3 Mei 2012—Sejangkung
Warung kopi itu nampak sepi. Hanya ada 1, 2 pengunjung yang
datang bergantian. Pemilik warung yang berkopiah putih, berkaos lengan pendek
putih kusam, duduk menunduk, diam dan sesekali melihat-lihat sekitar. Pemilik warung
sudah terlihat renta. Jalannya sudah agak membungkuk.
Saya tidak melihat adanya karyawan atau orang lain yang di
warung kopi itu. Hanya kakek sipemilik itu. Beberapa pengunjung memangil kakek
itu, Pak Aji. Pak Aji memang tidak ada kesan ramah. Tapi, tidak juga galak
kalau pengunjung mengajaknya bicara.
Saya tak tau bagaimana kondisi warung kopi itu dulu. Tapi sepenglihatan
saya saat itu. Warung itu sepi pengunjung. Tidak hanya itu, warung kopi itu
juga nampak tak bergairah. Tapi, kondisi warung-warung lain yang berderetan dan
warung-warung lain juga begitu. Tak ada gairah pasar diseteher dan pasar
sejangkung. Sepi.
Dibagian depan hanya ada 7 jenis kerupuk produksi rumah
tangga yang tergantung dan talinya berpautan semrawut. Didinding, dibuat
rak-rak untuk tak lebih 3 jenis minuman mineral. Sedangkan diatas meja, ada
beberapa kue basah. Korket, bakpau, kue isi srikaya, resoles. Kue kacang hijau
yang direbus, dicampur gula dibuat bulat-bulat pipih dan dibalut tepung sebelum
digoreng. Tidak hanya kopi minuman yang dijual. Ada beberapa jenis es instan.
Selama 25 tahun di kampung halaman Satai, baru 2 kali saya
menginjakkan kaki di kecamatan kami. Dulu, saya hanya dengar-dengar tentang
sejangkung. Gelap, tak ada bayangan tentang sejangkung. Jarak kampung dan
kecamatan, memang jauh. Bisa ditempuh perjalanan darat dan air.
Kalau ditempuh darat, butuh 3-3,5 jam. Itu jarak tempuh saat
jalan sudah lumayan mulus. Kalau dulu saat jalan masih rusak berat, berlumpur,
berbatu. Hitung saja sendiri, butuh waktu berapa lama. Kalau menyusuri sungai,
butuh waktu 1-1,5 jam dengan speed booth. Kalau dengan motor air klotok, bisa
3-4 jam.
Dalam bayangan saya dulu, setelah dengar cerita-cerita Sejangkung
sebagai kecamatan seramai Sambas. Tapi, yang saya jumpai, jauh. Tak ada seujung
kuku Sambas. Sepi, banyak toko yang sudah tutup. Toko yang masih bukapun,
seperti kerakap diatas batu. Tak jauh beda dengan kondisi warung kopi Nikmat. Tak
banyak jenis barang yang dijual.
Hanya pasar Sambas barometer yang bisa saya pakai untuk
membandingkan keramaian di wilayah Sambas. Saya belum tahu banyak seluk beluk
Sambas.
Malu sebenarnya mengatakan ini. Tapi, inilah kenyataanya. Sudah
25 tahun mengaku sebagai orang Satai Sambas, tapi saya banyak tak taunya kalau
ditanya tentang Sambas. Begitu juga dengan Sejangkung. Semoga saja, saat saya
kembali berkunjung ke Sejangkung suatu saat nanti, sudah ada kemajuan. Sejangkung
akan setara dengan predikat yang melekat sejak lama dulu. Wilayah kecamatan. Kecamatan
Sejangkung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar