Ditulis:
Ambaryani
“De,
kau dimana?,” Wina mengirimkan pesan singkat pada Deka.
Wina
sudah menunggu Deka di danau Sebedang sejak 15 menit yang lalu. Mereka sengaja
merencanakan pertemuan ini di danau Sebedang. Menurut Wina disanalah tempat
yang tepat untuk bertemu Deka, dan lepas dari pengawasan ayahnya. Dan
Sebedanglah saksi kegigihan keduanya mempertahankan kesetiaan ditengah
tentangan.
Yahya
Ayah Wina tidak menyetujui adanya hubungan itu. Entah apa alasan Yahya tidak
menyetujui hubungan anaknya. Bahkan Yahya mengirim Wina sekolah ke luar kota. Harapannya,
Wina bisa jauh dan tak lagi dekat-dekat dengan laki-laki yang dipuja anak
pertamanya.
Semakin
dijauhkan, Winapun hampir tak peduli dengan larangan sang ayah. Menurutnya, tak
ada alasan kuat ayahnya melarang mereka dekat. Akhirnya mereka menjalin
hubungan diam-diam. Jarak, tak mampu membuat mereka pisah. Semakin mendapat
tentangan dari sang ayah, Wina semakin gigih mempertahankan hubungannya. Saat
pulang ke kota asalnya, Sebedanglah tempat pertemuan mereka.
Membunuh
jenuh menunggu Deka, Wina mengelilinggi danau Sebedang. Danau yang semakin lama
kehilangan keasriannya. Tepian danau semakin ramai dengan sampah peninggalan
pengunjung danau. Dangau-dangau yang didirikan diatas tepian danau banyak yang
hampir roboh. Kios-kios pedagang banyak yang kosong.
“Long,
De dah diujung danau,” pesan singkat Deka menghentikan perjalanan Wina
mengelilingi danau.
“Tunggu!”,
Wina membalas singkat.
Keduanya
bertemu diujung danau. Tak banyak yang mereka bicarakan. Mereka saling merenung,
akan rumitnya hubungan mereka. Pikiran keduanya menerawang jauh. Menebak-nebak
rahasia dimasa datang yang akan mereka hadapi.
“Apa
De kuat?,” kata Wina tiba-tiba.
“Maksud
Win?”.
“Dengan
tentangan Bapak”.
“Kalau
Win benar-benar serius dengan hubungan ini, De pasti kuat”.
Mata
Wina berbinar dengan kesungguhan Deka. Dia tak menyangka akan mendapatkan
jawaban sebijak itu dari laki-laki yang selama ini diremehkan oleh ayahnya. Wina
semakin yakin dengan pilihannya. Ada kedewasaan yang tak terduga dibalik ketidak
seriusan wajah Deka. Sejak hari itu keduanya bertekad bertahan apapun yang
terjadi dan akan membuktikan, kesungguhan mereka berdua patut diperhitungkan.
Setelah
keduanya selesai pendidikan menengah atas, Deka memutuskan untuk menunjukkan
keseriusanya pada orang tua Wina. Awalnya Wina melarang, dia khawatir ayahnyha
akan memisahkan mereka berdua. Deka tetap dengan keputusannya untuk menemui
orang tua Wina.
Pertengahan
2006, pertama kalinya Deka menginjakkan kaki di rumah Wina setelah mereka
menjalin cinta. Amarah terbaca jelas di wajah Yahya. Tak bisa ditutupi. Deka
sudah siap dengan luapan amarah laki-laki yang telah membesarkan wanita yang
dicintainya.
“Pak,
maafkan kami yang tidak patuh dengan Bapak. Tapi, kami sungguh-sungguh Pak.”
“Sungguh-sungguh
apa? Memang kalian sudah mau serius?,” Yahya tidak menyangka Deka akan setenang
itu menghadapinya.
“Iya,
kalau Bapak izinkan kami untuk serius.”
“Kalau
kalian mau menikah secepatnya! Tapi, kalau tidak, jangan pernah berhubungan
lagi!”
Mendengar
jawaban positif meski mengantung dan penuh emosi, Deka dan Wina sumringah.
Keduanya menghela nafas panjang, dan tak mengira jawaban itu akan keluar dari
mulut laki-laki yang selama ini begitu menentang keduanya. Tanpa berpikir
panjang, keduanya mengiyakan. Mereka tak mau menyia-nyiakan restu yang telah
didapat.
Minggu
itu juga kedua belah pihak keluarga bertemu dan membicarakan rencana pernikahan
dua sejoli muda yang baru saja mentas dai pendidikan SMA. Wina dan Dekapun tak
berkecil hati dengan pernikahan yang ala kadar. Keduanya sadar, tak ada
persiapan yang matang untuk melangsungkan sejarah penting dalam kehidupan
mereka. Tapi itu tak membuat mereka mengurungkan niat untuk segera menikah. Keluarga
Deka yang tidak memiliki kemampuan ekonomi, menyerahkan semua urusan pada kedua
mempelai dan bakal besannya.
Saat
akad nikah dilangsungkan, Deka berbesar hati dengan menggenakan jas milik bakal
mertuanya. Sedangkan Wina tak berkurang sedikitpun kebahagiaanya karena cicin
perinkahan yang Deka berikan terlalu besar untuk jari manisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar