Kamis, 15 November 2012

Memilih Pendidikan Pesantren

Ditulis: Ambaryani
Berawal dari sebuah pertanyaan teman, mengapa penting memilih pendidikan pesantren dibanding pendidikan umum?
Berdasarkan pengalaman dan cerita teman, pendidikan pesantren memberikan banyak dampak positif pada dirinya selama 6 tahun menjalani pendidikan di pondok pesantren. Sama tingkatannya dengan SMP dan SMA, jika di pesantren MTS dan Aliyah.
Pertama, sisi positif tersebut adalah, pesantren menerapkan disiplin tidak hanya pada jam belajar mengajar. Akan tetapi pada seluruh aktifitas di dalam asrama. Dari bangun tidur sampai tidur lagi sudah ada tata aturanya. Yang coba membandel atau tidak ikut aturan, harus siap mendapat hukuman.
Bagun tidur misalnya. Harus sudah ready beraktifitas sejak pukul 3.30. yang terlambat bangun, otomatis tidak tahajud dan shalat subuh berjama’ah. Jangankan tidak shalat wajib berjama’ah, tidak melaksanakan shalat sunah saja mendapatkan hukuman tersendiri. Sanksi-sanksi ini harus tetap ditegakkan, agar anak tidak mengangap, aturan hanyalah aturan. Tanpa penerapan. Selain itu, efek lain agar anak jera dan bisa berlatih disiplin pada dirinya sendiri. Karena dampak dari disiplin tidak dirasakan oleh orang lain, kecuali dirinya sendiri. Malam hari, mengulang pelajaran tidak boleh di dalam asrama. Harus diruangan kelas, dan diawasi wali kelas masing-masing ataupun guru yang ditugaskan.  
Akan ada senior juga guru yang mengawasi tindak-tanduk mereka, yang siap mencatat sekecil apapun kesalahan yang mereka lakukan. Tentunya kesalahan itu dicatat untuk mengingatkan mereka agar itu tak boleh terjadi lagi. Ada jasus (mata-mata) bahasa.
Dilingkup pesantren, santri diharuskan menggunakan 2 bahasa. Arab dan Inggris. Ada yang berbicara menggunakan bahasa selain Arab dan Inggris, padahal kosa-katanya sudah diberikan, akan mendapat ganjaran. Ini juga yang menjadi lulusan pesantren memiliki nilai tawar tinggi. Selain ilmu agama dan umum dapat, alumni bisa cas-cus dengan bahasa Arab dan Inggris.  
Tentunya pola pendidikan yang diterapkan pesantren sangat membantu orang tua dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Tak hanya sekali saya mendengar keluhan orang tua yang kesulitan menghadapi anak yang kecanduan ngenet, susah belajar karena smsan, juga televisi. Belum lagi, kekhawatiran orang tua terhadap pergaluan anak.
Semua kemungkinan penyimangan itu akan terpangkas dengan sendirinya ketika anak masuk pesantren. Di pesantren tak boleh membawa alat komunikasi, tak ada televisi, juga warnet. Pergaulan tentunya hanya sesama mereka santri yang ada dalam pesantren.
Memang pada awalnya hidup dipesantren, akan ada rasa frustasi dengan segala aturan yang ada. Akibatnya anak tidak betah dan merengek pada orang tua. Jika orang tua lemah dan berdalih kasihan pada anak, tentu akan menyerah dan membawa pulang kembali anak ke rumah. Tapi, jika orang tua memiliki pemikiran demi kebaikan dan masa depan anak, pendidikan pesantren akan memberikan jaminan ganda pada anaknya. Jika tak bisa 6 tahun, 3 tahun sudah cukup membentuk karakter anak. Tentunya jika bisa lebih lama, hasilnya akan lebih maksimal.

“Benuak”


Ditulis: Ambaryani
Tulisan ini dibuat untuk pemanasan, sebelum keberangkatan ke lapangan. Kalimantan Timur.
Menurut cerita lisan, suku ini berasal dari perbatasan Sarawak (Malaysia). Mereka keluar dari wilayah tersebut karena terjadinya peperangan dan tekanan dari Dayak Iban, dan sampailah mereka di Kalimantan Timur. Wilayah yang mereka tempati bernama Benuaqkn, dan maka dari itu mereka menamai diri dengan Benuak atau sering dituliskan dengan Benuaq.
Suku ini mengantungkan kehidupan mereka dengan bertanam padi di ladang dengan sistem ladang berpindah. Sumber tambahan lain dengan meramu hasil hutan. Damar, rotan, menangkap ikan, berburu, membuat anyaman dan bertenun. Hasil tenunan suku Benuak dinamai Ulap Doyo, yang merupakan kain panjang yang bahan dasarnya adalah daun doyo. Kemudian dinamakanlah hasil tenunan itu dengan Ulap Doyo.
Kebiasaan suku ini masih alami. Mereka memanfaatkan hasil alam, bahan-bahan alami untuk kebutuhan hari-hari. Dalam hal kecantikan, kaum wanita juga memanfaatkan dedaunan, akar-akaran, kulit kayu sebagai bahan kosmetik tradisional.
Dalam hal riligius, suku Benuak begitu percaya campur tangan roh dalam kelangsungan hidup atau aktifitas mereka. Upacara yang mereka anggap penting adalah upacara kawangkai. Mereka meyakini, sanak saudara yang telah meninggal dan sudah dilakukan upacara kawangkai akan tenang berada di gunung Lumut. Gunung ini terletak diperbatasan antara Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Dalam pelaksanaan upacara ini, hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah pemotongan binatang kurban. Upacara dengan adanya binatang kurban, mereka kenal dengan sebutan tiwah. Dan biasanya binatang yang digunakan adalah kerbau.
Yang tidak kalah pentingnya dari diselenggarakannya upacara kematian+binatang kurbannya adalah, siapapun yang mampu melaksanakan atau membiayayi terselenggaranya upacara ini, akan meningkat status sosialnya. Dan itu menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat setempat. Upacara ini berlangsung lama. Lebih sebulan. Memberi makan orang sekampung dan binatang kurban kerbau. Tentunya yang tidak memiliki uang yang banyak tidak mampu menyelenggarakan upacara sedemikian rupa. Harga kerbaunya saja sudah menguras dompet.  

Senin, 12 November 2012

Menjaga Konsistensi

Ditulis: Ambaryani
Sudah lama kau membiarkan otakku tumpul. Hampir setahun aku tidak produktif ‘menulis’. Walaupun, sebelumnya juga tidak produktif benar. Tapi, paling tidak masih terhitung sering aku menulis.
Tulisan yang kuhasilkan memang tidaklah berbobot seperti yang banyak orang harapkan. Tulisan yang bermutu. Kata salah satu teman, saking mau bermutunya, sampai tak ada tulisannya satupun. Tulisanku sebelumnya, banyak tenang hal-hal yang kualami dalam hari-hari.
Mengalir begitu saja. Kutulis apa adanya. Ini kulakukan untuk menjaga konsistensi, dulu. Harus nulis apa saja. Yang dulunya aku agak risih dengan kata-kata romantis dalam puisi. Tapi, karena ingin menjaga untuk tetap menulis apapun, puisipun juga kutulis.
Kalau hati sedang melangkolis, merasa paling berat beban dipundak, merasa paling teraniaya, jadilah beberapa pusi. Paling tidak 1 puisi. Tulisan panjang, agak kurang. Biasalah pemula. Selalu begitu. Menulis tergantung mood.
Rutinitasku, dan sekelilingku yang jauh dari iklim menulis membuat semangat menulisku terombang-ambing. Dulu, sebelum menyelesaikan setudi di kampus, aku nyemplung di komunitas menulis. Dan itu pilihanku. Kurasa pilihan paling tepat. Karena kalau akau tidak nulis, aku akan malu dengan teman-teman yang sama-sama sedang belajar menulis. Belajar menumbuhkan semangat menulis dan menjaga semangat itu.
Dulu semangat itu sangat terasa. Tapi, setelah tak lepas dari kampus, banyak godaan. Terlebih jika sudah berada di dunia kerja, dan tak pandai menyisihkan waktu untuk terus menjaga semangat. Akulah contohnya. Akan tumpul.
Sebenarnya, banyak ide yang muncul. Hanya karena alasan ‘tak punya waktu’, ide itu hilang. Alasan itu sebenarnya hanya untuk pembenaran rasa malas yang merayu agar pikiran dan keterampilan semakin tumpul tak terasah. Dan berhasillah ‘setan-setan’ mengajakku menjadi golongan pemalas nulis.
Setahun, orang lain bisa lebih 2 buku yang dihasilkan. Aku? Jangankan buku, tulisanpun bisa dihitung dengan 5 jari. Malu. Malu dengan apa yang pernah kusampaikan pada adik-adik bimbinganku di MAN 1 Pontianak dulu. Malu dengan adik-adik yang masih sekolah dasar di Teluk Bakung yang pernah kuberi motivasi dulu. Aku harus kejam pada diriku sendiri.
Bisa tidak bisa, suka tidak suka, buntu atau tidak, harus menulis. Ini harus kupaksakan pada diriku. Kalu tidak, aku akan terus mengalami penurunan. Memang benar, memulai lebih mudah dari pada menjaga.
Tentu saja aku tak mau sedikit kemampuanku menulis hilang. Aku ingin terus melatihnya. Yang sedikit itu kemudian bisa menjadi bertambah sedikit, dan jadi bukit. Itu harapanku.
Aturan atau keharusan, memang mutlak bagi yang ingin terus terjaga semangatnya. Rasanya memang kejam. Tapi, kalau kenikmatan melakukan sesuatu belum dicapai, sedikit kemungkinan bisa konsisten jika tidak dipaksa. Kalau ada yang meragukan pendapatku, monggo! Ini hipotesa yang kudapat dari pengalamanku sendiri.

Minggu, 11 November 2012

Warung Kopi Nikmat

Ditulis: Ambaryani
3 Mei 2012—Sejangkung
Warung kopi itu nampak sepi. Hanya ada 1, 2 pengunjung yang datang bergantian. Pemilik warung yang berkopiah putih, berkaos lengan pendek putih kusam, duduk menunduk, diam dan sesekali melihat-lihat sekitar. Pemilik warung sudah terlihat renta. Jalannya sudah agak membungkuk.
Saya tidak melihat adanya karyawan atau orang lain yang di warung kopi itu. Hanya kakek sipemilik itu. Beberapa pengunjung memangil kakek itu, Pak Aji. Pak Aji memang tidak ada kesan ramah. Tapi, tidak juga galak kalau pengunjung mengajaknya bicara.
Saya tak tau bagaimana kondisi warung kopi itu dulu. Tapi sepenglihatan saya saat itu. Warung itu sepi pengunjung. Tidak hanya itu, warung kopi itu juga nampak tak bergairah. Tapi, kondisi warung-warung lain yang berderetan dan warung-warung lain juga begitu. Tak ada gairah pasar diseteher dan pasar sejangkung. Sepi.
Dibagian depan hanya ada 7 jenis kerupuk produksi rumah tangga yang tergantung dan talinya berpautan semrawut. Didinding, dibuat rak-rak untuk tak lebih 3 jenis minuman mineral. Sedangkan diatas meja, ada beberapa kue basah. Korket, bakpau, kue isi srikaya, resoles. Kue kacang hijau yang direbus, dicampur gula dibuat bulat-bulat pipih dan dibalut tepung sebelum digoreng. Tidak hanya kopi minuman yang dijual. Ada beberapa jenis es instan.      
Selama 25 tahun di kampung halaman Satai, baru 2 kali saya menginjakkan kaki di kecamatan kami. Dulu, saya hanya dengar-dengar tentang sejangkung. Gelap, tak ada bayangan tentang sejangkung. Jarak kampung dan kecamatan, memang jauh. Bisa ditempuh perjalanan darat dan air.
Kalau ditempuh darat, butuh 3-3,5 jam. Itu jarak tempuh saat jalan sudah lumayan mulus. Kalau dulu saat jalan masih rusak berat, berlumpur, berbatu. Hitung saja sendiri, butuh waktu berapa lama. Kalau menyusuri sungai, butuh waktu 1-1,5 jam dengan speed booth. Kalau dengan motor air klotok, bisa 3-4 jam.
Dalam bayangan saya dulu, setelah dengar cerita-cerita Sejangkung sebagai kecamatan seramai Sambas. Tapi, yang saya jumpai, jauh. Tak ada seujung kuku Sambas. Sepi, banyak toko yang sudah tutup. Toko yang masih bukapun, seperti kerakap diatas batu. Tak jauh beda dengan kondisi warung kopi Nikmat. Tak banyak jenis barang yang dijual.
Hanya pasar Sambas barometer yang bisa saya pakai untuk membandingkan keramaian di wilayah Sambas. Saya belum tahu banyak seluk beluk Sambas.
Malu sebenarnya mengatakan ini. Tapi, inilah kenyataanya. Sudah 25 tahun mengaku sebagai orang Satai Sambas, tapi saya banyak tak taunya kalau ditanya tentang Sambas. Begitu juga dengan Sejangkung. Semoga saja, saat saya kembali berkunjung ke Sejangkung suatu saat nanti, sudah ada kemajuan. Sejangkung akan setara dengan predikat yang melekat sejak lama dulu. Wilayah kecamatan. Kecamatan Sejangkung.

Minggu, 14 Oktober 2012

Hiburan Pelepas Lelah

Ditulis: Ambaryani
Saya sambil senyum-senyum melihat ikan nila yang baru saya beli dan saya lepaskan di kolam belakang rumah saya. Karena baru dalam tahap mencoba, saya hanya membeli empat ekor. Yang 3, sudah sebesar tiga jari. Yang satu lagi, masih agak kecil. Kalau keempat ikan ini sukses, tentu akan ditambah lebih banyak.
Ikan-ikan itu berenang-renang sambil memakan lumut dipermukaan air. Baru beberapa menit saya sendiri yang melepas ikan itu, saya sudah menengoknya kembali. Mengecek, kondisi ikan. Khawatir ikan tidak cocok dengan airnya. Tapi saat saya melihat, saya senang bukan kepalang, ternyata ikan-ikan itu bisa beradabtasi dengan tempat barunya.
Sayapun memanggil emak yang sedang menjemur bantal. Saya menunjuk ikan-ikan itu. Emakpun nampak senang melihat kolam sudah ada ikannya.
Sebenarnya, kolam ini sudah lama saya dan suami buat. Ini memang keinginan kami berdua yang baru bisa terlaksana. Rentang kolam digali sampai dilepas ikan juga agak lama. tujuannya, agar air kolam stabil dulu. Suami saya yang kelihatan sudah tidak sabar melihat kolam itu berisi ikan.
Katanya, sudah tidak sabar pulang kerja atau saat menunggu saya memasak nyantai dibelakang rumah sambil memberi makan ikan. Itu salah satu obat mujarab pelepas lelah menurut suami. Selain kolam ikan, beberapa tanaman di sekeliling rumah juga menjadi hiburan tersendiri. Ada...saja yang dikerjakan setibanya di rumah. Walaupun sudah seharian kerja.
Halaman rumah yang tak seberapa luasnya, sudah penuh tanaman. Ada buah-buahan, ubi, rosela, kangkung, dan lain-lain. Malah sekarang, agak bingung dimana lagi akan menanam tanaman yang baru kami semai. Gairah untuk nanam-menanam tumbuh terus. Apa lagi saat melihat tanaman-tanaman buah kami perkembangannya lumayan bagus. Ah, rasanya itu menjadi semangat makin bertambah.
Kami membayangkan, beberapa tahun kemudian, rumah kami akan rimbun dan hijau dengan tanaman produktif. Kami akan memanen buahnya. Begitu juga dengan kolam ikan. Setelah ikan-ikan besar, paliang tidak seminggu sekali kami bisa menikmati ikan segar yang kami pelihara sendiri.
Lebih dari semua itu. Kami sangat menikmati kegiatan ini. Ini mendatangnkan perasaan senang tersendiri. Kami mengisi waktu luang dengan sisa-sisa tenaga setelah bekerja. Tapi, hasil dan rasa puasnya, melaumpaui harapan kami. Mungkin ini yang dinamakan kepuasan.
Tanaman-tanaman buah itu, tak hanya kami yang bisa menikmati. Bahkan sampai anak cucu kami nanti. Tentunya kami tak ingin anak cucu hanya bisa menikmati tanpa merasa memiliki. Kami ingin mereka merasa memiliki, sehingga mereka mencintai dan meneruskan semangat kami. Mereka bisa membuat lingkungan hijau.