Minggu, 11 November 2012

Warung Kopi Nikmat

Ditulis: Ambaryani
3 Mei 2012—Sejangkung
Warung kopi itu nampak sepi. Hanya ada 1, 2 pengunjung yang datang bergantian. Pemilik warung yang berkopiah putih, berkaos lengan pendek putih kusam, duduk menunduk, diam dan sesekali melihat-lihat sekitar. Pemilik warung sudah terlihat renta. Jalannya sudah agak membungkuk.
Saya tidak melihat adanya karyawan atau orang lain yang di warung kopi itu. Hanya kakek sipemilik itu. Beberapa pengunjung memangil kakek itu, Pak Aji. Pak Aji memang tidak ada kesan ramah. Tapi, tidak juga galak kalau pengunjung mengajaknya bicara.
Saya tak tau bagaimana kondisi warung kopi itu dulu. Tapi sepenglihatan saya saat itu. Warung itu sepi pengunjung. Tidak hanya itu, warung kopi itu juga nampak tak bergairah. Tapi, kondisi warung-warung lain yang berderetan dan warung-warung lain juga begitu. Tak ada gairah pasar diseteher dan pasar sejangkung. Sepi.
Dibagian depan hanya ada 7 jenis kerupuk produksi rumah tangga yang tergantung dan talinya berpautan semrawut. Didinding, dibuat rak-rak untuk tak lebih 3 jenis minuman mineral. Sedangkan diatas meja, ada beberapa kue basah. Korket, bakpau, kue isi srikaya, resoles. Kue kacang hijau yang direbus, dicampur gula dibuat bulat-bulat pipih dan dibalut tepung sebelum digoreng. Tidak hanya kopi minuman yang dijual. Ada beberapa jenis es instan.      
Selama 25 tahun di kampung halaman Satai, baru 2 kali saya menginjakkan kaki di kecamatan kami. Dulu, saya hanya dengar-dengar tentang sejangkung. Gelap, tak ada bayangan tentang sejangkung. Jarak kampung dan kecamatan, memang jauh. Bisa ditempuh perjalanan darat dan air.
Kalau ditempuh darat, butuh 3-3,5 jam. Itu jarak tempuh saat jalan sudah lumayan mulus. Kalau dulu saat jalan masih rusak berat, berlumpur, berbatu. Hitung saja sendiri, butuh waktu berapa lama. Kalau menyusuri sungai, butuh waktu 1-1,5 jam dengan speed booth. Kalau dengan motor air klotok, bisa 3-4 jam.
Dalam bayangan saya dulu, setelah dengar cerita-cerita Sejangkung sebagai kecamatan seramai Sambas. Tapi, yang saya jumpai, jauh. Tak ada seujung kuku Sambas. Sepi, banyak toko yang sudah tutup. Toko yang masih bukapun, seperti kerakap diatas batu. Tak jauh beda dengan kondisi warung kopi Nikmat. Tak banyak jenis barang yang dijual.
Hanya pasar Sambas barometer yang bisa saya pakai untuk membandingkan keramaian di wilayah Sambas. Saya belum tahu banyak seluk beluk Sambas.
Malu sebenarnya mengatakan ini. Tapi, inilah kenyataanya. Sudah 25 tahun mengaku sebagai orang Satai Sambas, tapi saya banyak tak taunya kalau ditanya tentang Sambas. Begitu juga dengan Sejangkung. Semoga saja, saat saya kembali berkunjung ke Sejangkung suatu saat nanti, sudah ada kemajuan. Sejangkung akan setara dengan predikat yang melekat sejak lama dulu. Wilayah kecamatan. Kecamatan Sejangkung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar