Ditulis: Ambaryani
Dengan sigap dia membrondoli
sawit yang siap panen. Gelapnya malam, tak menjadi hambatan baginya. Dia
mengenal betul medannya. Setelah dia merasa cukup, dia bergegas meninggalkan
kebun itu. Tapi, saat hampir saja dia berhasil meningalkan kebun, 2 orang yang
sangat dikenalnya muncul dihadapannya. Keduanya memergoki aksinya. Tentu saja
Doko kaget.
“Awas kalau kalian bilang sama
Bapak atau Simbok!”
Doko langsung pergi, setelah
mengancam 2 pekerja yang bertugas mengawasi kebun sawit ayahnya, kemudian
membawa sawit yang dipanenya untuk dijual. Tak ada yang bisa dilakukan kedua
penjaga itu. Hanya diam. Mereka tak bisa mencegah atau melaporkan tindakan itu
kepada majikannya. Meskipun, resikonya keduanya akan menjadi sasaran kemarahan Wono
sang majikan. Karena sang majikan taunya sawitnya dibrondol maling. Wono
tak tau, jika itu adalah ulah anaknya sendiri.
Wono memang sudah punya segalanya
kini. Rumah gedong, mobil, kebun sawit dimana-mana. Dia bisa memberikan
lapangan pekerjaan untuk mengurusi sawit-sawitnya. Ini hasil kerja keras Wono
dan Ruti istrinya. Anak pertama mereka sudah berumah tangga dan sukses bekerja
dikota. Hanya tingal anak bungsunya Doko yang masih tinggal bersamannya.
Anak pertamanya Fakto sejak lama
mandiri, dan besar dengan kerja keras. Dia faham betul dengan proses sukses
kedua orang tuanya. Berbeda dengan Doko, yang manja dan apapun keinginannya
harus dituruti. Dan itu terjadi hingga kini.Kedua anak lelakinya ini, bagaikan
2 sisi mata uang yang sangat berbeda. Berbagai
cara sudah dilakukan Wono dan Istrinya agar Doko tak terus-terusan manja dan
bergantung pada orang tua.
Doko dimasukkan kursus mesin,
kursus mengemudi mobil, juga reparasi hand phone. Tujuannya, satu. Agar
keterampilan itu bisa menjadi bekal hidup Doko. Doko pernah membuka bengkel di
kampungnya. Tentunya dengan bantuan modal ayahnya. Tapi, itu tak bertahan lama.
Doko tak mengelolanya dengan baik. Dia sembrono. Merasa bengkel itu miliknya
sendiri. Hingga akhirnya bengkelnya tutup.
Setelah itu, Doko ikut bersama
Fakto abangnya di kota. Dia menjadi supir pribadi pimpinan Bank. Itupun tak
bertahan lama. Alasanya gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Doko
memang tidak pernah cukup dengan uang yang dimilikinya. Dia begitu senang
menghamburkan uang dengan ngumpul bersama teman-temannya sambil menegak botol
minuman keras. Yang terakhir, dia tak bisa bertahan lama menjalankan usaha
sevice hp. Dan akhirnya pulang kampung, dan mengurusi kebun sawit ayahnya.
Pulangnya Doko ke kampung, memang
menjadi harapan orang tuanya. Selain kesepian, orang tua Doko juga berharap,
anak bungsunya itu bisa menjadi penerus untuk mengurusi kebun sawit. Ini bukan
tanpa alasan. Wono dan istrinya sudah sering sakit-sakitan. Harapannya hanya
pada Doko. Karena Fakto sudah mempunyai kehidupannya sendiri di kota.
Setelah pulang kampung, Doko
semakin menjadi. Dia bertemu teman-teman lamanya. Gaya hidupnya semakin tinggi.
Terlebih dengan gelimpangan materi yang didapatnya dari orang tuanya. Hampir
tiap malam dia menjamu teman-temannya. Gaya bos besar.
Naasnya, Wono dan Ruti tak mengetahui
tabiat buruk anaknya. Entah bagaimana caranya Doko bisa lepas dari pantauan
orang tuanya. Dan tentu saja penduduk setempat yang mengetahui ulah Doko tak
berani melapor pada Wono dan Ruti, karena keduanya disegani penduduk kampunya.
Tapi, Wono dan istrinya mulai
curiga dengan tingkah Doko. Terlebih dalam soal keuangan. Gaji 2 juta perbulan
yang diberikan ayahnya, hasil kerjanya sebagai pengawas karyawan kebun selalu
tidak cukup. Dan Doko selalu meminta uang tambahan. Pasutri ini semakin tak
habis pikir. Cara apa lagi agar anaknya bisa berubah.
“Ko, mana calon istrimu? Biar
Bapakmu cepat melamar”, suatu hari Ruti menyunggung soal jodoh di depan
anaknya.
“Belum Mbok, belum ada.”
Sudah kesekian kalinya Ruti
menanyakan hal ini pada Doko. Ayahnya juga tak kalah sering bertanya akan hal
itu. Keduanya berpikir sama. Dengan berumah tangga dan mempunyai tanggung
jawab, Doko akan berubah. Mandiri dan tanggung jawab pada kehidupannya.
Harapan agar anaknya segera
menikah, tak kunjung jadi kenyataan. Sedangkan Doko malah semakin liar. Semakin
sering dia memanen sawit ayahnya diam-diam saat uang sakunya habis.
Saat malam pergantian tahun, Doko
hura-hura bersama konco-koconya. Menghabiskan malam tahun baru dengan pesta. Lebih
satu dus arak disiapkannya dalam mobil Inova ayahnya. Menjelang subuh Doko baru
pulang.
Saat ditengah perjalanan menuju
pulang, sekawanan perampok mencegat Doko dan kawan-kawannya. Mobil dan
barang-barang milik Doko habis dirampok. Sejak saat itu, Wono dan Ruti menindak
tegas Doko. Terlebih kedua karyawan Wono yang memergoki Doko sedang mengasak
sawit ayahnya sendiri mengaku pada sang majikan. Ini menambah rentetan panjang
kesalahan Doko. Doko tak lagi bisa sesuak hati meminta uang pada orang tuanya.
Dia digaji sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Tak ada lagi fasilitas mobil. Tak
ada lagi acara kumpul dengan konco mabuknya. Doko tak bisa berbuat banyak,
meski dia tak setuju dengan keputusan ayahnya. Karena kalau Doko tak menuruti
keputusan ayahnya kali ini, dia akan diperkarakan hingga ke meja hijau oleh
ayahnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar