Jumat, 14 Oktober 2011

Saat Membaca Van Der Wijch


Sejak awal kuliah, aku sudah sering mendegar nama Buya Hamka disebut-sebut dikalangan akademisi. Aku juga sering mendengar orang-orang mengelu-elukan tulisannya.Sudah sejak sekian lama. Tapi, aku belum pernah benar-benar memegang karya beliau. Atau lebih tepatnya, aku belum mencari.
Hingga saat aku seminar proposal, pembahasku mengatakan sebenarnya kalau memang mau membuat penelitian literatur, terutama novel banyak. Tidak hanya karya Andrea Hirata yang bisa dijadikan bahan penelitian. Tulisan Buya Hamka yang juga luar biasaya yaitu Tengelamnya Kapal Van Der Wijch, juga layak diteliti.
Mulai detik itu, kemudian aku ingin mencari karya yang disebutkan pembahasku DR. Hermansyah yang kemudian menjadi pembimbing skripsiku. Saat aku menyusun proposal penelitian skripsi, memang sedang buming karya Andrea Hirata. Terutama Laskar Pelangi, yang kemudian difilmkan juga. Aku memilih itu, karena itu yang ‘dekat’ dan denganku. Sejak detik itu, aku belum mendapatkan karya hebat Buya Hamka yang disebutkan Pak Hermansyah. Hingga akhirnya, saat aku mencari-cari referensi untuk penelitian (skripsiku), tanpa disengaja aku mendapatkan buku itu.
Tertulis,
HAMKA
Tengelamnya Kapal Van Der Wicjh

Kupikir, itulah buku yang selama ini kucari dan belum kudapatkan. Kubawa buku itu ke rumah. Kutaruh diantara susunan buku di atas lemariku. Lama buku itu nganggur, tak kusentuh. Hanya kulihat-lihat saat aku memilih-milih buku mana yang ingin kubaca. Aku belum tertarik untuk ‘melahap’ habis isi buku itu. Pernah satu, dua kali aku membacanya. Tapi tak reampung. Baru separuh.
Kemudian suatu hari di minggu kedua April (10/4/2011), tiba-tiba saja aku ingin membaca buku itu. kuambil buku itu dan kumasukkan dalam tas ransel hitamku. Kupikir, saat aku punya waktu luang dan sedang tak ada kerjaan di kantor, aku bisa membacanya. Dan ternyata, hari itu aku fre. Sedang tak sibuk. Kubuka buku itu. Kucari-cari sampai mana aku pernah membacanya dulu. Aku masih ingat judul-judul yang telah kubaca sebelumnya.
Aku ambil posisi duduk dikursi empuk di ruang kerjaku. Mulailah kubaca kata demi kata. Semakin kubaca pertengahan cerita itu, aku semakin mengila. Aku ingin secepat kilat membaca habis seluruh cerita. Agar bisa cepat kuketahui ending cerita yang sejak awal kubaca kembali buku itu membuat rasa penasarannku membuncah. Kubaca, dan terus kubaca.
Saat rasa penasaran semakin menjadi, aku harus mengakhiri aktivitas bacaku. Lantaran ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Kesal rasanya. Tapi, aku segera tepis rasa itu. Karena memang sejak awal membaca buku itu untuk mengisi waktu luangku saat tak ada kerjaan.
Kumasukkan kembali buku itu kedalam tasku. Buku itu seakan memanggil-manggilku untuk segera kubaca. Saking penasarannya aku akan akhir ceritanya. Esok harinya, saat aku sudah di ruang kerja. Kembali kuambil buku itu. Kali ini, benar-benar tuntas aku membacanya. Mataku sembap setelah membaca buku itu. Ceritanya benar-benar apik. Sehingga membuat hati tergugah juga haru. Banyak nilai-nilai positif yang bisa kuambil dari cerita itu.
Seluruh jempol untuk Buya Hamka.


Untukmu Pejuang Hidup


Matahari belum muncul dari peraduan
Kokok ayam masih bersahutan
Kau susuri jalan berembun
Menentang kesejukan yang mengajak melanjutkan mimpi
Hingga terik memangang
Tak sedikitpun membuatmu bergeming 
Kulitmu legam terpangang terik matahari
Tubuhmu kian ramping memikul beban
Demi setitik harapan dan citanya yang menjulang
Kini kau tak lagi muda
Badanmupun kian renta
Jalanmu tak setegak dulu
Kini, waktuku tuk melanjutkan estafet perjuanganmu




Mengenang Rajutan Indah


Memilin sebuah jalinan persahabatan adalah keindahan
Keindahan yang selalu ada dalam ingatan
Walaupun kenangan itu tak utuh menjelma dalam ingatan
Setelah sekian lama tak bersua
Karena ruang kita kini berbeda
Tapi, biarpun begitu
Kenangan indah akan pilinan persahabatan itu
Senantiasa menjadi sebuah kenangan indah