ayahnya butuh pengobatan. Mira memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan modal ijazah S1nya. Walaupun tak tergolong gampang, Mira juga tak begitu sulit mendapatkan pekerjaan dengan basic pendidikan akuntansinya.
Mira diterima menjadi akuntan di kantor perusahaan Sawit yang terpusat di kotanya. Dia juga menerima pelatihan khusus (privat), instansi yang mengirimkan pegawainya untuk dilatih sistem akuntan.
Penghasilan Mira menjadi penopang ekonomi keluarganya. Apa lagi setelah ayahnya sudah sakit-sakitan. Miralah tulang punggung keluarga itu. Mira sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi pada, terlebih mengenai kasusnya di sebuah instansi yang dulu pernah menjadi tumpuan mimpinya. Saat di rumah, Mira telaten mengurus ayahnya.
“Pak, lekas sembuh ya! Mira sekarang sudah kerja di kantoran Pak. Mira mau Bapak lekas sembuh,” kata Mira sambil mengelus kening ayahnya uang sudah dipenuhi kerutan.
Mata Sadat berkaca-kaca mendengar perkataan Mira. Dia semakin merasa bersalah telah mengajari anaknya dengan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ayah. Ditatapnya anak semata wayang yang duduk di samping ranjangnya. Dia tak sanggup berbicara. Suaranya tercekat.
Tak ada tanda-tanda Sadat akan segera sembuh. Tara dan Mira tak bisa memaksa laki-laki yang mereka sayangi untuk ke rumah sakit. Mereka mengalah, memboyong dokter ke rumah mereka untuk memeriksa kondisi Sadat.
“Bu, sudahlah! Jangan bawa dokter ke rumah lagi. Kasian Mira”.
“Bapak jangan pikir macam-macam! Yang penting kami semua mau Bapak cepat sembuh”.
“Ibu, tolong pangilkan Mira!” Sadat tak menghiraukan saran istrinya.Tara bergegas mencari Mira anaknya. Dan tak lama kemudian Tara kembali lagi mengandeng anaknya.
“Ada apa Pak? Ini Mira.”
“Mira, kamu sehat nak? Maafkan Bapak karena Bapak sudah membantumu dengan jalan yang tidak benar. Maafkan Bapak juga Bu, karena Bapak tidak menghiraukan nasehat Ibu.”
“Sudahlah Pak, jangan dipikirkan hal itu. Semuanya sudah terjadi, kita akan hadapi sama-sama,” Tara mencoba tegar didepan suaminya yang sudah tak berdaya dan anaknya yang menangis sesegukan sambil mengengam erat tangan ayahnya.
“Terima kasih Bu. Mira...dengarkanlah suara hatimu nak! Jangan kau ulangi lagi hal ini! Jangan kau ikuti kebodohan Bapak.”
“Mira janji, tidak akan mengulanginya lagi Pak. Mira akan buat Bapak dan Ibu bangga dengan cara benar. Bapak harus sembuh.”
Hingga suatu hari Mira mendapat kabar dari pemberitaan media cetak dan elektronik lokal mengenai kasus yang juga menimpanya di instansi yang telah mencadi calon kantornya dulu. Semua yang sudah dinyatakan lulus menjadi pegawai tetap, dibatalkan.
Mira sudah benar-benar siap akan kemungkinan itu. Toh hal itu sudah tersiar cukup lama, dan diapun sudah mendapatkan kerja yang bisa dijadikannya tumpuan hidup. Dia benar-benar bisa memaknai hal tersebut sebagai peringatan, agar dia tak melakukan hal itu kemudian hari.
“Nak, anggap ini alaram agar kau bisa lebih bijak bertindak dikemudian hari. Lakukan sesuatu yang sesuai dengan ketentuan. Berusahalah layaknya usaha orang-orang yang selalu berada di titian yang benar”, Ibu Tara menguatkan Mira.
“Iya Buk, Mira juga mengangap ini sebagai bentuk kasih sayang Tuhan pada Mira dan keluarga kita. Tuhan langsung menegur Mira, saat Mira khilaf dalam bertindak, dan Mira ta larut lebih jauh”, jawab Mira bijaksana.
“Ibu bersyukur semua ini tidak berkelanjutan. Bahkan Mira tau bukan, Ibu tidak setuju dengan yang Mira dan Bapak lakukan?”
“Iya, Mira tau Ibu tidak setuju. Tapi, demi kebaikan Bapak, cukup kita yang tahu Bu. Jangan sampai Bapak mendengar hal ini. Mira khawatir kondisi Bapak akan memburuk”. Keduanya sepakat sebisa mungkin agar Sadat tak mengetahui akan hal itu.       
Saat Sadat sedang di rumah sendiri, Mira sudah pergi kerja sedangkan Tara belum pulang dari belanja. Sadat memutar chun on radionya. Di ingin membunuh rasa jenuh yang menderanya. Di putar-putarnya tombol besar pencari chanel. Hingga dia mendapatkan chanel yang dimaunya. Sadat mendengarkan hiburan itu sambilcberbaring di tempat tidur. Dia hampir terlelap ddengan alunan lagu-lagu di radio. Tiba-tiba sadat kaget dan bangkit dari tempat tidur. Dia membesarkan volume radionya.
WARTA BERITA
Calon Pegawai PT. Sido Mulyo harus menggigit jari. Hal ini terjadi lantaran, tertangkapnya oknum yang menerima uang demi kelulusan calon pegawai, setelah salah satu peserta tes yang menghendus adanya kecurangan di PT tersebut. Akhirnya, seluruh pegawai yang telah dinyatakan lulus, dibatalkan. Dan PT. Sido Mulyo sedang di perkarakan di pengadilan.
Belum juga selesai Warta Berita di radio itu, Sadat sudah terkulai di tempat tidur. Dia kaget bukan kepalang. Sejak hari itu, kondisi kesehatan Sadat semakin memburuk. Dia dihantui rasa takut akan kesalahannya sendiri. Dia menyesali perbuatannya, yang tak menghiraukan kata hatinya.



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar