Selasa, 24 Januari 2012

Gara-Gara U K


Ditulis: Ambaryani, 21/7/2011

14.07, tiba-tiba ponselku berdering. Kutengok, nomor baru. Tanpa nama 0821xxxx. Awalnya aku tak mau menerima pangilan siang itu. Memang begitu. Telpon atau sms dengan nomor yang tidak kukenal, sangat jarang mendapat responku. Begitu juga siang itu.
Kuangkat, dan tiba-tiba,
“Assalamualaikum..., ini dengan Bu Ambar ya?”, tanya si pemilik nomor baru yang muncul di hpku.
Aku masih ragu untuk menjawab.
“Maaf, ini siapa?”, jawabku singkat.
“Saya ‘N’ Mbak. Saya anggota ‘......’.
Setelah ibu dengan inisial N itu menyebutkan anggota ‘...’, aku belum bisa menangkap apa tujuannya menelponku. Tiba-tiba dia memintaku datang ke alamat yang disebutkannya. Katanya itu alamat rumahnya. Aku mesih bingung. Kemudian ibu itu menjelaskan lagi. Kudengarkan penjelasannya.
“O.... ternyata”, batinku ketika mengetahui maksud ibu itu menelpon.
Ibu itu menelponku karena merasa salah satu korban dari praktek oknum sebuah instansi. Dia merasa dirugikan dengan tindakan itu. Dia mengajakku untuk melaporkan tindakan itu ke pada atasan orang yang melakukan praktek itu.
Aku tak langsung merespon ajakan ibu itu. Entah apa alasannya aku tak langsung mengiyakan, walaupun sinyal-sinyal kalau aku setuju sudah kuberikan. Tapi, aku hanya memberikan jawaban mengantung pada ibu itu. Yang pasti saat itu, aku was-was. Pikirku, aku harus meminta pendapat orang lain dalam hal ini. Aku juga tak mau gegabah, mengambil keputusan sendiri. Aku hanya khawatir dengan buntut dari pelaporan ini.
Kemudian aku menelpon familiku. Ternyata, pilihanku untuk tidak mengiyakan ajakan ibu N pilihan tepat. Familiku tak mengizinkannya. Walaupun pada dasarnya, familiku tidak setuju dengan tindakan praktek itu. Tapi, menurutnya biarlah orang lain yang memberi pelajaran pada oknum itu.
Aku juga setuju dengan hal itu. Terlebih, setelah kupikir-pikir, hal ini cukup riskan untukku. Aku yang tak tinggal bersama orang tua. Hanya dengan kedua adikku. Tentu saja ini menimbulkan kekhawatiran bagiku maupun orang tuaku. Kemudian kukirimkan sms, “Ass.Ibu, terus terang saya tidak setuju dengan tindakan K.... Tapi, mohon maaf saya tidak bisa ikut mengadukan hal ini ke atasan. Karena orang tua tidak mengizinkan. Sebab ortu saya khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan saya. Mohon maaf buk”.
Tak lama kemudian smsku dibalas.
“Ya udh ndx apa2”.
“Syukurlah ibu itu tidak ngotot”, batinku lega.
Walaupun kutangkap nada kecewa dari smsnya. Tapi, tak apalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar