Kamis, 26 Januari 2012

Lupa Diri (cerpen)


Ditulis: Ambaryani
Dengan sigap dia membrondoli sawit yang siap panen. Gelapnya malam, tak menjadi hambatan baginya. Dia mengenal betul medannya. Setelah dia merasa cukup, dia bergegas meninggalkan kebun itu. Tapi, saat hampir saja dia berhasil meningalkan kebun, 2 orang yang sangat dikenalnya muncul dihadapannya. Keduanya memergoki aksinya. Tentu saja Doko kaget.  
“Awas kalau kalian bilang sama Bapak atau Simbok!”
Doko langsung pergi, setelah mengancam 2 pekerja yang bertugas mengawasi kebun sawit ayahnya, kemudian membawa sawit yang dipanenya untuk dijual. Tak ada yang bisa dilakukan kedua penjaga itu. Hanya diam. Mereka tak bisa mencegah atau melaporkan tindakan itu kepada majikannya. Meskipun, resikonya keduanya akan menjadi sasaran kemarahan Wono sang majikan. Karena sang majikan taunya sawitnya dibrondol maling. Wono tak tau, jika itu adalah ulah anaknya sendiri.
Wono memang sudah punya segalanya kini. Rumah gedong, mobil, kebun sawit dimana-mana. Dia bisa memberikan lapangan pekerjaan untuk mengurusi sawit-sawitnya. Ini hasil kerja keras Wono dan Ruti istrinya. Anak pertama mereka sudah berumah tangga dan sukses bekerja dikota. Hanya tingal anak bungsunya Doko yang masih tinggal bersamannya.
Anak pertamanya Fakto sejak lama mandiri, dan besar dengan kerja keras. Dia faham betul dengan proses sukses kedua orang tuanya. Berbeda dengan Doko, yang manja dan apapun keinginannya harus dituruti. Dan itu terjadi hingga kini.Kedua anak lelakinya ini, bagaikan 2 sisi mata uang yang sangat berbeda.  Berbagai cara sudah dilakukan Wono dan Istrinya agar Doko tak terus-terusan manja dan bergantung pada orang tua.
Doko dimasukkan kursus mesin, kursus mengemudi mobil, juga reparasi hand phone. Tujuannya, satu. Agar keterampilan itu bisa menjadi bekal hidup Doko. Doko pernah membuka bengkel di kampungnya. Tentunya dengan bantuan modal ayahnya. Tapi, itu tak bertahan lama. Doko tak mengelolanya dengan baik. Dia sembrono. Merasa bengkel itu miliknya sendiri. Hingga akhirnya bengkelnya tutup.
Setelah itu, Doko ikut bersama Fakto abangnya di kota. Dia menjadi supir pribadi pimpinan Bank. Itupun tak bertahan lama. Alasanya gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Doko memang tidak pernah cukup dengan uang yang dimilikinya. Dia begitu senang menghamburkan uang dengan ngumpul bersama teman-temannya sambil menegak botol minuman keras. Yang terakhir, dia tak bisa bertahan lama menjalankan usaha sevice hp. Dan akhirnya pulang kampung, dan mengurusi kebun sawit ayahnya.
Pulangnya Doko ke kampung, memang menjadi harapan orang tuanya. Selain kesepian, orang tua Doko juga berharap, anak bungsunya itu bisa menjadi penerus untuk mengurusi kebun sawit. Ini bukan tanpa alasan. Wono dan istrinya sudah sering sakit-sakitan. Harapannya hanya pada Doko. Karena Fakto sudah mempunyai kehidupannya sendiri di kota.  
Setelah pulang kampung, Doko semakin menjadi. Dia bertemu teman-teman lamanya. Gaya hidupnya semakin tinggi. Terlebih dengan gelimpangan materi yang didapatnya dari orang tuanya. Hampir tiap malam dia menjamu teman-temannya. Gaya bos besar.
Naasnya, Wono dan Ruti tak mengetahui tabiat buruk anaknya. Entah bagaimana caranya Doko bisa lepas dari pantauan orang tuanya. Dan tentu saja penduduk setempat yang mengetahui ulah Doko tak berani melapor pada Wono dan Ruti, karena keduanya disegani penduduk kampunya.
Tapi, Wono dan istrinya mulai curiga dengan tingkah Doko. Terlebih dalam soal keuangan. Gaji 2 juta perbulan yang diberikan ayahnya, hasil kerjanya sebagai pengawas karyawan kebun selalu tidak cukup. Dan Doko selalu meminta uang tambahan. Pasutri ini semakin tak habis pikir. Cara apa lagi agar anaknya bisa berubah.
“Ko, mana calon istrimu? Biar Bapakmu cepat melamar”, suatu hari Ruti menyunggung soal jodoh di depan anaknya.
“Belum Mbok, belum ada.”
Sudah kesekian kalinya Ruti menanyakan hal ini pada Doko. Ayahnya juga tak kalah sering bertanya akan hal itu. Keduanya berpikir sama. Dengan berumah tangga dan mempunyai tanggung jawab, Doko akan berubah. Mandiri dan tanggung jawab pada kehidupannya.
Harapan agar anaknya segera menikah, tak kunjung jadi kenyataan. Sedangkan Doko malah semakin liar. Semakin sering dia memanen sawit ayahnya diam-diam saat uang sakunya habis.
Saat malam pergantian tahun, Doko hura-hura bersama konco-koconya. Menghabiskan malam tahun baru dengan pesta. Lebih satu dus arak disiapkannya dalam mobil Inova ayahnya. Menjelang subuh Doko baru pulang.
Saat ditengah perjalanan menuju pulang, sekawanan perampok mencegat Doko dan kawan-kawannya. Mobil dan barang-barang milik Doko habis dirampok. Sejak saat itu, Wono dan Ruti menindak tegas Doko. Terlebih kedua karyawan Wono yang memergoki Doko sedang mengasak sawit ayahnya sendiri mengaku pada sang majikan. Ini menambah rentetan panjang kesalahan Doko. Doko tak lagi bisa sesuak hati meminta uang pada orang tuanya. Dia digaji sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Tak ada lagi fasilitas mobil. Tak ada lagi acara kumpul dengan konco mabuknya. Doko tak bisa berbuat banyak, meski dia tak setuju dengan keputusan ayahnya. Karena kalau Doko tak menuruti keputusan ayahnya kali ini, dia akan diperkarakan hingga ke meja hijau oleh ayahnya sendiri.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar