Kamis, 09 Februari 2012

“Para Penulis dari Senayan”


Ditulis: Ambaryani
“Menulis itu gampang, tapi menulis yang baik itu tak gampang. Tidak ada yang tiba-tiba untuk menjadi penulis”.
Awalnya, saya sudah mau membuka ke halaman berikutnya. Mencari berita yang menarik menurut versi saya.  Saya sedang membaca koran kompas edisi 8 Februari 2012 di tempat kerja saya hari itu.
Tapi, saat sekilas memandang, mata saya kecantol dengan judul, “Para Penulis dari Senanyan”. Awalnya saya hanya tertarik pada kata Para Penulis. Karena memang, kolom politik sangat jarang saya baca.
Saya kira tulisan itu, berkisah para politikus yang sedang bermasalah dan menuangkan keluh kesahnya dalam tulisan. Saya sudah hampir meninggalkan kolom Politik & Hukum itu. tapi, hati dan mata saya masih tertahan. Al-hasil, saya mulai membacanya.
Prolog tulisan itu, semakin membuat saya tertarik. Malah, kini lebih pada penasaran. Pengen segera mengetahui apa isi tulisan itu.
Setelah saya baca, ternyata tulisan itu memuat cerita orang-orang yang sibuk duduk di kursi Senayan dan masih terus produktif menulis. Ditulis juga sedikit mengenai latar belakang tokoh-tokoh yang disebut dalam tulisan itu yang disebut terus produktif dan benar-benar menyisihkan waktu meski super sibuk. Ada juga mengungkap mengenai, kesan produktif itu dipaksa.
Mengapa di paksa? Karena keinginan kesan populer sebagai penulis tetap ada, dengan gaya pejabatnya, sampai harus memerintah orang lain menulis untuk dirinya. Tentu orang-orang di Senayan memiliki banyak back up. Tidak sulit mencari ‘tukang tulis’.
Memang, menjadi penulis memiliki gengsi tersendiri. Terlebih, yang sudah menjadi penulis-penulis handal dan tulisannya dimuat di media-media yang diperhitungkan.
Saya pernah merasakan itu. bukan pada gengsi, tapi pada rasa sedikit mengembang rongga dada, saat tulisan muncul di media cetak. Meskipun, tulisan itu benar-benar ala kadarnya. Saya baru memulai. Baru belajar menulis. Saya setuju dengan kutipan tulisan koran yang saya buat diawal.
Menulis sebenarnya gampang. Apa susahnya, menuangkan apa yang ada diotak pada tulisan. Seperti kita bercerita lisan. Memang ada perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Tidak semua orang yang handal bicara pandai menulis. Begitu juga sebaliknya.
Yang kedua, saya setuju bahwa tidak ada yang tiba-tiba. Begitulah menulis. Butuh proses. Meski, dalam hal apapun proses sama-sama penting. Saya rasakan benar perjalanan proses itu. Dari awalnya dipaksa, harus menulis karena banyak tugas kuliah, hingga akhirnya sedikit bisa terbiasa.
Saya tidak ada sujung kuku tokoh-tokoh yang disebut dalam tulisan Kompas itu. Kemampuan saya juga sangat  cetek. Bahkan timbul rasa malu.
Malu karena saya tergilas jauh. Tergilas saat berproses. Saya yang pura-pura sibuk, jadi jauh dari kebiasaan ‘harus menulis’ setiap hari. Dengan dalih sibuk. Tulisan tak ada.
Saya kadang memaksakan diri. Apa saja harus saya tulis. Pejam mata masalah kualitas. Karena memang tak ada yang tiba-tiba jadi. Saya sadar betul dengan hal itu. Kualitas akan mengikuti, seiring seringnya latihan. Satu lagi yang membuat daya semakin besemangat untuk memaksakan diri akan hal-hal positif.
“Sebelum kejahatan yang memaksa kita, kita paksakan diri untuk melakukan kebaikan”. Begitu kata salah satu motivator yang punya jam tayang tetap disalah satu telivisi.    

Kamis, 02 Februari 2012

Si Biru


Ditulis: Ambaryani
Belum genap 3 jam aku duduk di meja kerjaku, 2 Februari 2012. Telfon berwarna biru yang terletak disudut kanan meja, sudah berdering 3 kali. Menjawab panggilan telfon, memang salah satu tugasku.
Saat pertama kali berdering, kuangkat. Kusapa ramah, seperti biasa aku menyambut penelfon. Api, tak ada yang menyahut. Si penelfon, tak bersuara.
“Halo...ada yang bisa saya bantu?”, kutunggu beberapa saat. Dan tak ada kehidupan digagang telfon itu. Kemudian, tut, tut, tut...putus.
Aku duduk dan kembali melanjutkan kerjaanku. Baru 30 menit aku duduk, berdering lagi si biru. Kembali kuangkat. Kali ini, langsung putus.
“Siapa?”, bos bertanya. Mungkin heran melihatku diam saat gagang telfon masih menempel ditelingga.
“Ntah, udah 2 kali ini berdering. Diangkat, tapi tak bersuara”, jawabku.
45 menit kemudian, berdering kambali. Kutunggu hingga 3 kali deringan. Baru kuangkat. Khawatir orang iseng lagi.
Kali ini ada sesuatu yang aneh. Saat kuangkat, lagi, tak ada suara sahutan dari penelfon. Tapi, kudengar suara piano diujung telfon. Aku belum sempat mengenali nada lagu apa itu. Karena memang, suara itu tidak lama. Kemudian, penelfon memutusnya. Tanpa suara lagi.
Aneh.

Polisi, Dukun dan Goggle


Ditulis: Ambaryani
Seorang temanku mengalami musibah beruntun. Barang-barang berharganya hilang. Pencuri mengulangi aksinya setelah berhasil mengondol kamrea SLR. Kejadian itu terjadi di rumah yang selama ini ditempatinya. Bahkan posisi barang yang hilang berada di dalam kamarnya.
Menurut temanku, selama ini kejadian begini belum pernah terjadi. Baru kali pertama. Dulu, hanya hal-hal kecil yang pernah hilang. Yang lebih membuatnya tidak habis pikir, posisi kamarnya berbelit. Kalau orang tidak biasa masuk kamarnya, akan sedikit kesusahan mendeteksi. Hal lain yang ganjil. Di hari naas itu, dia (yang kehilangan barang) dan teman-temannya sedang kumpul di warnet depan rumahnya. Dan diantara mereka tak ada yang mengetehaui peristiwa itu. Tak ada yang mencurigakan katanya, dan tas teman-temannya yang diletakkan di ruang tamu, tak diambil pelaku.
Itu yang membuat korban merasa benar-benar aneh. Mengapa barang yang tergeletak di ruang tamu, tidak diambil malah mencari barang yang posisinya di kamar yang berbelit posisinya. Jendela kamar juga tidak terbuka katanya.
Kamera SLRnya raib. Tak lama berselang setelah hari naas itu, laptop, hp plus dompetnya ikut-ikutan dimaling. Yang kemudian aki motornyapun dipretel maling.
Dia begitu tertekan dengan kejadian beruntun itu. Badannya nampak kurus. Pikirannya tersita pada barang-barang yang sudah melayang. Belum lagi, proses penyidikan polisi tak juga membuahkan hasil.
Menemui titik didih, dia mendatangi dukun. Diikutinya saran teman-temannya yang juga pernah menggunakan jasa dukun dan barang yang hilang kembali. Lebih 10 dukun yang sudah didatangi katanya. Bahkan dukun dari Ketapang juga dimintai pertolongan. Dia menemukan kebuntuan. Polisi tak juga membantu barangnya bisa kembali. Padahal polisi sudah mengantongi nama orang yang mengambil haknya.
Kamera adalah temannya. Dan itu sangat berarti baginya. Dia ingin barangnya segera kembali. Tapi, lagi-lagi. Kalau belum rezki, berpuluh dukunpun didatangi, tak lantas membuat barang yang hilang bisa kembali.
“Malu rasanya hari gini saya masih ke dukun. Tapi saya cuma mau barang saya kembali. Kalaulah google bisa menemukan apa yang saya cari kali ini, tak mungkin saya ke dukun”, dia bergurau dan diakhiri dengan nada pasrah. Akupun senyum melihatnya begitu. Ekspresi orang yang sedang mumet. Emosinya diaduk-aduk karena peristiwa itu. Itu yang membuatnya berpikir instan.
Banyak orang yang terjebak dalam emosi. Hingga tak bisa mengontrol perkataan dan tindakan. Jika itu terjadi, dirinya sendiri yang menjadi tumbalnya.

Rabu, 01 Februari 2012

Musnahnya Tumpuan Harapan



Ditulis: Ambaryani
Terdengar lirih tapi jelas
Tangisan beserta kekesalan
Ketika tumpuan harapan, dimusnahkan
Entah siapa tangan tak bertanggung jawab yang melaukan
Yang memusnahkan tumpuan harapan masa depannya
Hamparan harapan didepan mata
Musnah menjadi abu kekesalan
Kelelahan yang selama ini ia simpan
Kemudian membayang diingatan
Kerja keras melawan lelah demi terwujudnya harapan