“Bapak,
Ibu kita bisa buktikan pada semua, aku bisa bekerja di kantoran.”
Suara
Mira bulat dan berambisi saat dia pulang dan menunjukkan surat kabar lokal yang
mencantumkan namanya disalah satu halaman pengumuman penerimaan karyawan
disebuah instansi. Mira mengikuti tes di sebuah kantor di kota tempat
domisilinya. Dia, terlebih orang tuanya sangat menginginkan hal itu.
Menurut
mereka, bekerja di kantoran adalah impian banyak orang. Dan hal itu juga
menjadi mimpi Mira dan keluarganya. Berseragam rapi, dengan sepatu mengkilap, dan
bekerja di ruang berAC. Terlebih Mira baru saja menyandang gelar sarjana Strata
1. Gengsi jika harus bekerja sembarangan.
Karena
ambisi dan ingin menjaga gengsi, Mira dan keluarga berpikir praktis. Apapun,
asalkan Mira dapat bekerja kantoran, akan dilakukan. Ayah Mira memutuskan
menjual tanah warisan miliknya. Uang hasil penjualannya digunakan sebagai pembuka
jalan, agar anaknya dipastikan lulus tes dan bisa langsung bekerja. Tanpa harus
menghadapi persaingan dan penyeleksian. Tes yang dilakukan Mira, hanya
formalitas saja.
“Tidak
sia-sia Bapak menjual tanah warisan dari kakekmu Mir,” kata Ayah Mira dengan
senyum mengembang saat melihat nama anaknya tercantum di koran tersebut.
“Iya
Pak. Mira juga mau terima kasih ke Bapak, karena Bapak membantu Mira.”
Tara,
Ibu Mira tersenyum kecil, karena sejak awal sebenarnya wanita itu tidak
menyetujui rencana suami serta anaknya itu. Tapi, keduanya tidak menghiraukan
peringatannya. Diapun tak bisa berbuat banyak. Mira memang lebih kompak dengan
ayahnya.
“Ibu,
lihatlah! Anak Ibu akan segera bekerja di kantoran Bu. Ibu bahagia?,” Mira
menghampiri Ibunya yang lebih banyak diam.
“Iya
nak, Ibu bahagia,” jawab Tara datar.
Bu
Tara melepaskan tangan Mira yang memegang pundaknya dan pergi ke kamar. Dia
bingung dengan pikirannya sendiri. Dia khawatir dengan tindakan suami dan
anaknya. Tapi semuanya sudah terjadi. Tak lama kemudian Sadat menghampiri
istrinya yang termenung di kamarnya.
“Ibu
kenapa, tidak senang Mira lulus kerja?.”
“Ibu
bukannya tidak senang Pak. Tapi Ibu takut, ini salah. Seharusnya kita tidak
melakukan hal ini.”
“Ibu
jangan terlalu khawatir. Banyak yang melakukan ini Bu. Bukan hanya kita, dan
kalau tidak begini, kapan anak kita akan bisa bekerja di kantoran? Ibu harusnya
bersyukur! Bukan malah sebaliknya”.
Lagi-lagi
Sadat marah jika Tara mengingatkannya. Menurut Sadat, cara ini sudah lazim
dilakukan. Bukan rahasia lagi. Banyak yang mengambil jalan pintas seperti
dirinya. Dan hingga kini, yang melakukan hal itu hidup makmur tak ada apaun
yang terjadi.
Sadat
silau dengan sesuatu yang bersifat sementara. Sehingga dia tak sadar sedang
mengali lubang jebakan yang sewaktu-waktu siap membuatnya terjerembab jauh.
Sadat
langsung membuatkan syukuran besar-besaran, mengundang seluruh keluarga
besarnya, warga setempatpun hampir semua mengetahui kabar gembira keluarga
Sadat. Tak jauh berbeda dengan ayahnya, Mira kemudian menyusun mimpi-mimpi setelah
dia bekerja nanti. Banyak yang mau Mira kejar.
6 bulan
kemudian, belum ada tanda-tanda Mira akan segera bekerja. Malah, banyak kabar
beredar jika oknum di instansi tersebut ketahuan ‘main-main’ saat penerimaan
tenaga kerja. Dan temuan itu diperkarakan. Semua tenaga kerja yang sudah
dinyatakan lulus, tak juga dipekerjakan.
Sejak
beredarnya kabar tersebut, Ayah Mira mulai ketakutan. Kian hari, Sadat kian
menutup diri dan murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Makanpun,
sudah tidak teratur. Hanya radio satu-satunya hiburan Sadat dalam
kemurungannya. Kesehatan Sadat mulai menurun. Tara mulai khawatir melihat
kondisi suaminya.
“Pak,
kita ke rumah sakit ya? Biar Bapak lekas sembuh,” Tara mendekati suaminya yang
terbaring lemah di kamarnya.
“Ndak
Bu, Bapak hanya butuh istirahat di rumah”.
Mira
yang awalnya hanya menunggu waktu untuk bekerja dikantoran, sudah mulai patah
arang. Dia ketar-ketir dengan kabar yang sedang hangat. Tapi, dia bisa lebih
tenang menghadapi hal itu dibanding ayahnya.
Diapun
tak tinggal diam. Terlebih melihat kenyataan kesehatan ayahnya kian hari kian
menurun. Kondisi perekonmian keluarganya juga semakin memburuk. Ayahnya butuh
pengobatan. Mira memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan modal ijazah S1nya. Walaupun
tak tergolong gampang, Mira juga tak begitu sulit mendapatkan pekerjaan dengan
basic pendidikan akuntansinya.
Mira
diterima menjadi akuntan di kantor perusahaan Sawit yang terpusat di kotanya. Dia
juga menerima pelatihan khusus (privat), instansi yang mengirimkan pegawainya
untuk dilatih sistem akuntan.
Penghasilan
Mira menjadi penopang ekonomi keluarganya. Apa lagi setelah ayahnya sudah
sakit-sakitan. Miralah tulang punggung keluarga itu. Mira sudah pasrah dengan
apapun yang akan terjadi pada, terlebih mengenai kasusnya di sebuah instansi
yang dulu pernah menjadi tumpuan mimpinya. Saat di rumah, Mira telaten mengurus
ayahnya.
“Pak,
lekas sembuh ya! Mira sekarang sudah kerja di kantoran Pak. Mira mau Bapak
lekas sembuh,” kata Mira sambil mengelus kening ayahnya uang sudah dipenuhi
kerutan.
Mata
Sadat berkaca-kaca mendengar perkataan Mira. Dia semakin merasa bersalah telah
mengajari anaknya dengan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ayah.
Ditatapnya anak semata wayang yang duduk di samping ranjangnya. Dia tak sanggup
berbicara. Suaranya tercekat.
Tak
ada tanda-tanda Sadat akan segera sembuh. Tara dan Mira tak bisa memaksa
laki-laki yang mereka sayangi untuk ke rumah sakit. Mereka mengalah, memboyong
dokter ke rumah mereka untuk memeriksa kondisi Sadat.
“Bu,
sudahlah! Jangan bawa dokter ke rumah lagi. Kasian Mira”.
“Bapak
jangan pikir macam-macam! Yang penting kami semua mau Bapak cepat sembuh”.
“Ibu,
tolong pangilkan Mira!” Sadat tak menghiraukan saran istrinya.Tara bergegas
mencari Mira anaknya. Dan tak lama kemudian Tara kembali lagi mengandeng
anaknya.
“Ada
apa Pak? Ini Mira.”
“Mira,
kamu sehat nak? Maafkan Bapak karena Bapak sudah membantumu dengan jalan yang
tidak benar. Maafkan Bapak juga Bu, karena Bapak tidak menghiraukan nasehat
Ibu.”
“Sudahlah
Pak, jangan dipikirkan hal itu. Semuanya sudah terjadi, kita akan hadapi
sama-sama,” Tara mencoba tegar didepan suaminya yang sudah tak berdaya dan
anaknya yang menangis sesegukan sambil mengengam erat tangan ayahnya.
“Terima
kasih Bu. Mira...dengarkanlah suara hatimu nak! Jangan kau ulangi lagi hal ini!
Jangan kau ikuti kebodohan Bapak.”
“Mira
janji, tidak akan mengulanginya lagi Pak. Mira akan buat Bapak dan Ibu bangga
dengan cara benar. Bapak harus sembuh.”
Hingga
suatu hari Mira mendapat kabar dari pemberitaan media cetak dan elektronik
lokal mengenai kasus yang juga menimpanya di instansi yang telah mencadi calon
kantornya dulu. Semua yang sudah dinyatakan lulus menjadi pegawai tetap,
dibatalkan.
Mira
sudah benar-benar siap akan kemungkinan itu. Toh hal itu sudah tersiar cukup
lama, dan diapun sudah mendapatkan kerja yang bisa dijadikannya tumpuan hidup. Dia
benar-benar bisa memaknai hal tersebut sebagai peringatan, agar dia tak
melakukan hal itu kemudian hari.
“Nak,
anggap ini alaram agar kau bisa lebih bijak bertindak dikemudian hari. Lakukan
sesuatu yang sesuai dengan ketentuan. Berusahalah layaknya usaha orang-orang
yang selalu berada di titian yang benar”, Ibu Tara menguatkan Mira.
“Iya
Buk, Mira juga mengangap ini sebagai bentuk kasih sayang Tuhan pada Mira dan
keluarga kita. Tuhan langsung menegur Mira, saat Mira khilaf dalam bertindak,
dan Mira ta larut lebih jauh”, jawab Mira bijaksana.
“Ibu
bersyukur semua ini tidak berkelanjutan. Bahkan Mira tau bukan, Ibu tidak
setuju dengan yang Mira dan Bapak lakukan?”
“Iya,
Mira tau Ibu tidak setuju. Tapi, demi kebaikan Bapak, cukup kita yang tahu Bu.
Jangan sampai Bapak mendengar hal ini. Mira khawatir kondisi Bapak akan
memburuk”. Keduanya sepakat sebisa mungkin agar Sadat tak mengetahui akan hal
itu.
Saat
Sadat sedang di rumah sendiri, Mira sudah pergi kerja sedangkan Tara belum
pulang dari belanja. Sadat memutar chun on radionya. Di ingin membunuh
rasa jenuh yang menderanya. Di putar-putarnya tombol besar pencari chanel. Hingga
dia mendapatkan chanel yang dimaunya. Sadat mendengarkan hiburan itu
sambilcberbaring di tempat tidur. Dia hampir terlelap ddengan alunan lagu-lagu di
radio. Tiba-tiba sadat kaget dan bangkit dari tempat tidur. Dia membesarkan
volume radionya.
WARTA
BERITA
Calon
Pegawai PT. Sido Mulyo harus menggigit jari. Hal ini terjadi lantaran,
tertangkapnya oknum yang menerima uang demi kelulusan calon pegawai, setelah
salah satu peserta tes yang menghendus adanya kecurangan di PT tersebut.
Akhirnya, seluruh pegawai yang telah dinyatakan lulus, dibatalkan. Dan PT. Sido
Mulyo sedang di perkarakan di pengadilan.
Belum
juga selesai Warta Berita di radio itu, Sadat sudah terkulai di tempat tidur. Dia
kaget bukan kepalang. Sejak hari itu, kondisi kesehatan Sadat semakin memburuk.
Dia dihantui rasa takut akan kesalahannya sendiri. Dia menyesali perbuatannya, yang
tak menghiraukan kata hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar