Ditulis: Ambaryani
“Menulis itu gampang, tapi menulis yang baik itu tak
gampang. Tidak ada yang tiba-tiba untuk menjadi penulis”.
Awalnya, saya sudah mau membuka ke halaman berikutnya. Mencari
berita yang menarik menurut versi saya. Saya
sedang membaca koran kompas edisi 8 Februari 2012 di tempat kerja saya hari
itu.
Tapi, saat sekilas memandang, mata saya kecantol dengan
judul, “Para Penulis dari Senanyan”. Awalnya saya hanya tertarik pada kata Para
Penulis. Karena memang, kolom politik sangat jarang saya baca.
Saya kira tulisan itu, berkisah para politikus yang sedang
bermasalah dan menuangkan keluh kesahnya dalam tulisan. Saya sudah hampir
meninggalkan kolom Politik & Hukum itu. tapi, hati dan mata saya masih
tertahan. Al-hasil, saya mulai membacanya.
Prolog tulisan itu, semakin membuat saya tertarik. Malah,
kini lebih pada penasaran. Pengen segera mengetahui apa isi tulisan itu.
Setelah saya baca, ternyata tulisan itu memuat cerita
orang-orang yang sibuk duduk di kursi Senayan dan masih terus produktif
menulis. Ditulis juga sedikit mengenai latar belakang tokoh-tokoh yang disebut
dalam tulisan itu yang disebut terus produktif dan benar-benar menyisihkan
waktu meski super sibuk. Ada juga mengungkap mengenai, kesan produktif itu
dipaksa.
Mengapa di paksa? Karena keinginan kesan populer sebagai
penulis tetap ada, dengan gaya pejabatnya, sampai harus memerintah orang lain
menulis untuk dirinya. Tentu orang-orang di Senayan memiliki banyak back up.
Tidak sulit mencari ‘tukang tulis’.
Memang, menjadi penulis memiliki gengsi tersendiri. Terlebih,
yang sudah menjadi penulis-penulis handal dan tulisannya dimuat di media-media
yang diperhitungkan.
Saya pernah merasakan itu. bukan pada gengsi, tapi pada rasa
sedikit mengembang rongga dada, saat tulisan muncul di media cetak. Meskipun,
tulisan itu benar-benar ala kadarnya. Saya baru memulai. Baru belajar menulis. Saya
setuju dengan kutipan tulisan koran yang saya buat diawal.
Menulis sebenarnya gampang. Apa susahnya, menuangkan apa
yang ada diotak pada tulisan. Seperti kita bercerita lisan. Memang ada
perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Tidak semua orang yang handal bicara pandai
menulis. Begitu juga sebaliknya.
Yang kedua, saya setuju bahwa tidak ada yang tiba-tiba. Begitulah
menulis. Butuh proses. Meski, dalam hal apapun proses sama-sama penting. Saya rasakan
benar perjalanan proses itu. Dari awalnya dipaksa, harus menulis karena banyak
tugas kuliah, hingga akhirnya sedikit bisa terbiasa.
Saya tidak ada sujung kuku tokoh-tokoh yang disebut dalam
tulisan Kompas itu. Kemampuan saya juga sangat
cetek. Bahkan timbul rasa malu.
Malu karena saya tergilas jauh. Tergilas saat berproses. Saya
yang pura-pura sibuk, jadi jauh dari kebiasaan ‘harus menulis’ setiap hari. Dengan
dalih sibuk. Tulisan tak ada.
Saya kadang memaksakan diri. Apa saja harus saya tulis. Pejam
mata masalah kualitas. Karena memang tak ada yang tiba-tiba jadi. Saya sadar
betul dengan hal itu. Kualitas akan mengikuti, seiring seringnya latihan. Satu
lagi yang membuat daya semakin besemangat untuk memaksakan diri akan hal-hal
positif.
“Sebelum kejahatan yang memaksa kita, kita paksakan diri
untuk melakukan kebaikan”. Begitu kata salah satu motivator yang punya jam
tayang tetap disalah satu telivisi.