Ditulis: Ambaryani, 21/7/2011
14.07,
tiba-tiba ponselku berdering. Kutengok, nomor baru. Tanpa nama 0821xxxx.
Awalnya aku tak mau menerima pangilan siang itu. Memang begitu. Telpon atau sms
dengan nomor yang tidak kukenal, sangat jarang mendapat responku. Begitu juga
siang itu.
Kuangkat, dan tiba-tiba,
“Assalamualaikum...,
ini dengan Bu Ambar ya?”, tanya si pemilik nomor baru yang muncul di hpku.
Aku
masih ragu untuk menjawab.
“Maaf,
ini siapa?”, jawabku singkat.
“Saya
‘N’ Mbak. Saya anggota ‘......’.
Setelah
ibu dengan inisial N itu menyebutkan anggota ‘...’, aku belum bisa menangkap
apa tujuannya menelponku. Tiba-tiba dia memintaku datang ke alamat yang
disebutkannya. Katanya itu alamat rumahnya. Aku mesih bingung. Kemudian ibu itu
menjelaskan lagi. Kudengarkan penjelasannya.
“O....
ternyata”, batinku ketika mengetahui maksud ibu itu menelpon.
Ibu
itu menelponku karena merasa salah satu korban dari praktek oknum sebuah
instansi. Dia merasa dirugikan dengan tindakan itu. Dia mengajakku untuk
melaporkan tindakan itu ke pada atasan orang yang melakukan praktek itu.
Aku
tak langsung merespon ajakan ibu itu. Entah apa alasannya aku tak langsung
mengiyakan, walaupun sinyal-sinyal kalau aku setuju sudah kuberikan. Tapi, aku
hanya memberikan jawaban mengantung pada ibu itu. Yang pasti saat itu, aku
was-was. Pikirku, aku harus meminta pendapat orang lain dalam hal ini. Aku juga
tak mau gegabah, mengambil keputusan sendiri. Aku hanya khawatir dengan buntut
dari pelaporan ini.
Kemudian
aku menelpon familiku. Ternyata, pilihanku untuk tidak mengiyakan ajakan ibu N
pilihan tepat. Familiku tak mengizinkannya. Walaupun pada dasarnya, familiku
tidak setuju dengan tindakan praktek itu. Tapi, menurutnya biarlah orang lain
yang memberi pelajaran pada oknum itu.
Aku
juga setuju dengan hal itu. Terlebih, setelah kupikir-pikir, hal ini cukup
riskan untukku. Aku yang tak tinggal bersama orang tua. Hanya dengan kedua
adikku. Tentu saja ini menimbulkan kekhawatiran bagiku maupun orang tuaku. Kemudian
kukirimkan sms, “Ass.Ibu, terus terang saya tidak setuju dengan tindakan K....
Tapi, mohon maaf saya tidak bisa ikut mengadukan hal ini ke atasan. Karena
orang tua tidak mengizinkan. Sebab ortu saya khawatir akan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan dengan saya. Mohon maaf buk”.
Tak
lama kemudian smsku dibalas.
“Ya
udh ndx apa2”.
“Syukurlah
ibu itu tidak ngotot”, batinku lega.
Walaupun
kutangkap nada kecewa dari smsnya. Tapi, tak apalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar