Ditulis:
Ambaryani
Aku
berlari menuju kamar teman kosku. Aku duduk bersila dihadapannya sambil menangis
sesegukan. Mataku sudah membengkak. Temanku nampak heran melihatku. Dia hanya
diam dengan kebingungannya. Dia membiarkanku menangis dihadapannya. Setelah hujan
air mataku mereda, aku memulai pembicaraan.
“Ce,
aku sedih...,” kataku dengan suara tersendat.
“Ada
apa, sampai begini?”
“Hiks,
hiks...,” air mataku kembali mengalir deras.
Temanku
kembali terdiam sambil menepuk-nepuk punggungku saat aku kembali menangis. Tak tahan rasanya mengingat kejadian beberapa
menit yang lalu.
Hari itu, aku mendapat sms dari Bapakku, yang menyuruhku mengunjunginya
ke rumah Omku yang tinggal di HM. Swignyo. Tiap bulan orang tuaku mengirimkan
beras dan uang jatah bulanan. Kalau tidak Bapak membawanya langsung ke Pontianak,
Bapak biasanya menggunakan jasa bis.
Aku menangis karena hari itu, Bapak hanya memberiku sekarung beras 15
Kg dan uang Rp. 400.000. Uang itu jatah sebulan, yang akan kugunakan untuk
membayar kos Rp. 200.000 dan sisanya untuk keperluan makan, bensin motor,
pulsa, tugas-tugas kuliahku, dan keperluan lainnya.
Biasanya Bapak memberiku jatah Rp. 500.000 perbulan. Uang
segitupun, jauh dari kata cukup. Aku sudah sangat menghemat. Aku juga menekan dalam-dalam
keinginannku memiliki barang ini itu seperti yang dimiliki teman-temanku. Meskipun
demikian, aku masih gali lobang, tutup lobang. Persediaan uangku akan menipis,
ketika baru 15 hari berlalau. 15 hari mendatang, aku meminjam uang teman-teman
terdekatku. Terlebih untuk keperluan tugasku yang tak bisa di tolerir. Begitu
yang kulakukan selama ini.
Urusan makan sehari-hari, jangan ditanya. Aku benar-benar
menerikkan ikat pinggang. Bahkan seminggu penghujung bulan, aku hanya bisa
membuat sambal goreng tempe dan kacang yang kukira murah dan awet. Aku bisa
sedikit mengirit. Kalau benar-benar sudah tidak ada uang ditangan, aku hanya
membuat bubur nasi, yang kukasi garam dan kutaburi bawang goreng. Bahkan ada
satu waktu aku hanya makan sekali dalam sehari.
Dengan jatah normal saja, aku sudah mati-matian dalam penggunaan
uang. Apa lagi dikurangi Rp. 100.000. Aku sedih membayangkannya. Aku juga
berpikir, kepada siapa lagi aku harus meminjam uang. Aku sudah menebalkan muka
tiap bulan meminjam uang pada keempat teman dekatku di kampus.
Orang tuaku petani. Bapak dulu bekerja di PT sawit di kampungku. Rasanya
saat Bapak bekerja di PT dulu, banyak uangnya. Aku masih kecil dulu, tapi aku
masih ingat betul akan hal itu. Selain bekerja di PT, Bapak juga membuka toko
dan service elektronik di barak pekerja. Dan hasilnya, bisa dikatakan
lebih dari cukup. Dulu, Bapak mampu membeli mobil exstrada.
Aku tak tau pasti mengapa Bapak tak lagi bekerja di PT. Dan setelah
tak lagi menjadi karyawan PT, Bapak juga tak lagi membuka service elektornik. Kata
Bapak, banyak singan. Kemudian, orang tuaku, membuka warung sembako di rumah.
lumayan besar warungnya. Tapi, warung itupun tak ada lagi sekarang.
Bapak menanam sawit sendiri, dan mengandalkan karet (noreh). Tapi,
lama kelamaan itu tak bisa menjadi andalan sumber ekonomi. Mobil yang kami
punya dulu, akhirnya di jual karena Bapak rasa, dulu kami belum benar-benar
membutuhkan mobil itu. Bapak kemudian nyopir truk barang milik omku yang
domisili di Pontianak. Om Gio namanya.
Omku yang satu ini, terhitung sukses hidupnya. Dia sudah memiliki
rumah di Pontianak, beberapa mobil truk dan membuka rumah kos. Dulu waktu aku
memutuskan untuk melanjutkan kuliah, Bapak sempat berniat agar aku kos di rumah
Om Gio. Tapi, setelah kubanding-bandingkan dengan baya perbulan di kos lain, Om
Gio mematok harga tinggi. Meskipun dia Omku, tapi aku diperlakukan sama dengan calon
penghuni kos lainnya. Dan aku tak setuju dengan ide Bapak, dan aku mendapatkan
tempat kos yang lain yang lebih nyaman dan sewa perbulannya terjangkau.
Saat uang Bapak lebih, dia tak terpikir untuk menabungnya. Tak
terpikir, jika aku dan adik-adikku ingin sekolah tinggi-tinggi. Tak ada
perencanaan. Uang yang lebih dulu, habis begitu saja. Dan sekarang, kami
rasakan akibatnya.
Dulu aku hanya kuliah D2 PGSD. Setelah wisuda, aku sempat ngangur 1
tahun dan pulang kampung. Saat ngangur, aku berjualan es di rumah. Aku membuka
warung kecil-kecilan. Aku juga noreh, ikut memanen sawit. Membantu orang tua
dikebun, sudah biasa kulakukan sejak aku kecil dulu. Bahkan saat almarhumah
nenekku masih hidup, aku dan nenek memanen cangkok manis yang kami tanam di
kebun. Kemudian aku dan nenek menjajakkannya keliling kampung dengan jarai
yang digendong nenek. Setelah 1 tahun, aku ingin melanjutkan kuliahku, S1.
Aku sampaikan keinginannku pada orang tuaku. Pada Bapak terutama.
Bapak tentu tak setuju. Terlebih dengan kondisi perekonomian kami yang jauh
berubah dibanding dulu. Tapi aku tetap kekeh ingin melanjutkan kuliah.
Bahkan untuk mempengaruhi ketidak setujuan Bapak, aku berjanji akan
kuliah sambil bekerja. Bapak memikirkan janjiku. Dan akhirnya menyetujui
keinginanku, walaupun sebenarnya Bapak masih merasa keberatan. Aku lega.
Walaupun belum terpikir akan bekerja apa saat sudah lanjut kuliah nanti.
Hingga hampir 1 tahun aku kuliah, aku belum juga mendapatkan
pekerjaan. Ijazah D2, kujadikan modal melamar kerjaan. Lebih 10 lamaran
kumasukkan ke SD2 negeri maupun swasta. Tak hanya itu, aku juga memasukkan
lamaran pekerjaan ke cafe-cafe juga kantin. Kupikir, pekerjaan asalkan halal
akan kulakoni. Ini sudah janjiku. Janjiku pada Bapak yang harus kutepati.
Hampir bosan aku menulis lamaran dan mengantarkannya. Tapi, tak satupun
yang berhasil. Setelah hampir bosan menunggu dan memutar otak, pekerjaan apa
lagi yang harus kucari, ada panggilan dari kantin dan konter penjualan minyak
wangi isi ulang. Pikirku, aku bisa pekerja pagi hingga siang. Karena aku masuk
kuliah jam 1 siang.
Aku dipanggil dan diwawancara. Saat wawancara aku ditanya mahasiswa
atau bukan? Kujawab jujur pertanyaan itu. Ternyata kejujuranku, tidak
membuahkan hasil kali ini. Pemilik usaha, tak mau menerima aryawan yang sambil
kuliah.
Aku juga mengajak Cece temanku untuk keliling kota Pontianak,
mencari lowongan kerja. Belum juga berhasil. Hingga suatu pagi, saat aku baru
saja libur akhir semester, aku putar-putar kota Pontianak dengan motor Vega
hijauku. Aku tak sengaja, lewat Mall Matahari Pontianak. Pas didepannya
terdapat rumah makan Seafood 88. Tertera LOWONGAN KERJA.
Aku yang memang sedang mencari-cari pekerjaan tentu saja girang
bukan kepalang membaca tulisan itu. Awalnya aku ragu masuk ke restoran itu. Tapi,
ini kesempatan yang selama ini kucari. Aku masuk dan menanyakannya. Tanpa berpikir,
akan ditempatkan diposisi apa aku di restoran itu.
“Ada
lowongan kerja ya?,” kataku dengan nada grogi yang mungkin terdengar oleh lawan
bicaraku di restoran itu.
“Iya,
ada,” jawab pelayan restoran. Kemudian dia mempertemukan aku dengan pemilik
restoran.
Agak
lama aku berbincang dengan si bos. Dia bertanya akan statusku. Kujawab,
mahasiswa. Awalnya dia tak mau menerimaku menjadi karyawannya. Alasannya, tak
boleh kerja paruh waktu, dan karyawannya harus tinggal dirumahnya, karena
memang restoran itu dibuka didepan rumah bos. Dia malah memintaku untuk tidak
kuliah lagi, hanya bekerja. Tentu saja itu kutolak. Dan kujelaskan, aku akan
bekerja penuh dan memenuhi syaratnya karena aku sedang libur 3 bulan. Bosku
juga setuju.
3
bulan aku bekerja menjadi pelayan restoran plus pembantu rumah tangga bos. Memang
gajinya tak sebanding dengan pekerjaan yang kulakukan. Tapi, itu cukup membantu
kodisi keuanganku. Aku tak memberitahu orang tuaku, perihal pekerjaan itu.
Setelah
kuliah aktif kembali, akupun berhenti bekerja. Sejak berhenti, aku kembali ke
kos lamaku. Aku sudah membicarakan hal itu sebelumnya pada ibu kos. Setelah
berhenti, aku kembali mencari-cari pekerjaan.
Lamaran
yang kukirim ke sekolah-sekolah, tak ada yang goal. Sedih sebenarnya. Ijazah
D2ku, ternyata belum bisa menjadi modal kuat untuk mendapatkan pekerjaan. Akhir
2008, aku ikut seleksi CPNS. Tapi, aku gagal. Aku sanggat berharap namaku
tertera di media cetak yang yang memuat pengumuman itu. Hasilnya nihil, dan aku
pulang. Hilang semangatku saat itu. Lagi-lagi aku menangis dihadapan Cei. Aku
kembali kebingungan mengatur jatah uang yang tak seberapa.
Teman-teman
kosku, tahu persis akan keadaanku itu. Terlebih Cei. Aku lebih terbuka
dengannya, bahkan hingga masalah keuanganku. Dia juga mengerti itu. Suatu hari
saat dia melihatku hanya membuat bubur, dia tanggap akan kondisiku.
“Kalau
tak ada beras atau apa, bilang! Jangan diam-diam. Kalau aku ada, pakai dulu.
Kalau ada waktunya kau yang ada, saling bantu kita,” kata Cei mengesalkan
karena aku tak terbuka dengannya saat itu.
Aku
hanya menjawab ‘Iya’. Cei pasti tahu, kalau sebenarnya aku malu terlalu sering
pinjam sana-sini.
Arin
teman kosku yang lain ternyata mencarikanku pekerjaan. Dia prihatin melihat
kondisiku. Dia juga tahu, aku mau melakukan pekerjaan apapun asal halal. Koko bos
Arin sedang membutuhkan pembantu rumah tangga, dan dia menawarkanku pada
bosnya.
Akupun
kembali menjadi pembantu sambil kuliah. Tak hanya itu, aku juga menjadi buruh
cuci setrika setiap hari minggu. Awal menjadi pembantu Koko, aku hanya meerima
Rp. 10.000 per hari. Setelah beberapa bulan, kemudian Koko menaikkan gajiku Rp.
15.000. Aku digaji berdasarkan absen. Semakin rajin aku kerja, semakin banyak
gaji yang kuterima.
Subuh
jam 4.30, saat orang lain masih terlelap, aku sudah mulai bekerja. Jam 6,
pekerjaanku sudah beres. Begitu kujalani dari akhir 2009. Dan itu membantuku. Hampir
bersamaan dengan aku menjadi pembantu, ada lagi pembukaan CPNS di akhir tahun
2009.
Aku
mencoba lagi. Aku tak berani terlalu berharap lagi. Jika aku lulus, itu memang
sudah waktunya. Kalaupun tidak, kumencoba lapang dada. Walaupun tak kupungkiri
akan ada kecewa. Aku lebih siap saat itu, jikapun aku tak lulus.
Puji
Tuhan, saat mencoba lagi, keberhasilan berpihak padaku. Aku ingin melompat
tinggi-tinggi. Memekik sekeras-kerasnya. Aku ingin semua orang tahu, aku
bahagia. Orang tuaku, merasakan kebahgiaan itu juga. Kata Bapak, memang itu
yang Bapak tunggu.
Cita-citaku
menjadi guru di kota kini terwujud. Sebelumnya, banyak yang menawarkan padaku
untuk mengajar di kampungku. Tapi, aku menolak.
Sebenarnya,
guru bukan cita-citaku. Aku suka sesuatu yang berbau khayalan. Tapi, dulu saat
aku SMA, tak ada pandangan akan hal itu. Yang kutahu, kuliah adanya jurusan
guru. Pengetahuanku akan hal itu memang terbatas dulu.
Penghasilanku
menjadi CPNS dengan golongan IIB, tak bisa kuandalkan sepenuhnya. Apa lagi,
setelah aku lulus CPNS, orang tuaku benar-benar cuci tangan dengan semua urusan
keuangan. Bahkan hingga urusan kuliah. Gaji yang tak seberapa itu, harus cukup
untuk membayar kos, kridit motor, kebutuhan hari-hariku, dan aku juga harus
menabung untuk membayar uang daftar ualng setiap semester.
Akupun
memutuskan untuk melanjutkan profesiku, menjadi pembantu di rumah Koko. Biarlah
orang bilang apa. Persetan dengan gengsi. Gengsi tak bisa memenuhi kebutuhan
hidupku.
Bahkan
tetangga Koko yang sudah mengenalku, agak heran jika melihatku ke rumah Koko
dengan baju dinas. Mungkin mereka heran melihat, pegawai tapi masih saja
menjadi pembantu.
Dengan
gaji pembantu itu, aku punya uang sedikit lebih. Yang bisa kugunakan untuk
menganti bajuku yang sudah memudar warnnanya, yang sudah merapuh rajutan
benangnya. Menganti sepatu ngajarku yang hanya itu-itu saja, memiliki beberapa
gaun untuk ke sembayang Minggu.
Tuhan
memberikan berkatnya padaku. Tuhan begitu sayang padaku. Dia memang menguji
kesabaranku. Menempa keikhlasanku. Tuhan memberiku banyak berkat dari sudut
yang tak kuduga. Dari tangan yang tak pernah kusangka akan menjadi jalan
rezki-Nya turun padaku. Puji Tuhan.
Hari
Minggu. Hari bermalas-malasan bagiku. Aku berbaring di kamar kosku sebelum bersiap-siap
ke gereja.
“Hm...pakai
baju yang mana ya?”, aku memilih baju yang tergantung dilemari yang tak
seberapa jumlahnya. Pilihanku jatuh pada gaun ungu.
Aku
bergegas mandi. Setelah mandi, kukenakan baju terbaik untuk menghadap Sang Maha
Baik. Aku berdiri didepan cermin yang kuletakkan dipojok kamar. Kuperhatikan
badanku yang sudah terbalut gaun selutut. Aku berputar-putar didepan cermin.
“Lenganku...”.
Kupegang
lengan kiriku. Kusing-singkan lengan gaunku. Lenganku berotot. Bentuknya juga
tak seindah lengan-lengan gadis lajang kebanyakan. Otot dilenganku saksi,
betapa kerasnya usahaku untuk hidup. Kusyukuri, meski rasa iri diam-diam
menyelinap saat melihat lengan lain yang langsing dan indah terbalut gaun.