Minggu, 14 Oktober 2012

Hiburan Pelepas Lelah

Ditulis: Ambaryani
Saya sambil senyum-senyum melihat ikan nila yang baru saya beli dan saya lepaskan di kolam belakang rumah saya. Karena baru dalam tahap mencoba, saya hanya membeli empat ekor. Yang 3, sudah sebesar tiga jari. Yang satu lagi, masih agak kecil. Kalau keempat ikan ini sukses, tentu akan ditambah lebih banyak.
Ikan-ikan itu berenang-renang sambil memakan lumut dipermukaan air. Baru beberapa menit saya sendiri yang melepas ikan itu, saya sudah menengoknya kembali. Mengecek, kondisi ikan. Khawatir ikan tidak cocok dengan airnya. Tapi saat saya melihat, saya senang bukan kepalang, ternyata ikan-ikan itu bisa beradabtasi dengan tempat barunya.
Sayapun memanggil emak yang sedang menjemur bantal. Saya menunjuk ikan-ikan itu. Emakpun nampak senang melihat kolam sudah ada ikannya.
Sebenarnya, kolam ini sudah lama saya dan suami buat. Ini memang keinginan kami berdua yang baru bisa terlaksana. Rentang kolam digali sampai dilepas ikan juga agak lama. tujuannya, agar air kolam stabil dulu. Suami saya yang kelihatan sudah tidak sabar melihat kolam itu berisi ikan.
Katanya, sudah tidak sabar pulang kerja atau saat menunggu saya memasak nyantai dibelakang rumah sambil memberi makan ikan. Itu salah satu obat mujarab pelepas lelah menurut suami. Selain kolam ikan, beberapa tanaman di sekeliling rumah juga menjadi hiburan tersendiri. Ada...saja yang dikerjakan setibanya di rumah. Walaupun sudah seharian kerja.
Halaman rumah yang tak seberapa luasnya, sudah penuh tanaman. Ada buah-buahan, ubi, rosela, kangkung, dan lain-lain. Malah sekarang, agak bingung dimana lagi akan menanam tanaman yang baru kami semai. Gairah untuk nanam-menanam tumbuh terus. Apa lagi saat melihat tanaman-tanaman buah kami perkembangannya lumayan bagus. Ah, rasanya itu menjadi semangat makin bertambah.
Kami membayangkan, beberapa tahun kemudian, rumah kami akan rimbun dan hijau dengan tanaman produktif. Kami akan memanen buahnya. Begitu juga dengan kolam ikan. Setelah ikan-ikan besar, paliang tidak seminggu sekali kami bisa menikmati ikan segar yang kami pelihara sendiri.
Lebih dari semua itu. Kami sangat menikmati kegiatan ini. Ini mendatangnkan perasaan senang tersendiri. Kami mengisi waktu luang dengan sisa-sisa tenaga setelah bekerja. Tapi, hasil dan rasa puasnya, melaumpaui harapan kami. Mungkin ini yang dinamakan kepuasan.
Tanaman-tanaman buah itu, tak hanya kami yang bisa menikmati. Bahkan sampai anak cucu kami nanti. Tentunya kami tak ingin anak cucu hanya bisa menikmati tanpa merasa memiliki. Kami ingin mereka merasa memiliki, sehingga mereka mencintai dan meneruskan semangat kami. Mereka bisa membuat lingkungan hijau.


Jumat, 05 Oktober 2012

Bu De


Ditulis: Ambaryani
Malam itu, aku baru selesai mengajar privat. Sebelum pulang, aku mampir ke warung di ujung pertigaan komplek ujung Kota Baru. Kedua adikku memintaku membelikan mereka es mambo. Biasa, aku membeli di warung itu. sebut saja warung Pak De. Karena pembeli di warung itu, rata-rata memanggil pemiliknya Pak De dan Bu De.
“Es mambonya masih Bu De?”, tanyaku pada Bu De yang sedang menyapu di depan warungnya. Menjelang jam 8 malam, Pak De atau Bu De memang sudah mulai mengemas warungnya. Sudah lelah pastinya. Karena warung sembako itu buka sejak dini hari. Pastinya start sejak subuh. Berbelanja syuran dan lain-lain. Kedua suami istri ini berbagi tugas. Salah satunya mengemas warung, dan menjaga anaknya yang masih 2 atau 3 tahun. Ini perkiraanku.
“Ada...”, jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Ada anak bujangnya yang sedang duduk di kursi depan warung. Ntah apa tema pembicaraan Ibu dan anak ini. Intinya, sang anak menceritakan pada Ibunya perihal pekerjaan.
Sembari aku memilih-milih es sesuai rasa yang dipesan kedua adikku, kusimak pembicaraan mereka berdua.
“Itulah kalau kerja sama orang. Apa lagi mamak dulu waktu masih kerja di pabrik. Kerja ndak boleh telat, harus kejar target, ikut gerak mesin. Makanya mamak kerja, buka usaha sendiri”, kata Bu De yang sudah selesai menyapu dan berdiri dan siap menghitung es yang kubeli.
“Enak usaha sendiri ya Bu De? Ndak jadi anak buah terus?” aku menimpal pembicaraan, karena Bu De berbicara sambil menghadapku. Seolah pembicaraannya (ceritanya) ingin dibaginya denganku.
“Iya, dulu Bu De 20 tahun kerja di pabrik triplek, apa nama pabriknya dulu tu..”, kata Bu De mengenang masa-masa sulitnya dulu.
“Barito”, anaknya menyambung dengan cepat. Mungkin, sang anak sudah mendapat cerita perjalanan hidup ibunya. Sampai-sampai dia masih lekat dengan tempat bekerja ibunya dulu.   
“Iya Barito, yang di Kuala 2 dulu”.
Wanita dengan badan subur, berambut pendek setelinga, dengan potongan mirip dora, bercela pendek dibawah lutut, berkaos putih, yang warnannya sudah tak terlalu cerah itu melanjutkan pembicaraanya.
“Maklumlah, orang tua ndak mampu. Habis SD langsung kerja, berhenti sampai hamilnya dia”. Bu De sambil menunjuk anak sulungnya yang diajaknya bincang-bincang tadi.  
“Sekarang dah gulung tikar ya Bu De?” kataku dengan nada bergurau.
“Itulah, untungnya sebelum berhenti dulu, saya udah beli rumah ini.”
Pembicaraan kami terputus saat ada konsumen lain datang. Bu De segera melayani. Pak De dan Bu De memang penjual yang ramah. Belum lama aku berbelanja di warung ini. Baru berjalan 2 bulan saat itu. itupun, tidak setiap hari aku belanja di sana. Kadang-kadang.
Tapi, karena rasa kesukuan mungkin yang membuat Pak De dan Bu De seakan sudah mengenalku lebih lama dari nyatanya. Saat transaksi denganku, Bahasa Jawa yang kadang kami gunakan. Kadang juga pakai bahasa campur-campur.
Satu hal yang kupelajari dari apa yang kudengar malam itu. pembicaraan sederhana ibu dan anak yang kudengar sepintas lalau. Setiap orang menginginkan perubahan dalam hidupnya. Tentunya perubahan menuju hal yang lebih baik. Meskipun, sedikit dan pelan. Hal lain, harapan orang tua yang tertumpu pada anaknya.
Orang tua menginginkan anaknya lebih baik darinya. Anak bisa belajar dari kisah hidup orang tua, dan menjadikan lecutan untuk berusaha segigih mungkin. Agar tak sama dengan orang tua. Lebih baik tentunya.
Semoga Pak De dan Bu De dimurahkan jalan rezkinya. Dikabulkan cita-citanya.


Senin, 01 Oktober 2012

Saat Uang Bapak Tak Banyak Lagi

Ditulis: Ambaryani
Aku berlari menuju kamar teman kosku. Aku duduk bersila dihadapannya sambil menangis sesegukan. Mataku sudah membengkak. Temanku nampak heran melihatku. Dia hanya diam dengan kebingungannya. Dia membiarkanku menangis dihadapannya. Setelah hujan air mataku mereda, aku memulai pembicaraan.
“Ce, aku sedih...,” kataku dengan suara tersendat.
“Ada apa, sampai begini?”
“Hiks, hiks...,” air mataku kembali mengalir deras.
Temanku kembali terdiam sambil menepuk-nepuk punggungku saat aku kembali menangis.  Tak tahan rasanya mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.
Hari itu, aku mendapat sms dari Bapakku, yang menyuruhku mengunjunginya ke rumah Omku yang tinggal di HM. Swignyo. Tiap bulan orang tuaku mengirimkan beras dan uang jatah bulanan. Kalau tidak Bapak membawanya langsung ke Pontianak, Bapak biasanya menggunakan jasa bis.
Aku menangis karena hari itu, Bapak hanya memberiku sekarung beras 15 Kg dan uang Rp. 400.000. Uang itu jatah sebulan, yang akan kugunakan untuk membayar kos Rp. 200.000 dan sisanya untuk keperluan makan, bensin motor, pulsa, tugas-tugas kuliahku, dan keperluan lainnya.
Biasanya Bapak memberiku jatah Rp. 500.000 perbulan. Uang segitupun, jauh dari kata cukup. Aku sudah sangat menghemat. Aku juga menekan dalam-dalam keinginannku memiliki barang ini itu seperti yang dimiliki teman-temanku. Meskipun demikian, aku masih gali lobang, tutup lobang. Persediaan uangku akan menipis, ketika baru 15 hari berlalau. 15 hari mendatang, aku meminjam uang teman-teman terdekatku. Terlebih untuk keperluan tugasku yang tak bisa di tolerir. Begitu yang kulakukan selama ini.
Urusan makan sehari-hari, jangan ditanya. Aku benar-benar menerikkan ikat pinggang. Bahkan seminggu penghujung bulan, aku hanya bisa membuat sambal goreng tempe dan kacang yang kukira murah dan awet. Aku bisa sedikit mengirit. Kalau benar-benar sudah tidak ada uang ditangan, aku hanya membuat bubur nasi, yang kukasi garam dan kutaburi bawang goreng. Bahkan ada satu waktu aku hanya makan sekali dalam sehari.
Dengan jatah normal saja, aku sudah mati-matian dalam penggunaan uang. Apa lagi dikurangi Rp. 100.000. Aku sedih membayangkannya. Aku juga berpikir, kepada siapa lagi aku harus meminjam uang. Aku sudah menebalkan muka tiap bulan meminjam uang pada keempat teman dekatku di kampus.    
Orang tuaku petani. Bapak dulu bekerja di PT sawit di kampungku. Rasanya saat Bapak bekerja di PT dulu, banyak uangnya. Aku masih kecil dulu, tapi aku masih ingat betul akan hal itu. Selain bekerja di PT, Bapak juga membuka toko dan service elektronik di barak pekerja. Dan hasilnya, bisa dikatakan lebih dari cukup. Dulu, Bapak mampu membeli mobil exstrada.
Aku tak tau pasti mengapa Bapak tak lagi bekerja di PT. Dan setelah tak lagi menjadi karyawan PT, Bapak juga tak lagi membuka service elektornik. Kata Bapak, banyak singan. Kemudian, orang tuaku, membuka warung sembako di rumah. lumayan besar warungnya. Tapi, warung itupun tak ada lagi sekarang.
Bapak menanam sawit sendiri, dan mengandalkan karet (noreh). Tapi, lama kelamaan itu tak bisa menjadi andalan sumber ekonomi. Mobil yang kami punya dulu, akhirnya di jual karena Bapak rasa, dulu kami belum benar-benar membutuhkan mobil itu. Bapak kemudian nyopir truk barang milik omku yang domisili di Pontianak. Om Gio namanya.
Omku yang satu ini, terhitung sukses hidupnya. Dia sudah memiliki rumah di Pontianak, beberapa mobil truk dan membuka rumah kos. Dulu waktu aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah, Bapak sempat berniat agar aku kos di rumah Om Gio. Tapi, setelah kubanding-bandingkan dengan baya perbulan di kos lain, Om Gio mematok harga tinggi. Meskipun dia Omku, tapi aku diperlakukan sama dengan calon penghuni kos lainnya. Dan aku tak setuju dengan ide Bapak, dan aku mendapatkan tempat kos yang lain yang lebih nyaman dan sewa perbulannya terjangkau.
Saat uang Bapak lebih, dia tak terpikir untuk menabungnya. Tak terpikir, jika aku dan adik-adikku ingin sekolah tinggi-tinggi. Tak ada perencanaan. Uang yang lebih dulu, habis begitu saja. Dan sekarang, kami rasakan akibatnya.
Dulu aku hanya kuliah D2 PGSD. Setelah wisuda, aku sempat ngangur 1 tahun dan pulang kampung. Saat ngangur, aku berjualan es di rumah. Aku membuka warung kecil-kecilan. Aku juga noreh, ikut memanen sawit. Membantu orang tua dikebun, sudah biasa kulakukan sejak aku kecil dulu. Bahkan saat almarhumah nenekku masih hidup, aku dan nenek memanen cangkok manis yang kami tanam di kebun. Kemudian aku dan nenek menjajakkannya keliling kampung dengan jarai[1] yang digendong nenek. Setelah 1 tahun, aku ingin melanjutkan kuliahku, S1.
Aku sampaikan keinginannku pada orang tuaku. Pada Bapak terutama. Bapak tentu tak setuju. Terlebih dengan kondisi perekonomian kami yang jauh berubah dibanding dulu. Tapi aku tetap kekeh ingin melanjutkan kuliah.
Bahkan untuk mempengaruhi ketidak setujuan Bapak, aku berjanji akan kuliah sambil bekerja. Bapak memikirkan janjiku. Dan akhirnya menyetujui keinginanku, walaupun sebenarnya Bapak masih merasa keberatan. Aku lega. Walaupun belum terpikir akan bekerja apa saat sudah lanjut kuliah nanti.  
Hingga hampir 1 tahun aku kuliah, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Ijazah D2, kujadikan modal melamar kerjaan. Lebih 10 lamaran kumasukkan ke SD2 negeri maupun swasta. Tak hanya itu, aku juga memasukkan lamaran pekerjaan ke cafe-cafe juga kantin. Kupikir, pekerjaan asalkan halal akan kulakoni. Ini sudah janjiku. Janjiku pada Bapak yang harus kutepati.
Hampir bosan aku menulis lamaran dan mengantarkannya. Tapi, tak satupun yang berhasil. Setelah hampir bosan menunggu dan memutar otak, pekerjaan apa lagi yang harus kucari, ada panggilan dari kantin dan konter penjualan minyak wangi isi ulang. Pikirku, aku bisa pekerja pagi hingga siang. Karena aku masuk kuliah jam 1 siang.
Aku dipanggil dan diwawancara. Saat wawancara aku ditanya mahasiswa atau bukan? Kujawab jujur pertanyaan itu. Ternyata kejujuranku, tidak membuahkan hasil kali ini. Pemilik usaha, tak mau menerima aryawan yang sambil kuliah.
Aku juga mengajak Cece temanku untuk keliling kota Pontianak, mencari lowongan kerja. Belum juga berhasil. Hingga suatu pagi, saat aku baru saja libur akhir semester, aku putar-putar kota Pontianak dengan motor Vega hijauku. Aku tak sengaja, lewat Mall Matahari Pontianak. Pas didepannya terdapat rumah makan Seafood 88. Tertera LOWONGAN KERJA.
Aku yang memang sedang mencari-cari pekerjaan tentu saja girang bukan kepalang membaca tulisan itu. Awalnya aku ragu masuk ke restoran itu. Tapi, ini kesempatan yang selama ini kucari. Aku masuk dan menanyakannya. Tanpa berpikir, akan ditempatkan diposisi apa aku di restoran itu.
“Ada lowongan kerja ya?,” kataku dengan nada grogi yang mungkin terdengar oleh lawan bicaraku di restoran itu.
“Iya, ada,” jawab pelayan restoran. Kemudian dia mempertemukan aku dengan pemilik restoran.
Agak lama aku berbincang dengan si bos. Dia bertanya akan statusku. Kujawab, mahasiswa. Awalnya dia tak mau menerimaku menjadi karyawannya. Alasannya, tak boleh kerja paruh waktu, dan karyawannya harus tinggal dirumahnya, karena memang restoran itu dibuka didepan rumah bos. Dia malah memintaku untuk tidak kuliah lagi, hanya bekerja. Tentu saja itu kutolak. Dan kujelaskan, aku akan bekerja penuh dan memenuhi syaratnya karena aku sedang libur 3 bulan. Bosku juga setuju.
3 bulan aku bekerja menjadi pelayan restoran plus pembantu rumah tangga bos. Memang gajinya tak sebanding dengan pekerjaan yang kulakukan. Tapi, itu cukup membantu kodisi keuanganku. Aku tak memberitahu orang tuaku, perihal pekerjaan itu.
Setelah kuliah aktif kembali, akupun berhenti bekerja. Sejak berhenti, aku kembali ke kos lamaku. Aku sudah membicarakan hal itu sebelumnya pada ibu kos. Setelah berhenti, aku kembali mencari-cari pekerjaan.
Lamaran yang kukirim ke sekolah-sekolah, tak ada yang goal. Sedih sebenarnya. Ijazah D2ku, ternyata belum bisa menjadi modal kuat untuk mendapatkan pekerjaan. Akhir 2008, aku ikut seleksi CPNS. Tapi, aku gagal. Aku sanggat berharap namaku tertera di media cetak yang yang memuat pengumuman itu. Hasilnya nihil, dan aku pulang. Hilang semangatku saat itu. Lagi-lagi aku menangis dihadapan Cei. Aku kembali kebingungan mengatur jatah uang yang tak seberapa.
Teman-teman kosku, tahu persis akan keadaanku itu. Terlebih Cei. Aku lebih terbuka dengannya, bahkan hingga masalah keuanganku. Dia juga mengerti itu. Suatu hari saat dia melihatku hanya membuat bubur, dia tanggap akan kondisiku.
“Kalau tak ada beras atau apa, bilang! Jangan diam-diam. Kalau aku ada, pakai dulu. Kalau ada waktunya kau yang ada, saling bantu kita,” kata Cei mengesalkan karena aku tak terbuka dengannya saat itu.
Aku hanya menjawab ‘Iya’. Cei pasti tahu, kalau sebenarnya aku malu terlalu sering pinjam sana-sini.  
Arin teman kosku yang lain ternyata mencarikanku pekerjaan. Dia prihatin melihat kondisiku. Dia juga tahu, aku mau melakukan pekerjaan apapun asal halal. Koko bos Arin sedang membutuhkan pembantu rumah tangga, dan dia menawarkanku pada bosnya.
Akupun kembali menjadi pembantu sambil kuliah. Tak hanya itu, aku juga menjadi buruh cuci setrika setiap hari minggu. Awal menjadi pembantu Koko, aku hanya meerima Rp. 10.000 per hari. Setelah beberapa bulan, kemudian Koko menaikkan gajiku Rp. 15.000. Aku digaji berdasarkan absen. Semakin rajin aku kerja, semakin banyak gaji yang kuterima.
Subuh jam 4.30, saat orang lain masih terlelap, aku sudah mulai bekerja. Jam 6, pekerjaanku sudah beres. Begitu kujalani dari akhir 2009. Dan itu membantuku. Hampir bersamaan dengan aku menjadi pembantu, ada lagi pembukaan CPNS di akhir tahun 2009.
Aku mencoba lagi. Aku tak berani terlalu berharap lagi. Jika aku lulus, itu memang sudah waktunya. Kalaupun tidak, kumencoba lapang dada. Walaupun tak kupungkiri akan ada kecewa. Aku lebih siap saat itu, jikapun aku tak lulus.
Puji Tuhan, saat mencoba lagi, keberhasilan berpihak padaku. Aku ingin melompat tinggi-tinggi. Memekik sekeras-kerasnya. Aku ingin semua orang tahu, aku bahagia. Orang tuaku, merasakan kebahgiaan itu juga. Kata Bapak, memang itu yang Bapak tunggu.
Cita-citaku menjadi guru di kota kini terwujud. Sebelumnya, banyak yang menawarkan padaku untuk mengajar di kampungku. Tapi, aku menolak.
Sebenarnya, guru bukan cita-citaku. Aku suka sesuatu yang berbau khayalan. Tapi, dulu saat aku SMA, tak ada pandangan akan hal itu. Yang kutahu, kuliah adanya jurusan guru. Pengetahuanku akan hal itu memang terbatas dulu.
Penghasilanku menjadi CPNS dengan golongan IIB, tak bisa kuandalkan sepenuhnya. Apa lagi, setelah aku lulus CPNS, orang tuaku benar-benar cuci tangan dengan semua urusan keuangan. Bahkan hingga urusan kuliah. Gaji yang tak seberapa itu, harus cukup untuk membayar kos, kridit motor, kebutuhan hari-hariku, dan aku juga harus menabung untuk membayar uang daftar ualng setiap semester.
Akupun memutuskan untuk melanjutkan profesiku, menjadi pembantu di rumah Koko. Biarlah orang bilang apa. Persetan dengan gengsi. Gengsi tak bisa memenuhi kebutuhan hidupku.
Bahkan tetangga Koko yang sudah mengenalku, agak heran jika melihatku ke rumah Koko dengan baju dinas. Mungkin mereka heran melihat, pegawai tapi masih saja menjadi pembantu.
Dengan gaji pembantu itu, aku punya uang sedikit lebih. Yang bisa kugunakan untuk menganti bajuku yang sudah memudar warnnanya, yang sudah merapuh rajutan benangnya. Menganti sepatu ngajarku yang hanya itu-itu saja, memiliki beberapa gaun untuk ke sembayang Minggu.
Tuhan memberikan berkatnya padaku. Tuhan begitu sayang padaku. Dia memang menguji kesabaranku. Menempa keikhlasanku. Tuhan memberiku banyak berkat dari sudut yang tak kuduga. Dari tangan yang tak pernah kusangka akan menjadi jalan rezki-Nya turun padaku. Puji Tuhan.
Hari Minggu. Hari bermalas-malasan bagiku. Aku berbaring di kamar kosku sebelum bersiap-siap ke gereja.
“Hm...pakai baju yang mana ya?”, aku memilih baju yang tergantung dilemari yang tak seberapa jumlahnya. Pilihanku jatuh pada gaun ungu.
Aku bergegas mandi. Setelah mandi, kukenakan baju terbaik untuk menghadap Sang Maha Baik. Aku berdiri didepan cermin yang kuletakkan dipojok kamar. Kuperhatikan badanku yang sudah terbalut gaun selutut. Aku berputar-putar didepan cermin.
“Lenganku...”.
Kupegang lengan kiriku. Kusing-singkan lengan gaunku. Lenganku berotot. Bentuknya juga tak seindah lengan-lengan gadis lajang kebanyakan. Otot dilenganku saksi, betapa kerasnya usahaku untuk hidup. Kusyukuri, meski rasa iri diam-diam menyelinap saat melihat lengan lain yang langsing dan indah terbalut gaun.     


[1] Jarai: keranjang gendong  yang terbuat dari rotan dengan tali dari kulit kapuak, .

Menebus Ambisi

Ditulis: Ambaryani
“Bapak, Ibu kita bisa buktikan pada semua, aku bisa bekerja di kantoran.”
Suara Mira bulat dan berambisi saat dia pulang dan menunjukkan surat kabar lokal yang mencantumkan namanya disalah satu halaman pengumuman penerimaan karyawan disebuah instansi. Mira mengikuti tes di sebuah kantor di kota tempat domisilinya. Dia, terlebih orang tuanya sangat menginginkan hal itu.
Menurut mereka, bekerja di kantoran adalah impian banyak orang. Dan hal itu juga menjadi mimpi Mira dan keluarganya. Berseragam rapi, dengan sepatu mengkilap, dan bekerja di ruang berAC. Terlebih Mira baru saja menyandang gelar sarjana Strata 1. Gengsi jika harus bekerja sembarangan.
Karena ambisi dan ingin menjaga gengsi, Mira dan keluarga berpikir praktis. Apapun, asalkan Mira dapat bekerja kantoran, akan dilakukan. Ayah Mira memutuskan menjual tanah warisan miliknya. Uang hasil penjualannya digunakan sebagai pembuka jalan, agar anaknya dipastikan lulus tes dan bisa langsung bekerja. Tanpa harus menghadapi persaingan dan penyeleksian. Tes yang dilakukan Mira, hanya formalitas saja.
“Tidak sia-sia Bapak menjual tanah warisan dari kakekmu Mir,” kata Ayah Mira dengan senyum mengembang saat melihat nama anaknya tercantum di koran tersebut.
“Iya Pak. Mira juga mau terima kasih ke Bapak, karena Bapak membantu Mira.”
Tara, Ibu Mira tersenyum kecil, karena sejak awal sebenarnya wanita itu tidak menyetujui rencana suami serta anaknya itu. Tapi, keduanya tidak menghiraukan peringatannya. Diapun tak bisa berbuat banyak. Mira memang lebih kompak dengan ayahnya.
“Ibu, lihatlah! Anak Ibu akan segera bekerja di kantoran Bu. Ibu bahagia?,” Mira menghampiri Ibunya yang lebih banyak diam.
“Iya nak, Ibu bahagia,” jawab Tara datar.
Bu Tara melepaskan tangan Mira yang memegang pundaknya dan pergi ke kamar. Dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dia khawatir dengan tindakan suami dan anaknya. Tapi semuanya sudah terjadi. Tak lama kemudian Sadat menghampiri istrinya yang termenung di kamarnya.
“Ibu kenapa, tidak senang Mira lulus kerja?.”
“Ibu bukannya tidak senang Pak. Tapi Ibu takut, ini salah. Seharusnya kita tidak melakukan hal ini.”
“Ibu jangan terlalu khawatir. Banyak yang melakukan ini Bu. Bukan hanya kita, dan kalau tidak begini, kapan anak kita akan bisa bekerja di kantoran? Ibu harusnya bersyukur! Bukan malah sebaliknya”.
Lagi-lagi Sadat marah jika Tara mengingatkannya. Menurut Sadat, cara ini sudah lazim dilakukan. Bukan rahasia lagi. Banyak yang mengambil jalan pintas seperti dirinya. Dan hingga kini, yang melakukan hal itu hidup makmur tak ada apaun yang terjadi.
Sadat silau dengan sesuatu yang bersifat sementara. Sehingga dia tak sadar sedang mengali lubang jebakan yang sewaktu-waktu siap membuatnya terjerembab jauh.
Sadat langsung membuatkan syukuran besar-besaran, mengundang seluruh keluarga besarnya, warga setempatpun hampir semua mengetahui kabar gembira keluarga Sadat. Tak jauh berbeda dengan ayahnya, Mira kemudian menyusun mimpi-mimpi setelah dia bekerja nanti. Banyak yang mau Mira kejar.
6 bulan kemudian, belum ada tanda-tanda Mira akan segera bekerja. Malah, banyak kabar beredar jika oknum di instansi tersebut ketahuan ‘main-main’ saat penerimaan tenaga kerja. Dan temuan itu diperkarakan. Semua tenaga kerja yang sudah dinyatakan lulus, tak juga dipekerjakan.
Sejak beredarnya kabar tersebut, Ayah Mira mulai ketakutan. Kian hari, Sadat kian menutup diri dan murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Makanpun, sudah tidak teratur. Hanya radio satu-satunya hiburan Sadat dalam kemurungannya. Kesehatan Sadat mulai menurun. Tara mulai khawatir melihat kondisi suaminya.
“Pak, kita ke rumah sakit ya? Biar Bapak lekas sembuh,” Tara mendekati suaminya yang terbaring lemah di kamarnya.
“Ndak Bu, Bapak hanya butuh istirahat di rumah”.
Mira yang awalnya hanya menunggu waktu untuk bekerja dikantoran, sudah mulai patah arang. Dia ketar-ketir dengan kabar yang sedang hangat. Tapi, dia bisa lebih tenang menghadapi hal itu dibanding ayahnya.
Diapun tak tinggal diam. Terlebih melihat kenyataan kesehatan ayahnya kian hari kian menurun. Kondisi perekonmian keluarganya juga semakin memburuk. Ayahnya butuh pengobatan. Mira memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan modal ijazah S1nya. Walaupun tak tergolong gampang, Mira juga tak begitu sulit mendapatkan pekerjaan dengan basic pendidikan akuntansinya.
Mira diterima menjadi akuntan di kantor perusahaan Sawit yang terpusat di kotanya. Dia juga menerima pelatihan khusus (privat), instansi yang mengirimkan pegawainya untuk dilatih sistem akuntan.
Penghasilan Mira menjadi penopang ekonomi keluarganya. Apa lagi setelah ayahnya sudah sakit-sakitan. Miralah tulang punggung keluarga itu. Mira sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi pada, terlebih mengenai kasusnya di sebuah instansi yang dulu pernah menjadi tumpuan mimpinya. Saat di rumah, Mira telaten mengurus ayahnya.
“Pak, lekas sembuh ya! Mira sekarang sudah kerja di kantoran Pak. Mira mau Bapak lekas sembuh,” kata Mira sambil mengelus kening ayahnya uang sudah dipenuhi kerutan.
Mata Sadat berkaca-kaca mendengar perkataan Mira. Dia semakin merasa bersalah telah mengajari anaknya dengan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ayah. Ditatapnya anak semata wayang yang duduk di samping ranjangnya. Dia tak sanggup berbicara. Suaranya tercekat.
Tak ada tanda-tanda Sadat akan segera sembuh. Tara dan Mira tak bisa memaksa laki-laki yang mereka sayangi untuk ke rumah sakit. Mereka mengalah, memboyong dokter ke rumah mereka untuk memeriksa kondisi Sadat.
“Bu, sudahlah! Jangan bawa dokter ke rumah lagi. Kasian Mira”.
“Bapak jangan pikir macam-macam! Yang penting kami semua mau Bapak cepat sembuh”.
“Ibu, tolong pangilkan Mira!” Sadat tak menghiraukan saran istrinya.Tara bergegas mencari Mira anaknya. Dan tak lama kemudian Tara kembali lagi mengandeng anaknya.
“Ada apa Pak? Ini Mira.”
“Mira, kamu sehat nak? Maafkan Bapak karena Bapak sudah membantumu dengan jalan yang tidak benar. Maafkan Bapak juga Bu, karena Bapak tidak menghiraukan nasehat Ibu.”
“Sudahlah Pak, jangan dipikirkan hal itu. Semuanya sudah terjadi, kita akan hadapi sama-sama,” Tara mencoba tegar didepan suaminya yang sudah tak berdaya dan anaknya yang menangis sesegukan sambil mengengam erat tangan ayahnya.
“Terima kasih Bu. Mira...dengarkanlah suara hatimu nak! Jangan kau ulangi lagi hal ini! Jangan kau ikuti kebodohan Bapak.”
“Mira janji, tidak akan mengulanginya lagi Pak. Mira akan buat Bapak dan Ibu bangga dengan cara benar. Bapak harus sembuh.”
Hingga suatu hari Mira mendapat kabar dari pemberitaan media cetak dan elektronik lokal mengenai kasus yang juga menimpanya di instansi yang telah mencadi calon kantornya dulu. Semua yang sudah dinyatakan lulus menjadi pegawai tetap, dibatalkan.
Mira sudah benar-benar siap akan kemungkinan itu. Toh hal itu sudah tersiar cukup lama, dan diapun sudah mendapatkan kerja yang bisa dijadikannya tumpuan hidup. Dia benar-benar bisa memaknai hal tersebut sebagai peringatan, agar dia tak melakukan hal itu kemudian hari.
“Nak, anggap ini alaram agar kau bisa lebih bijak bertindak dikemudian hari. Lakukan sesuatu yang sesuai dengan ketentuan. Berusahalah layaknya usaha orang-orang yang selalu berada di titian yang benar”, Ibu Tara menguatkan Mira.
“Iya Buk, Mira juga mengangap ini sebagai bentuk kasih sayang Tuhan pada Mira dan keluarga kita. Tuhan langsung menegur Mira, saat Mira khilaf dalam bertindak, dan Mira ta larut lebih jauh”, jawab Mira bijaksana.
“Ibu bersyukur semua ini tidak berkelanjutan. Bahkan Mira tau bukan, Ibu tidak setuju dengan yang Mira dan Bapak lakukan?”
“Iya, Mira tau Ibu tidak setuju. Tapi, demi kebaikan Bapak, cukup kita yang tahu Bu. Jangan sampai Bapak mendengar hal ini. Mira khawatir kondisi Bapak akan memburuk”. Keduanya sepakat sebisa mungkin agar Sadat tak mengetahui akan hal itu.       
Saat Sadat sedang di rumah sendiri, Mira sudah pergi kerja sedangkan Tara belum pulang dari belanja. Sadat memutar chun on radionya. Di ingin membunuh rasa jenuh yang menderanya. Di putar-putarnya tombol besar pencari chanel. Hingga dia mendapatkan chanel yang dimaunya. Sadat mendengarkan hiburan itu sambilcberbaring di tempat tidur. Dia hampir terlelap ddengan alunan lagu-lagu di radio. Tiba-tiba sadat kaget dan bangkit dari tempat tidur. Dia membesarkan volume radionya.
WARTA BERITA
Calon Pegawai PT. Sido Mulyo harus menggigit jari. Hal ini terjadi lantaran, tertangkapnya oknum yang menerima uang demi kelulusan calon pegawai, setelah salah satu peserta tes yang menghendus adanya kecurangan di PT tersebut. Akhirnya, seluruh pegawai yang telah dinyatakan lulus, dibatalkan. Dan PT. Sido Mulyo sedang di perkarakan di pengadilan.
Belum juga selesai Warta Berita di radio itu, Sadat sudah terkulai di tempat tidur. Dia kaget bukan kepalang. Sejak hari itu, kondisi kesehatan Sadat semakin memburuk. Dia dihantui rasa takut akan kesalahannya sendiri. Dia menyesali perbuatannya, yang tak menghiraukan kata hatinya.